Ganindra Priatna Putra
Ganindra Priatna Putra
Hampir sebulan berlalu sejak kejadian kancing terbukanya, dan Yaya tak bisa melupakan cara pria itu memandangnya. Pria asing yang sesekali menguasai mimpinya di malam hari, meski ada lengan Dipa memeluknya erat. Sorot mata yang membuatnya tak bisa berpaling, membuat konsentrasinya buyar setiap kali bayangan pria itu muncul, seperti saat ini.
Ketika ia keluar dari dapur dan duduk di area outdoor yang selalu menjadi tempatnya bersantai menikmati hari ketika kafe sepi, ia melihat sepasang mata itu kembali. Duduk di balik jendela dengan pandangan lurus hanya padanya. Kemeja slim fit biru muda dengan lengan terlipat hingga siku membuatnya terlihat menggoda. Lengan kokoh yang pernah melingkar di pinggangnya membuatnya harus menggigit bibir. Kacamata berbingkai hitam yang pernah dilihatnya kini tak tampak menghiasi wajah yang kini ditumbuhi rambut terpotong rapi.
Yaya tak menyadari ketika ia menopang dagu dan menatap pria yang mengarahkan pandangan padanya. Seolah tersihir dan tak mampu untuk berpaling, ia menikmati setiap jengkal wajah menawan itu. Seketika pikirannya melayang ke semua novel romance yang pernah dibacanya. Fictional man yang selama ini hanya ada di angan-angan, kini bisa ia lihat dengan jelas. Memaku tatapannya, membayangkan semua yang pernah ia baca membuatnya harus menahan diri.
Entah berapa lama ia mengamati wajah itu, ketika ia melihat senyum menggoda di bibir pria yang tak melepas pandangan darinya, Yaya tersadar dan tersentak. Ia segera memalingkan wajah karena menyadari kebodohannya dan meraih novel tebal berwarna merah semata-mata hanya untuk mengalihkan pikiran dari senyum yang tertuju padanya, membuatnya terlihat konyol. Namun, mengingat sikapnya beberapa saat lalu, ia merasa harus menyibukkan mata dan pikirannya untuk menahan diri.
“Hai.” Kepalanya tersentak ketika mendengar suara itu beberapa saat kemudian. “Boleh?” tanya pria itu mengedikkan dagu ke arah kursi kosong di depannya. Tak ingin terlihat tidak sopan pada pelanggan, Yaya mengangguk dan mempersilahkan pria itu duduk. “Ganin.” Yaya memandang tangan yang terulur padanya dan wajah berhias senyum di depannya.
“Soraya,” katanya setelah sempat ragu untuk menjawabnya. Genggaman tangan yang dirasakan, membuatnya harus menggigit bibir menahan diri.
“Saya tahu,” jawab Ganin dengan senyum terkulum, dan ia menyadari kebodohannya.
“Yaya, semua memanggilku Yaya.”
“Kamu bisa panggil aku Ganin, atau sayang juga enggak apa-apa.” Meski terdengar receh, Yaya tak bisa menahan bibirnya untuk melengkung ke atas dan menggeleng. “Enggak mau?” Ganin terdiam sesaat seolah berpikir keras. “Banyak pilihan selain Sayang yang bisa kamu pilih.” Yaya mengangkat alis menanti. “Cintaku, matahariku, separuh nyawaku, honey atau Mas juga enggak apa-apa.”
Yaya menggeleng dan mengulum senyum, mencoba untuk tidak tersipu. “Sudah berapa perempuan yang berhasil Mas Ganin dapatkan dengan guyonan receh bapak-bapak begitu?” tanyanya memberanikan diri menatap kedua bola mata Ganin yang tak terlihat berwarna hitam. Senyum menawan pria yang menyandar dan melipat tangan di depan dada seolah menular padanya, karena saat ini ia melakukan hal yang sama.
“Baru kamu, dan aku belum bisa menjawab apakah ini berhasil atau tidak.” Kesan easy going, terlalu ramah, percaya diri tinggi dan playfull, ia dapatkan sejak pertama ia mendengar pria itu menyebut namanya.
“Aku biasa duduk di kursi yang Mas tempati tadi,” katanya menunjuk kursi yang Ganin tinggalkan. “Karena dari sana aku bisa melihat keluar, pintu masuk dan juga dapur. Perfect spot untuk mengawasi setiap sudut kafe.” Yaya memandang kursi yang Ganin tinggalkan. “Ketika melihat ada yang duduk di sana, aku harus mencari tempat kedua terbaik, yaitu di sini.”
Ganin terlihat tertarik, karena Yaya tak mendengar satu kata pun memotong pembicaraan absurdnya. Bahkan sorot mata yang tertuju padanya terlihat fokus, seolah konsentrasi dan pikiran itu hanya untuknya. “Aku harus jujur sama kamu.” Hatinya tiba-tiba merasa tak tenang mendengar kalimat itu.
“Aku sengaja duduk di sana karena ingin melihatmu muncul dari pintu masuk, dapur atau kantor kamu di lantai dua.” Pengakuan yang terasa terlalu jujur itu membuatnya bingung. Ia bukan anak kecil yang tidak bisa mengetahui apa tujuan seseorang padanya, dan ia bisa merasakan rasa tertarik Ganin padanya saat ini. “Hanya lihat kamu tersenyum, sudah cukup membuatku enggak bisa tidur setiap malam.”
Yaya tak bisa menahan diri, ia tertawa terbahak-bahak hingga air mata merebak. “Ya ampun, Mas. Gombal banget, sih!” Ia menerima tisu yang Ganin ulurkan untuknya. “Kamu laki-laki yang membahayakan, Mas.”
“Loh … kok bahaya, sih!” Ganin terdengar tidak terima meski dengan senyum di bibir. “Aku itu enggak pernah membahayakan, tapi memuaskan.” Yaya kembali tertawa tak menyadari binar bahagia yang saat ini tampak di mata Ganin.
“Mbak, Ya,” panggil Asti menghentikan tawa di bibirnya. “Ponselnya bunyi itu.” Ia terkejut ketika menyadari melupakan pekerjaannya di dapur. Setelah memasukkan adonan ke dalam oven, ia keluar untuk mengistirahatkan badan dan menanti hingga alarm di ponselnya berbunyi. Namun, Ganin membuat perhatiannya teralihkan hingga tak menyadari dering yang ia dengar beberapa saat lalu adalah alarm di ponselnya.
“Ya ampun, aku lupa!” katanya sambil berdiri dan memandang Ganin. “Senang ngobrol sama Mas Ganin, tapi aku harus balik ke dapur.” Tanpa menunggu balasan pria yang mengulum senyum ke arahnya, Yaya melesat ke dapur dan melupakan buku yang ia tinggal di atas meja.
Jantungnya masih berdegup kencang ketika menatap batangan éclair berwarna kecoklatan terlihat matang sempurna. Air liurnya terbit membayangkan ketika diisi fla kopi yang sudah ia siapkan terlebih dahulu. Asti yang berada di sampingnya terlihat tertarik, tapi bukan ke arah éclair di tangannya. “Kenapa?”
“Kamu naksir Mas itu, ya?” tuding Asti dengan mata menyipit dan jari telunjuk mengarah padanya. “Aku bisa lihat di mata Mbak Ya. Kamu tertawa lepas sampai nangis gitu.”
“Lah … apa hubungannya aku ketawa sama naksir Mas In, Ti?!” tanyanya sambil menata éclair di atas cooling rak sebelum ia mulai mengisi dan menghiasnya. “Lagian Mas In itu enak di aja ketawa kok, bukan berarti aku naksir dia, lho, ya!” Yaya menyibukkan diri, karena tak ingin Asti melihat binar bahagia atau semu merah yang ada di pipinya saat ini. karena mengingat momennya bersama Ganin membuat pipinya menghangat. “Kenapa lagi?!” tanyanya jengkel.
“Kenapa kamu manggilnya Mas In? Bukannya tadi kamu manggilnya Ganin?!” tanya Asti semakin curiga, ia bahkan tak sadar memanggil pria itu In bukan Ganin. “Ingat Mas Dipa, Mbak!” bisik Asti. “Tapi … emang ganteng, sih, Mbak.” Yaya manahan senyumnya. “Senyumnya itu lho!” Kekehan Asti membuatnya terheran karena ia melihat gadis itu salah tingkah hanya karena mengingat senyum Ganin.
Yaya menyadari untuk sesaat ketika perhatiannya hanya tertuju pada Ganin, ia melupakan kehadiran Dipa. Namun, ia merasa ketertarikannya pada Ganin hanya sebatas teman bukan sesuatu yang berlebihan, meski rasa nyaman yang timbul ketika mendengar suara lembut dan menikmati perhatian Ganin membuatnya tak bisa memikirkan siapapun.
“Kamu masukkan isian yang aku udah buat tadi, Ti,” perintahnya menyingkirkan Ganin dari pikirannya. “Ntar aku panggil kalau sudah waktunya untuk isi.” Yaya segera mendorong Asti untuk berlalu karena ia tak mampu menjawab jika kembali muncul pertanyaan tentang Ganin dan rasa tertarik yang tiba-tiba muncul di antara mereka berdua.
Satu jam kemudian, Yaya dan Asti tersenyum puas melihat kreasi mereka berdua. Coffie éclair yang terlihat menggiurkan dengan isian menggoda selera. Ia tak bisa berhenti tersenyum ketika mengambil banyak gambar untuk feed media sosial sweet tooth.
“Enak, Mbak,” kata Asti setelah ia memaksanya untuk merasakan hasil kerja mereka berdua. “Sumpah enak banget.” Tak lama kemudian terdengar pujian dari seisi dapur setelah menikmati potongan éclair yang ia bagi satu persatu.
Yaya menata tiga potong éclair di atas piring saji dan mendorong ke arah Asti yang menatapnya kebingungan. “Idolamu masih di depan, enggak, Ti?” tanyanya. “Anterin ke Mas yang senyumnya bikin kamu meleleh. Kali aja kamu dapet senyum buat bekal. Sana!”
“Males!” jawab Asti sambil memundurkan langkahnya. “Isin[1] aku, Mbak! Mbak Ya aja, aku mau bantu Mas Wem.”
“Lho, Ti! Gimana to?!” teriaknya yang pasti terdengar hingga ke luar dapur.
“Mbak Ya aja, aku sibuk!”
Memandang Asti yang berpura-pura sibuk, ia memutuskan untuk membatalkan niatnya. Namun, ketika hendak mengembalikan éclair ke rak kue, ada dorongan di hatinya untuk berjalan keluar dan melihat ke arah pria yang terlihat sibuk membaca novelnya yang tertinggal di atas meja. Jantungnya berdetak kencang karena menuruti kata hati untuk keluar dan melangkah menuju Ganin yang seolah merasakan kehadirannya. Saat ini pria itu mengangkat kepala dan tersenyum ke arahnya.
Dari ratusan judul novel yang pernah ia baca sejak SMA, mereka selalu menggambarkan dengan square jaw, Greek God, killer smile. Hingga saat ini, ia tak pernah percaya dengan penggambaran sempurna itu, karena tidak ada satu orang pria yang sesuai dengan penggambaran mereka. Namun, ketika melihat senyum Ganin, ia bisa mengerti apa yang digambarkan para penulis tersebut. Karena saat ini ia tak bisa berpaling.
“Untuk Mas Ganin, semoga suka,” kata Yaya tak memberi kesempatan pada Ganin untuk menjawabnya. Ia segera berjalan menuju ruangannya di lantai dua dan mencoba untuk tidak memikirkan senyum yang membuat jantungnya semakin berulah.
“Ya ampun, novelku ketinggalan lagi,” katanya setelah berada di balik perlindungan ruang kerjanya.
[1] malu
Mas Ganin is back ...
Dia punya vibe yang hampir sama kek Mas Abhi (segenggam rindu). Tapi sedikit lebih easy going.
Enggak seperti Alfa male yang dominant banget kek di novel-novel import tapi lebih ke bossy ngegemesin.
Anyway ... Happy reading
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top