Him
Him
Yaya mendengarkan cerita Asti tentang seseorang yang berada di ruang rapat lantai dua dengan setengah hati. Ia masih belum sepenuhnya melupakan kejadian beberapa saat lalu. Pikirannya masih penuh dengan seseorang yang memeluk pinggangnya dengan erat, menatap dada terbuka dan membuatnya merasakan sesuatu. Ia masih bisa mengingat sorot mata penuh damba ketika pria itu mengatakan, kancing kamu kebuka.
“Nek enggak percoyo, deloken dewe, Mbak. Wong e guanteng men. Motone iku lho, koyo silet tapi adem.”[1] Yaya melirik Asti sekilas dan menggelengkan kepala bersamaan dengan Jaka membuka pintu kaca menuju ruang rapat yang terdengar ramai.
Mereka mempersiapkan makan siang sesuai permintaan mereka di meja panjang sejajar dinding menghadap white board yang menjadi pusat perhatian semua peserta rapat. Yaya mengawasi Asti dan Jaka yang berusaha untuk secepat dan seefisian mungkin menyiapkan semuanya. Mereka sudah terbiasa bekerja dalam diam sehingga tidak menganggu jalannya rapat meski hanya berisi beberapa orang.
Sesekali ia membantu tapi sebagian besar waktu ia pergunakan untuk mengawasi dan memastikan semua berjalan sesuai standart mereka. Namun ada sesuatu yang berbeda siang ini, ia merasa ada seseorang yang mengawasinya dengan lekat. Yaya bisa merasakannya ketika tengkuknya terasa meremang. Beberapa kali ia mengusap bagian belakang kepalanya, tapi perasaan itu tak kunjung hilang.
Menjadi pusat perhatian seseorang di muka umum bukan sesuatu yang Yaya inginkan, karena ia selalu menikmati menjadi pengamat bukan sebagai obyek pengamatan. Namun, saat ini terasa berbeda, karena ada rasa senang ketika ia merasakan seseorang memperhatikannya dengan lekat.
Yaya kembali memperhatikan kerja Asti dan Jaka, setelah semua siap dan rapi, mereka bersiap untuk keluar ketika terdengar suara yang terdengar akrab di telinganya. “Guys … aku lihat makan siang susah siap. Kasih ucapan terima kasih sama Mbak siapa namanya, yang sudah susah payah menyediakan pesanan kita meski reservasi tempatnya dadakan.” Tanpa ia sadari, jarinya menyentuh kancing dan memastikan semuanya tertutup rapat.
Tak lama setelah ia membalik badan menghadap semua orang yang memandangnya, ia mendengar beberapa orang mengucapkan terima kasih secara bersamaan seperti layaknya anak TK sebelum tawa semua orang meledak menyadari kekonyolan mereka. “Maaf, dengan Mbak siapa? Kalau boleh silahkan memperkenalkan diri.” Permintaan tidak lazim itu membuatnya terkejut. Nada memerintah yang memasuki telinganya terdengar menjengkelkan, tapi entah kenapa membuat bibirnya bergerak untuk menjawabnya.
“Saya?” tanyanya yang dijawab semua orang dengan anggukan. Yaya membenci berbicara di depan forum, dan saat ini, ia harus melakukan tanpa persiapan karena permintaan pria tersebut. “Selamat siang semuanya,” katanya dengan bibir tersenyum ke arah semua orang kecuali pria yang berdiri di depan white board dengan kacamata bertengger di hidung mancungnya. “Nama saya Soraya. Mewakili teman-teman di sini, saya ucapkan terima kasih sudah sabar menanti dan semoga makan siang yang sudah disiapkan memenuhi selera semuanya. Selamat makan siang semuanya, sekali lagi terima kasih.” Yaya menyudahi sambutan dadakannya dan segera berlalu, tapi sekali lagi suara itu membuat langkahnya terhenti.
“Thank you Soraya.” Cara pria itu menyebut namanya terdengar terlalu akrab dan membuat ia ingin segera berlalu melangkah keluar ruangan menuju ruang kerjanya.
“Kandani[2], kok. Ganteng, kan?” kata Asti meraih sikunya sebelum ia melangkah menuju ruang kerja dan meninggalkan mereka berdua sibuk dengan tray dan juga piring bekas. “Kamu terpesona pisan, to, Mbak!” tuduh Asti mengangkat jari telunjuk padanya menahan langkahnya.
“Kerjo! Dari pada tak potong gajimu, kerjo![3]” hardik Yaya, meski senyum di bibir tak hilang memandang kelakuan Asti yang terkadang membuatnya jengkel. “Aku ke ruanganku, Ti. kalau butuh sesuatu, panggil aja.”
Yaya membutuhkan jarak dan ruang untuk meredakan detak jantungnya. Ingatan tentang pria itu menganggu pikirannya. Mengusik hatinya. Bahkan suara dan nada tegas yang keluar dari bibir pria tanpa nama tersebut berhasil membuatnya melakukan sesuatu yang selalu dihindarinya, yaitu memperkenalkan diri di muka umum.
“Goblok goblok goblok! Tadi aja make out sama Mas Dipa, tapi sekarang malah mikirin cowok lain. Yaya goblok!” umpatnya memukul keningnya beberapa kali.
Ia tak ingin keluar dari ruangan sebelum memastikan ruang rapat di sebelahnya kosong. Walaupun saat ini hati dan pikirannya berjalan berlawanan arah. Yaya ingin bisa melihatnya, tapi ia juga tak ingin merasakan kembali perasaan yang timbul setiap kali melihat kedua mata tajam pria itu.
Entah berapa lama ia bersembunyi di ruang kerja, hingga semua nota yang selama ini dihindarinya telah selesai dikerjakan. Punggungnya terasa kaku dan tengkuknya pegal karena terlalu lama menunduk mengerjakan pembukuan. Yaya melakukan gerakan senam untuk mengurai kekakuan otot punggungnya sebelum merapikan pekerjaan dan memasukkan semua barang bawaannya.
Ia memutuskan untuk memberikan kekasihnya kejutan setelah aksi mereka terganggu. Setelah memastikan semua berjalan aman, Yaya menuju pintu keluar. Pikirannya tertuju pada sepasang baju tidur berwarna merah marun yang belum sempat dipakainya semenjak ia membelinya minggu lalu. Dalam perjalanan pulang ia mulai membayangkan reaksi Dipa dan menyisihkan semua yang terjadi hari ini di bagian dasar pikirannya.
Satu jam setelah ia meninggalkan kafe, ia terdiam menatap pantulan diri di depan kaca setinggi badan yang terdapat di kamar Dipa. Kamisol berbahan satin terasa lembut di kulitnya. Berpotongan rendah membuat dada penuhnya terlihat menggoda. Ia bahkan bisa membayangkan binar mata Dipa, membuatnya semakin bersemangat. Celana pendek yang tidak ia pakai, terganti dengan thong sewarna membuatnya terlihat semakin menggoda.
"Gitu aja, Yaya. Celananya jangan dipakai." Yaya bisa merasakan kehadiran Dipa dan ia menatap mata penuh damba yang saat ini membuatnya merasa diinginkan. Tatapan memuja pria yang tak melepas pandangan darinya menaikkan kepercayaan dirinya melesat jauh.
Ia masih berdiri tanpa membalik badan dan melihat langkah pelan Dipa hingga berdiri tepat di belakangnya. Belaian lembut dari ujung jari hingga ke pundak telanjangnya membuat tubuhnya bergerak ke belakang dan sepenuhnya menyandar di dada bidang yang selama ini menjadi tempatnya pulang. Dengan mata tertutup, ia menikmati belaian penuh kasih yang ia rasakan saat ini. Ketika jari Dipa kembali membelai tulang selangka dan turun ke belahan dada, ia tak mampu menahan desahan lembut yang lolos dari bibirnya.
"Ternyata tadi siang aku terlalu kasar, sampai merah begini. Maaf, ya.” Permintaan maaf Dipa seperti siraman air dingin di atas kepalanya.
"Maksudnya?" tanya Yaya membuka mata setelah menegakkan badan.
"Nih." Tangan Dipa berhenti tepat di dada. Saat ia menunduk untuk melihat, Yaya merasa oksigen menuju otak langsung terhenti. Pikirannya langsung kembali pada lelaki dengan aroma parfum yang masih tertinggal di hidungnya.
Tanpa mengatakan apapun, ia berlari ke kamar mandi dan mengunci pintu di belakangnya. Napasnya memburu mengingat kebodohannya siang tadi. Ia memutar kembali kejadian sejak lengan kokoh itu menyelamatkan hingga ucapan terima kasih yang membuat perutnya bergejolak. Yaya tak bisa membayangkan apa isi pikiran pria itu ketika melihat kissmark di dadanya.
"Ya!"
Gedoran pintu dan suara Dipa yang terdengar kuatir membuatnya tersadar. Semenjak ia masuk ke kamar mandi, ia hanya terdiam di depan wastafel memandang pantulan tubuhnya. Bukan wajah penuh nafsu atau berantakan yang membuatnya terdiam. Tetapi tanda kemerahan yang terlihat jelas di dada bagian atas lah yang membuatnya tak bisa memalingkan pandangan. Yang terlintas dikepala hanya satu, lelaki tadi pasti melihatnya.
"Gimana kalau aku melihatnya lagi. Mau taruh di mana mukaku?" bisiknya ngeri membayangkan akan bertemu pandang dengan pria yang sudah melihat tanda itu. Yaya segera berdoa meminta pada Tuhan untuk tidak menempatkan pria itu di dalam jalur hidupnya kembali. Berbagai skenario melayang di kepalanya. Bahkan ia merencanakan untuk bersembunyi di ruang kerja ataupun dapur, demi menghindari pria itu.
"Ya! Buka atau aku dobrak pintu ini, kamu kenapa, sih!"
Tersadar dari lamunannya, Yaya membuka pintu dan mendapati wajah kusut Dipa yang berkacak pinggang memandangnya dengan kuatir. "Apaan sih, Mas!" hardiknya tak ingin Dipa mengetahui isi pikirannya.
Dalam hati ia berdoa semoga Dipa tidak melihat kegugupannya, karena saat ini ia kembali memikirkan pria itu. Selain ia tak bisa menghilangkan bayangan lengan kokoh dan juga aroma tubuh yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang, pikirannya penuh dengan cara pria itu memandangnya. Kemungkinan bertemu dengan lelaki yang sudah melihat tanda di dada membuatnya malu.
Saat ini, kecurigaan terlihat jelas di wajah Dipa, mata tunangannya menyipit melihatnya dari atas sampai bawah. "Ada apa? Kamu di dalam hampir sepuluh menit dan nggak ada suara sama sekali. Ada masalah apa?" Usapan lembut tangan Dipa tidak membuatnya tenang, tapi justru membuat Yaya semakin teringat lelaki itu.
"Nggak ada apa-apa, Mas," katanya berusaha terdengar tenang. Yaya kembali mengingat cara pria itu memandangnya meski hanya sekilas. Membuatnya merasa cantik, sexy dan diinginkan. Seperti cara Dipa melihatnya saat ini.
"Yakin?" tanya Dipa pelan tepat di telinganya. Suara lembut itu membius dan membawanya melayang jauh hingga kembali terhempas di bumi. "Koala kesayanganku," kata Dipa mengusap punggungnya dan menciumnya lembut di leher membuat tubuhnya kembali terangsang. Yaya mengalungkan lengan membuat kepala Dipa semakin dalam masuk ke ceruk lehernya. Ia merasakan lengan kokoh menahan pinggangnya dan segera melingkarkan kaki ke pinggang ramping Dipa membuatnya seperti koala.
“Koala yang sexy, kan?" katanya dengan napas yang mulai terengah-engah merasakan jari Dipa menemukan titik lemahnya.
"Yes. You are my sexy Koala," kata Dipa. "And you are mine!" Tak lama kemudian Dipa membawanya ke atas ranjang dan semua pikiran tentang pria itu menghilang seiring dengan rangsangan dan belaian yang Dipa berikan. Yaya semakin tak bisa menahan diri ketika rasa itu membuat bibirnya menyebut nama Dipa berulang kali.
Mereka berdua terlentang bersisian dengan badan penuh peluh. Tidak ada satupun yang bersuara, hanya ada tarikan nafas keduanya yang masih tidak beraturan. Tak ada ucapan terima kasih keluar dari mulutnya ataupun Dipa. Hanya hembusan AC dan nafas mereka yang mengisi keheningan kamarnya.
"Ya, tadi kenapa?” tanya Dipa. “Sesaat sebelumnya kamu baik-baik saja, tapi jadi aneh saat aku bilang tanda disini." Tangan Dipa mengusap lembut bagian kulit yang mulai memerah dengan binar bahagia terlihat di matanya. Seperti yang Yaya lihat ketika pria itu membuka pintu kamar dan menemukannya setengah telanjang.
"Ya!" Panggilan itu membuatnya tak bisa terus menghindar dari pertanyaan itu.
Dengan senyum yang dipaksakan, ia bertanya, "Kenapa? Tadi kamu ngomong apa Mas?"
"Kamu kenapa sih?" tanya Dipa mulai terdengar jengkel. Memutuskan untuk menjawabnya, Yaya memiringkan badan sehingga punggungnya sejajar dengan dada bidang Dipa yang segera melingkarkan tangan di perutnya. Beberapa saat ia hanya diam menikmati keberadaan pria yang saat ini mengusap pelan perut ratanya.
"Inget nggak waktu aku keluar kantor saat Asti panggil tadi siang?" kata Yaya dengan suara sedikit serak karena Dipa mulai mencium tengkuknya kembali.
"Hmmm," jawaba Dipa. "Emang kenapa?" Tiba-tiba Dipa berhenti mencium tengkuknya.
Yaya membalik badan dan menahan kepala dengan tangan kirinya. "Aku menabrak pelanggan yang keluar dari toilet."
"Lalu masalahnya dimana?" tanya Dipa dengan wajah bingung. “Laki-laki?” Yaya mengangguk pelan. “Emang kenapa?" tanya Dipa lagi.
Yaya merasa ragu untuk menceritakan, tapi ia tak bisa menahan untuk tidak mengatakan isi kepalanya. "Dia nahan aku biar nggak jatuh. Waktu dia ngelepas, dia bilang kalau kancingku masih kebuka. Aku malu banget, Mas. Dia lihat dadaku yang kebuka. Dan aku baru nyadar kalau ada kissmark hasil karyamu disitu!" kata Yaya jengkel. Ia menjatuhkan tubuh dan menutup wajah dengan lengannya. “Aku malu banget, dan rasanya udah bikin kamu kecewa. Ngerti maksudku, kan?”
Ada rasa takut dan malu yang timbul setiap kali ia mengingat lelaki tersebut, karena selain kenyataan pria itu melihat dadanya, Yaya merasa malu karena menikmati perhatian yang didapatkannya meski hanya berlangsung beberapa detik. “Kamu … marah?" tanya Yaya setelah tak mendengar komentar apapun, dan ia semakin keheranan melihat wajah kekasihnya yang terlihat berbeda. Meski hanya sesaat, ada binar bahagia ketika ia menceritakan lelaki lain melihat dadanya.
“Mas!” Yaya mengerutkan kening ketika Dipa tak melepas pandangan darinya, ia tak tahu apa yang ada dipikiran kekasihnya. Bibir yang beberapa saat lalu membuainya, kini tertutup rapat. Mata tajam yang tertuju padanya terasa berbeda, dan ia tak tahu harus berbuat apa.
"Mas, kamu enggak marah, kan?” Ia kembali bertanya. Dipa masih terdiam dengan pandangan hanya tertuju pada bibirnya. “Aku beneran enggak nyadar kalau kancingku kebuka tadi.” Perasaannya semakin tak menentu karena bibir tunangannya masih tertutup rapat, meski saat ini Dipa membelainya kembali, membuatnya melupakan semua kekuatirannya. Membungkan kekuatiran yang muncul di kepalanya. Pertanyaan di ujung lidahnya pun kembali tertelan ketika tunangannya kembali menguasai bibirnya.
[1] Kalau enggak percaya, lihat aja sendiri, Mbak. Orangnya ganteng banget. Matanya itu seperti silet tapi dingin.
[2] Dibilangin
[3] Kerja! Dari pada aku potong gaji kamu, kerja!
Bikin cerita Ganin-Yaya agak membebaskan diri dengan kegilaan yang ngerumpel di kepala.
😂😂😂
Once in a lifetime kalau kata Mbak editor yang edit cerita mereka berdua.
Happy reading
Love, ya!
😘😘😘
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top