First thing first
“Udah bangun.” Kepalanya tersentak menoleh ke arah asal suara dan mendapati Ganin duduk di sofa single terlihat rapi. Kemeja putih di balik jas berwarna abu gelap itu terbuka di bagian leher.
“Aku ….” Ia tak tahu apa yang harus dikatakannya, karena saat ini tak ada jejak ingatan kejadian semalam di kepalanya. Seolah waktu terhenti ketika ia mulai menangis setelah meletakkan kepala. Yaya memandang ke sekeliling kamar dan melihat tas di atas meja. Ia tak melihat ada kerusakan di sekeliling kamar dan bisa bernapas lega karena tidak melakukan sesuatu yang memalukan.
“Kamu enggak inget?” Yaya menggeleng karena tak tahu apa yang Ganin katakan. “Kamu pingsan semalam. Sadar sebentar terus tidur sampai sekarang.”
Yaya membuka selimut dan terkejut karena ia memakai tank top dan celana super pendek. “Mas In yang ….” Ia tak sanggup meneruskan pertanyaannya. Namun, ketika melihat gelengan kepala pria itu, ia semakin bingung. “Aku pakai ini dari semalam?” Ganin mengangguk dan mulutnya terbuka lebar. Bagaimana bisa ia memakai baju seminim ini di depan pria yang sudah dua kali melihat dadanya. “Sebenarnya semalam apa yang terjadi, Mas?”
Ganin menghampirinya, membantunya menegakkan badan dan bersandar di bantal yang sudah di susunnya. Aroma parfum bercampur dengan sabun menyeruak dari tubuh yang saat ini masih berada terlalu dekat dengannya. “Aku enggak tahu ada apa sama kamu semalam, Ya,” kata Ganin sambil mendorong air putih hangat padanya. “Aku menemukanmu di atas ranjang diam enggak bergerak dengan mata terbuka. Tanpa kata, hanya menangis memandang jendela.”
Yaya memilin pinggiran selimut yang ada di pangkuannya, tanpa mempedulikan pakaian terbukanya. Ia tak tahu apa yang dipikirkannya semalam. Ingatan tentang semalam pun terasa kabur di kepalanya. “Semalam aku muntahin Mas In, enggak?” Senyum geli di bibir Ganin membuatnya gugup, karena tak ada satupun ingatan di kepala yang bisa membantunya mengerti tentang semalam.
“Enggak,” jawab Ganin. “Kamu masih sempat lari ke kamar mandi, kok. Tapi semalam kamu nakut-nakutin, Ya.” Ganin terdiam sesaat. “Kamu hanya diam, tapi matanya kebuka. Enggak ngomong apa-apa, cuma nangis. Tiba-tiba lari ke kamar mandi, muntah lalu pingsan.”
Yaya mengusap kasar wajahnya mendengar penjelasan itu. “Ya ampun. Maaf, ya, Mas,” ucapnya tanpa memandang pria yang berdiri terlalu dekat dengannya. Hingga ia merasakan ranjang bergerak ketika Ganin duduk tak jauh Darinya. “Makasih, kalau enggak ada Mas In … aku ….”
“Kamu ada masalah?” tanya Ganin. Yaya ragu untuk menjawab, tapi ketika ia mengangkat kepala dan mendapati mata tajam itu tertuju padanya, ia tak sanggup berbohong. Yaya mengangguk samar. “Besar?” Ia kembali mengangguk.
Ia tak mengalihkan pandangan hingga Ganin berdiri dan menepuk kakinya pelan. “Istirahat dulu! Aku sudah siapin sarapan,” kata Ganin menunjuk piring di atas meja nakas. “Take your time, aku enggak akan mengusirmu dari sini, Ya.” Yaya tak tahu harus berkata apa kecuali mengangguk dengan patuh. “Aku ke kantor dulu. Telepon kalau ada apa-apa!”
Tubuh Ganin hampir berlalu meninggalkannya ketika Yaya menyadari ia tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. “Mas,” panggilnya. “Makasih, tapi sepertinya lebih baik aku pergi nanti siang. Aku enggak mau ngerepotin Mas In lebih lama lagi.” Yaya tak ingin memanfaatkan kebaikan pria yang baru ia temui beberapa kali. Walaupun saat ini ia tak tahu harus pergi ke mana.
“Aku enggak merasa kerepotan, Ya,” kata Ganin kembali melangkah mendekatinya. “Lagian aku lebih banyak tidur di rumah karena ada Mama Papa … kamu inget mereka berdua, kan?” Yaya terdiam dan mengangguk ketika ingatan di kamar kecil bandara menyeruak. “Aku enggak tahu separah dan sebesar apa masalahmu. Tinggallah di sini, pulihkan tenaga. Seperti yang aku bilang tadi, aku enggak akan ngusir kamu. Aku lebih tenang tahu kamu ada di tempatku.”
Yaya terdiam mendengarnya dan mengangguk patuh meski tak tahu apa yang akan dilakukannya. Kepalanya terlalu penuh. Hingga ia mendengar pintu terbuka dan tertutup kembali, Yaya masih tak bergerak. “Aku harus gimana sekarang?” tanyanya pada sepi. Ia menghela napas panjang sebelum kembali masuk ke dalam selimut.
Keheningan kembali menerpa dan bayangan Dipa kembali menyapa. Namun, saat ini, bukan sedih yang mendominasi, karena marah memenuhi hatinya. Ia masih bertahan di balik selimut ketika perutnya berbunyi nyaring. “Patah hati bikin lupa makan, ya, Ya!” katanya pada diri sendiri sebelum menegakkan badan, menyandar di kepala ranjang dan melirik roti bakar yang Ganin siapkan untuknya. Ketika perutnya kembali berteriak, ia meraih roti dan mengunyahnya dengan setengah hati sambil memikirkan langkah yang harus diambilnya.
Sesekali ia melirik tas yang di atas meja dan memikirkan ponselnya yang semalam tak berhenti berdering. Setelah menimbang beberapa saat, ia berdiri dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas yang sudah kehabisan daya. Walaupun ia tak ingin menerima pesan atau telepon Dipa, ia tahu saat ini Ananta pasti kuatir karena belum mendapat kabar darinya sejak kemarin.
Satu jam kemudian ia keluar dari bilik kamar mandi dan merasa jauh lebih segar dibanding beberapa saat lalu. Wangi sabun yang menguar dari tubuh, untuk sesaat membuatnya merasa kembali normal. Namun, saat itulah ia teringat ia tak membawa baju yang cukup sopan untuk dipakainya.
Ketika memutuskan untuk memberikan Dipa kejutan, ia hanya mengemasi beberapa baju tidur tipis dan juga pendek. Selain dua kaos dan satu rok sepanjang lutut, ia tak membawa baju yang lainnya. Yaya menimbang untuk menggunakan salah satu kaos dan rok atau baju tidur yang terlalu sexy untuk digunakan di rumah pria asing. Mengingat di mana ia berada, ia memilih baju yang lebih sopan dibanding semalam.
Seperti penyusup, Yaya mengendap endap ketika keluar dari kamar dan mulutnya menganga mendapati ruang tengah yang terasa lapang, nyaman juga mengundang. Dapur luas dilengkapi island besar dan counter top marmer berserat hitam, terlihat menggoda untuk di sentuh. K
Yaya mengingat ketika melihat dapur yang Rizky siapkan untuk Ananta, ia berdoa semoga bisa memili kinya suatu saat. Kini,ia kembali merasa iri dan ingin tinggal di rumah Ganin untuk selamanya. Membayangkan semua yang bisa ia kerjakan di dapur lengkap ini membuatnya melupakan gundah gulana di hatinya, meskipun hanya untuk sesaat.
Ia berjalan menuju jendela floor-to-ceilling menatap suasana Surabaya dari ketinggian sebelum kembali menuju jajaran pintu tak jauh dari kamar yang ia gunakan. Ruang kerja dengan beberapa monitor menempel di dinding mengisi ruang pertama yang ia buka. Pintu berikutnya adalah kamar mandi terlihat seperti dalam majalah interior, yang membuatnya semakin betah berada di apartemen Ganin. Pintu terakhir yang berada di ujung lorong membuatnya ragu untuk membuka. Namun, rasa penasaran yang memenuhi hati mengambil alih tangan dan saat ini ia berada di dalam kamar utama dengan aroma parfum Ganin memenuhi udara.
Kamar yang didominasi dengan warna abu-abu menggambarkan Ganin sesuai dengan pikirannya. Pria yang terkadang membuatnya takut dan nyaman. Pria yang selalu tampil rapi, dengan parfum menggoda dan kerling jail di mata, membuatnya harus menjauh darinya. Dengan kondisi hati berantakan seperti saat ini, Yaya tidak membutuhkan satu lagi godaan yang akan membuat hidupnya semakin kacau.
Yaya memberanikan diri membuka satu dari dua pintu dan bertemu dengan jajaran baju yang di atur sesuai warna. “Ya ampun, kok samaan, sih,” ujar Yaya menyapu tangan di barisan kemeja Ganin. Semua hal tentang pria itu membuatnya harus membentangkan jarak aman. Namun, Yaya tak tahu apakah ia bisa melakukan hal itu. “Ya ampun, Ya … aku harus jauh-jauh dari orang ini,” katanya ketika kembali menutup pintu dan menuju dapur untuk melakukan sesuatu sebelum otaknya kembali memikirkan tentang Dipa ataupun Ganin.
Yaya membuka lemari es dan kembali menganga keheranan melihat isinya. “Untuk bujangan dapurmu lengkap banget, Mas.” Yaya kembali bergumam sendiri sambil membuka satu persatu lemari kabinet yang terlihat cantik dengan warna biru navy dilengkapi handle berwarna emas. Setelah mengamati isi bahan yang tersedia, Yaya memutuskan memasak. Ia butuh menyibukkan diri untuk mengalihkan pikiran saat ini.
Terinspirasi oleh rumah gadang di background foto di ruang kerja Ganin, ia memutuskan untuk memasak salah satu dari sekian banyak masakan Padang yang pernah ia coba. Ketika melihat daging yang ada di lemari es, Yaya memutuskan untuk membuat asam padeh daging tanpa peduli apakah pria itu menyukai makanan pedas ataupun tidak.
Selain membaca dan membuat kue, memasak merupakan salah satu terapi yang dilakukan setiap kali kepalanya penuh dengan hiruk pikuk membuatnya gila. Ia belum merasa kuat untuk duduk dan berpikir tentang langkah yang harus diambilnya, karena itu, untuk sementara Yaya membutuhkan pengalihan demi menjaga kesehatan mentalnya.
Sebelum memulai memasak, Yaya kembali ke kamar dan memutuskan untuk berganti baju dengan sesuatu yang lebih nyaman. Tank top dan juga celana pendek yang dipakainya semalam menjadi pilihannya, “Mumpung Mas In enggak ada,” katanya meyakinkan diri sendiri sebelum keluar menuju dapur untuk melaksanakan rencananya setelah meminta izin pada sang empunya.
Aku boleh menjarah isi lemari es Mas In?
+6281230******
Silahkan, Ya
Thank you
Pesan balasan Ganin masuk bersama dengan nama Dipa muncul. Dering yang mengisi kesunyian apartemen Ganin tak membuatnya ingin menggeser tanda hijau di layar ponselnya. Bahkan ia membiarkan hingga ponselnya kembali diam dan tak lama kemudian pesan dari tunangan—yang akan segera menjadi mantan tunangan—muncul. Namun, ia tak ingin membaca, karena Yaya lebih tertarik untuk membalas pesan Ganin.
Mas In
Emang mau masak apa?
Enggak tahu.
Aku hanya butuh menyibukkan diri, biar enggak gila mikir masalahku.
Mas In
Butuh teman?
Jarinya sudah siap untuk menolak ketika ia teringat ini tempat tinggal Ganin, dan ia tidak berhak untuk menolak pria itu untuk datang dalam waktu dekat. Yaya memperkirakan pria itu membutuhkan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan dan sampai di depan pintu apartemen. Itu memberinya waktu untuk memasak sebelum kembali mengganti baju yang jauh lebih sopan. Ia mengetik oke sebelum menutup jendela pesan dan membuka aplikasi musik untuk menemaninya masak.
Untuk yang baca duluan, bisa ke KK. Di sana udah nyampe epilog.
Thanks guys
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top