Aftermath
Yaya bisa merasakan telapak tangan Ganin menyentuh keningnya dan ia hanya diam tanpa kata. "Badanmu panas, Ya!" Nada kuatir yang terdengar jelas itu tak membuatnya ingin bergerak. Ia tetap terdiam dengan mata terbuka lebar hingga merasakan kain dingin menyentuh keningnya. Yaya masih tak bergerak ketika merasakan selembar selimut melindunginya dari dinginnya hembusan AC.
Ia kembali sendiri ketika Ganin menghilang dari depan wajahnya. Suara kuatir yang beberapa saat lalu pun tak terdengar kembali. Aroma parfum yang sempat mewarnai panca inderanya, kini tak tercium kembali. Yaya masih terdiam dan bersyukur ia kembali sendiri. Hingga ia kembali merasakan usapan lembut di keningnya.
"Kamu kenapa? Cerita, Ya!" kata Ganin tak berhenti mengusap keningnya sebelum ia kembali merasakan sesuatu yang dingin di keningnya.
"Minum, dulu!" perintah itu tak membuatnya ingin bergerak. Meski ia bisa merasakan sentuhan ujung sedotan di bibirnya. "Buka bibirnya sedikit, Ya. Please." Nada kuatir yang semakin kental di suara Ganin membuatnya membuka sedikit bibirnya meski Yaya tak kunjung menghisapnya. Ia masih tak memiliki keinginan untuk melakukan apapun.
"Aku enggak tahu masalah kamu apa, tapi kalau kamu menolak minum teh hangat ini, aku bakalan gendong kamu dan bawa ke rumah sakit. Minum sekarang, Soraya!"
Yaya bersyukur kegelapan menyembunyikan ekspresinya ketika mendengar perintah itu. Ia tak ingin Ganin melihatnya kekacauan yang ada di wajahnya saat ini. Air mata yang tak kunjung berhenti dan dadanya pun sesak membuat napasnya menjadi pendek. "Minum, Soraya!" bentakan Ganin membuatnya menghisap sedikit teh yang menghangatkan tubuhnya. "Lagi!"
"Sayang ... kamu kenapa?" Suara Dipa membangunkannya dari tidurnya. Ia bergelung di balik selimut ketika merasakan sakit di perutnya semakin tak bisa ia tahan. "Sakit perutnya? Ke rumah sakit, mau?" Suara lembut itu membuatnya ingin menangis. Sebelum ia sempat menjawab pertanyaan Dipa, pria itu menyibak selimut dan berbaring di sebelahnya. Menariknya mendekat dan memeluknya erat.
Serbuan kenangan itu kembali membuatnya tak bisa berkutik. Dipa dengan semua kebaikan yang pria itu lakukan, membuat lukanya tak kunjung mengering ketika mengingat apa yang dilakukan di kamar hotel itu.
"Minum lagi!" Kali ini ia mampu untuk bergerak dan menggeleng ketika mendengar perintah Ganin. "Lagi, Ya!" Suara keras yang beberapa saat lalu mewarnai perintah pria itu kini menghilang dn berganti dengan suara lembut penuh dengan pengharapan. "Please."
Saat itulah ia merasa gejolak di perutnya dan dalam sekejap ia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya. Rasa pahit yang saat ini ada di tenggorokannya tak membuat keinginan memuntahkan isi perutnya mereda. Air matanya semakin deras ketika ia kembali berusaha mengeluarkan ganjalan di perutnya. Saat itulah Yaya merasakan pijatan lembut di tengkuk dan lilitan jari di rambut ikalnya ketika ia kembali menunduk di atas closet berusaha untuk memuntahkan semuanya.
"Kumur dulu." Segelas air putih hangat Ganin ulurkan padanya, tapi ia tak memiliki kekuatan untuk meraihnya karena tak lama kemudian badannya terasa ringan dan gelap menyapanya.
***
Sepi. Tak terdengar suara apapun ketika Ganin menutup pintu apartemen di belakangnya. Saat melirik dapur dan keheranan karena semua masih sama seperti ketika ia keluar tadi pagi. Dari sepatu yang ada di dekat pintu, ia tahu Yaya ada di sini, tetapi apartemennya terasa sepi seperti tak berpenghuni. Ganin kembali menajamkan telinga mencari suara, tapi tak terdengar suara apapun.
Beberapa saat lalu Ganin mencoba peruntungan dengan mengetuk pintu pertama di sebelah kiri, dan memanggil nama Yaya, tapi hingga dua kali ia mencoba tak terdengar jawaban. Ia membuka pintu dan kembali memanggil nama Yaya dan jantungnya berhenti ketika mendapati perempuan itu bergelung di atas ranjang dengan tatapan kosong menghadap jendela. Ia semakin panik ketika merasakan suhu tubuh Yaya dan perempuan itu masih saja terdiam seperti tak bernyawa.
Meski dalam kegelapan ia tahu Yaya menangis. Gerakan pundaknya yang tak berhenti membuatnya iba melihat tangis yang tak kunjung berhenti. Ia harus memaksanya untuk minum ketika Yaya tak terlihat bergerak meski ia meletakkan sedotan tepat di depan bibir yang membuatnya tergoda ketika pertama kali bertemu. Ia tak tahu apa yang terjadi, tapi ketika Yaya berlai ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya, Ganin semakin kuatir dan takut. Semua menjadi semakin parah ketika Yaya pingsan dalam pelukannya setelah mengeluarkan isi perutnya.
"Kamu kenapa, Ya?" tanya Ganin mengusap lembut wajah Yaya. Perempuan yang kini tertidur sempat tersadar sebelum kembali memejamkan mata. "Cerita, Ya," katanya tanpa menghentikan usapan tangannya. "Aku akan dengan senang hati mendengar semua ceritamu." Beberapa lama ia masih duduk di samping Yaya, melihat wajah perempuan yang membuatnya sulit untuk konsentrasi.
Ganin mengerang pelan, ketika Yaya menyibakkan selimut yang melindungi tubuh perempuan itu. Memperlihatkan tank top dan celana yang tidak menutupi apapun melekat di tubuh perempuan yang terlihat kehilangan sinar matanya. Ia lelaki normal, saat ini harus menahan diri melihat tubuh menggoda Yaya yang tak terlihat tenang dalam tidurnya. Ia terus mengganti kompres di kening Yaya hingga suhu tubuh perempuan yang tertidur nyenyak itu kembali normal. Dengan napas lega, ia duduk di kursi menghadap ranjang karena tak ingin meninggalkan Yaya barang sedetik.
Entah apa yang terjadi padanya, perempuan yang baru saja ia kenal itu memenuhi kepalanya. Rasa kuatir dan takut ketika mendapati Yaya diam seperti tak bernyawa hampir membuatnya ingin memeluk tubuh lemas itu. Sesekali Yaya bergerak, membuat selimut yang membungkus tubuh itu terbuka dan membuatnya mengerang karena pemandangan di depannya sungguh sebuah ujian bagi semua pria. Terlebih lagi ketika ingatan pertemuan pertama mereka kembali melintas di pikirannya, dan kini ia dapat melihat dengan jelas apa yang saat itu berlapis bra hitam berenda.
"Aku butuh mandi air dingin, sekarang!" rutuknya dalam hati ketika melihat semburat sinar matahari dan tak menyadari waktu sudah berlalu sejak ia membawa Yaya naik ke atas ranjang.
Ganin keluar kamar setelah memastikan kondisi Yaya untuk bersiap menaklukkan dunia berdua bersama Seno—sahabatnya. Pria yang pasti tertawa bahagia mendengar ceritanya nanti. Mereka berdua sudah melewati pasang surut dalam memulai karir, kedekatan keduanya bahkan lebih dari sahabat karena Seno menjadi satu-satunya saudara lelaki yang ia punya selama ini. Terkadang, ada rasa iri di hati saat ia melihat kemesraan Seno dan Lita—istrinya—yang terkadang lupa dengan keadaan sekitar. Dua orang yang memiliki sifat bertolak belakang menjadi pasangan ideal di matanya.
"Aku benar-benar butuh jauh darinya, sebelum enggak bisa menahan diri," katanya sebelum menutup rapat pintu kamar Yaya.
Sekian menit ia menghabiskan waktu di dalam kamar untuk menurunkan keinginan menerjang Yaya yang tergelatak di kamar tamunya. Ia bukan pria brengsek yang memanfaatkan kerapuhan seorang perempuan untuk membawanya ke atas ranjang. Ganin bersimpati dengan apapun yang Yaya hadapi saat ini, dan ia bertekad membantu perempuan itu melewati semuanya. Walaupun ia tak tahu kenapa perasaan ingin melindungi dan menjaga Yaya terasa kuat di hatinya saat ini.
Sebelum kembali ke kamar tamu, Ganin menuju dapur menyiapkan sarapan sederhana. Ia tahu ketika Yaya membuka mata nanti akan membutuhkan tenaga untuk memulai hari setelah malam buruk yang dilewati perempuan itu. Ia sungguh ingin tahu apa yang membuat Yaya kacau, karena Soraya yang dikenalnya memiliki semangat hidup di mata. Senyum di bibir yang membuat tulang pipinya terlihat lebih menonjol. Bahkan Ganin masih bisa mengingat semburat merah di pipi Yaya ketika ia menggodanya, karena untuk pertama kali, ia melihat perempuan tersipu malu dengan tulus padanya.
Masih dengan pikiran tertuju pada Yaya, ia menyesap kopi memandang jendela membawa semangat di hari baru. Merasakan pahit yang membangunkan indera di tubuhnya. Ia membutuhkan tambahan kekuatan untuk berhadapan dengan perempuan yang tak terlihat memiliki semangat untuk hidup. Ia tak tahu apa yang akan terjadi padanya dan Yaya setelah hari ini. Namun, ada sesuatu di diri Yaya yang membuat kakinya tak mampu untuk menjauh. Tidak hanya menyita pikirannya, karena saat ini, badannya pun terasa tak mampu untuk menjauh dari perempuan bersenyum manis itu.
Ganin menghela napas panjang, mengingat malam panjang yang ia habiskan memandang Yaya hingga suhu tubuh perempuan itu kembali normal. Mengamati wajah cantik yang malam itu terlihat gelisah dalam tidurnya. Kerutan di kening yang tak kunjung menghilang semakin membuatnya bertanya-tanya. Pengalaman hidup membuatnya bisa menebak masalah yang Yaya hadapi saat ini tak jauh dari percintaan, dan itu membuat hati dan pikirannya bertolak belakang. Logikanya berkata, ia bisa membantu Yaya melewati masalahnya. Namun, hatinya takut jika hal itu membuatnya semakin sulit untuk jauh darinya.
Yuhuuu ... Yaya is back.
Untuk teman-teman yang pengen baca duluan, bisa ke KK.
Untuk wp, Insya Allah tetap di publish tapi selow buanget.
Thank you yaaa
Love you all
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top