A day in Yaya's live
Sambil menyandarkan siku di railling balkon lantai dua, Yaya mengamati situasi lantai satu. Meski beberapa meja terlihat kosong, tapi kafe yang beroperasi sejak enam bulan lalu tersebut relatif ramai. Bangunan dua lantai dengan atap segitiga yang terletak tak jauh dari salah satu universitas swasta di Surabaya tersebut, menjadi salah satu tujuan bagi para mahasiswa untuk berkumpul sekedar menghabiskan waktu, mengerjakan tugas ataupun bekerja.
Pembagian ruangan yang terlihat jelas sesuai kebutuhan menjadi salah satu daya tarik mereka. Lantai satu terdapat beberapa meja dengan empat kursi dan booth yang menempel di dinding. Cocok bagi mereka yang ingin suasana tertutup tapi cukup terbuka. Berbeda dengan area outdoor yang lebih terbuka, santai dan mengundang untuk berlama-lama di bawah naungan pergola dengan tanaman bougenville yang membuat suasana terasa berbeda. Sedangkan lantai dua terdiri dari ruang meeting yang bisa dipesan dan juga ruang kerjanya.
Selama enam bulan Yaya menghabiskan waktu sejak pagi hingga malam hari di sana. Ia dan Ananta—sahabat dan partner kerjanya—terlibat semenjak kafe masih berupa wacana hingga saat ini. Meski saat ini keterlibatan Ananta semakin berkurang sejak perempuan yang dikenalnya saat hari pertama kuliah tersebut menikah dengan Rizky—pria yang membawa konsep kafe pada mereka berdua.
Mengingat dua orang yang selama beberapa hari tak terlihat di kafe, membuat Yaya bertanya dalam hati. Ia dan Ananta seolah tak terpisahkan sejak ide mendirikan Sweet tooth terlontar ketika mereka menghabiskan waktu di salah satu kafe tak jauh dari kampus beberapa tahun lalu. Namun, sejak Ananta melepas masa lajangnya, ia harus menerima perubahan kondisi mereka berdua.
Sehat, Na?
Ananta Gemintang
Sehat. Cuma akhir-akhir ini pusing dan mual
Iku jenenge meteng, Na!
Ananta Gemintang
Belum tentu. Kali aja masuk angin
Atau karena kelebihan jatah.
Makanya di kasih jeda, jangan digempur tiap hari
Yaya tertawa membaca pesan yang dikirimnya. Terlebih lagi ketika balasan Ananta penuh dengan umpatan khas Surabaya yang bisa membuat semua orang mengerutkan kening ketika mendengarnya. Membuat tawanya semakin kencang.
"Bahagia banget, Mbak," sapa Asti membuyarkan lamunannya membayangkan wajah jengkel Ananta ketika mengetik umpatan untuknya. "Pasti Mas Dipa udah pulang, ya," tebak Asti menyebut nama tunangannya.
"Halah ... anak kecil enggak usah ikut-ikutan!" Asti, salah satu anak buahnya yang baru lulus SMK beberapa bulan lalu memiliki semangat kerja yang luar biasa. Meski terkadang membuatnya malu melihat kesigapan dan kerajinan gadis berjilbab tersebut. "Kerja sana! ngapain ke sini?!"
"Mau siapin ruang meeting. Ada yang booking dadakan untuk lunch meeting katanya." Yaya menegakkan punggung mendengar pemesanan yang seharusnya dilakukan H-1.
"Terus, kamu terima?" tanyanya kaget.
"Belum, sih, Mbak. Ini mau tanya Mbak Yaya sekalian siapin ruangan kalau emang bisa." Salah satu yang membuatnya kagum dan juga jengkel dengan Asti yang selalu ingin melakukan dua hingga tiga pekerjaan dalam sekali waktu.
"Kalau belum kamu oke-in, ngapain siapin ruangan, coba?!" tanya Yaya yang semakin heran dengan kelakuan Asti.
Asti tak terlihat takut atau segan meski saat ini nada suaranya sedikit lebih tinggi dari pada biasanya. Bahkan gadis yang terlihat menahan tawa itu hanya menjawab dengan santai. "Karena aku tahu apa jawaban Mbak Yaya. Kalau semua siap—dan aku tahu semuanya siap—pasti Mbak enggak bakalan nolak orderan itu. iya, kan?!"
"Embuh, Ti. Sak karepmu, diresiki sik ruangane! Cek semuanya! Aku ke bawah dulu cek dapur dan kesiapannya. Kita enggak mungkin siapin makan siang kalau bahan-bahannya enggak ready semua," omelnya sambil meninggalkan Asti yang sudah bergerak menuju salah satu ruang meeting tanpa menantinya.
"Siap, Bos!" teriakan Asti terdengar ketika langkahnya berada di tengah jalan menuju lantai satu. Yaya menggeleng keheranan melihat kelakuan gadis tersebut, walau saat ini ia harus menahan diri untuk tidak tertawa.
Ia tak pernah bekerja di dapur komersial. Namun, ketika Rizky dan Ananta meyakinkannya bahwa menjalankan dapur kafe tak akan sesulit menerbangkan pesawat, ia memberanikan diri untuk menerima tanggung jawab sebagai manager pelaksana. Ia melihat semua staff dapur sibuk dengan tugasnya masing-masing dan senyum di bibirnya tak bisa ditahan. Rasa bangga dan puas selalu mewarnai suasana hatinya setiap kali melangkah memasuki area dapur yang menjadi satu dengan area kerja sweet tooth. Salah satu syarat yang ia dan Ananta ajukan ketika menerima penawaran Rizky adalah, mereka bisa melanjutkan usaha kue yang mereka rintis sejak keduanya menyelesaikan kuliah.
"Piye, Mas? Siap untuk lunch meeting dadakan?!" tanyanya pada Wemmy, pria asal Malang yang bertanggung jawab urusan dapur.
"Beres, Ya," jawab Wemmy tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaannya. "Asti tadi konfirmasi aku dulu sebelum nyari kamu," jawab pria yang menolak dipanggil Mas, meski usia mereka berbeda lima tahun. "Anak-anak udah siap, kok. Tenang aja." Mendengar hal itu, ia merasa semakin puas dan juga jengkel karena Asti berhasil mengerjainya beberapa saat lalu.
"Kenapa? Kamu dikerjain Asti, to?!" tanya Wemmy yang melihat wajahnya berubah. Bahkan tawa pria berambut cepak tersebut semakin membuatnya jengkel.
"Arek iku njaluk tak sambel, kok!" katanya sebelum melangkah menuju lantai dua setelah memastikan semuanya siap. Tawa Wemmy yang masih mengisi ruang dengarnya membuat langkahnya semakin cepat menaiki anak tangga menuju lantai dua.
"Ti! Mayak, koen! Ojo nggarai wong emosi, yo!" omelnya ketika mendapati Asti mengelap meja rapat yang terlihat bersih tanpa ada debu menempel di sana. "Nek wis beres kabeh, lapo atek laporan! Marai wong kaget ae!"
"Dari pada kamu ngelamun menghitung hari sampai Mas Dipa pulang," ejek Asti yang tak terlihat bersalah meski melihatnya berkacak pinggang di ambang pintu.
Tanpa meneruskan omelannya ketika mendengar nama Dipa, Yaya meninggalkan Asti menuju ruang kerjanya. Ia membutuhkan sesuatu yang membuat otaknya sibuk dan tidak selalu memikirkan pria yang berada di Kalimantan sejak tiga minggu lalu. Tanpa mengindahkan panggilan Asti, ia memasuki ruangan yang resmi menjadi daerah kekuasaannya sejak Rizky menyerahkan kunci utama kafe padanya.
Ruangan kecil terdiri dari sepasang meja dan kursi kerja, lemari kabinet, meja kecil juga single sofa berwarna putih, membuat ruangan kecilnya menjadi nyaman untuk bekerja. Ditambah dengan beberapa pot tanaman sukulen yang menjadi salah satu hobinya selama ini. Yaya menyalakan musik yang memenuhi ruangan, membuka laci meja kerja dan menghela napas panjang ketika melihat tumpukan nota juga tanda terima menunggu untuk dikerjakan.
"Kerja, Ya!" katanya. "Kangen ya kangen, tapi tetep kerja. Tagihan telepon enggak bakalan bisa di bayar kalau laporan itu enggak selesai!" kata Yaya menyemangati diri sendiri. Kebiasaan berbicara pada diri sendiri yang tak bisa hilang sejak SMA setiap kali ia butuh menaikkan suasana hati. Setelah meminta Asti membawakan segelas kopi dan juga kue, ia memulai bekerja.
Entah berapa lama ia bekerja. Karena saat ini pundak dan punggung yang terasa kaku menuntut untuk di gerakkan membuatnya berhenti. saat itu lah ketukan di pintu membuatnya terlonjak. Namun, sebelum ia berteriak masuk, ia melihat pria yang mengisi hari-harinya sejak tiga tahun lalu.
"Lho, Mas kok ada di sini?" tanyanya dengan mata membelalak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Matanya tak berhenti mengikuti langkah Dipa mendekatinya setelah menutup dan mengunci pintu ruang kerjanya. "Mas, kam—"
Dalam satu gerakan, Dipa mengangkat tubuhnya dan mendorong hingga punggungnya bertemu dengan dinding berwarna abu-abu di belakangnya. "Mas ...." katanya dengan napas yang tiba-tiba terasa pendek. Ia tak bisa menyelesaikan kalimatnya, bahkan pikirannya saat ini terasa kosong ketika Dipa menarik kedua tangannya ke atas dan bibir pria yang selalu melenakan tersebut menciumnya keras.
Ada rasa rindu dan takut yang Yaya rasakan di setiap hisapan bibir Dipa. Erangan tak bisa ditahannya lebih lama ketika leher menjadi tujuan Dipa selanjutnya. "Aku kangen." Suara serak diwarnai geraman terdengar jelas di telinganya. "Aku kangen dan enggak bisa nahan lebih lama lagi. Boleh?"
Yaya tak mampu menjawab ketika kecupan itu semakin turun hingga ia merasakan hisapan kuat tepat di atas payudara sebelah kiri. "Sayang, boleh?" tanya Dipa mengaburkan pikirannya.
Ketukan keras di pintu membuat keduanya melonjak dan segera memisahkan diri. Meski saat ini hanya ada mereka berdua di dalam ruang kerjanya, tapi mendengar ketukan tersebut membuatnya tersadar di mana mereka berada saat ini. "Mbak, turun bentar. Kangen-kangenannya ntar lagi, Mas Wem butuh bantuan!" teriakan Asti membuatnya melotot ke arah Dipa yang tertawa terbahak-bahak mengingat beberapa saat lalu keduanya hampir saja tak bisa menahan diri.
"Kenapa dia selalu muncul setiap kali aku nyium kamu di sini?" tanya Dipa keheranan mengingat Asti selalu menganggu mereka berdua. "Kayaknya anak buah kamu itu punya kekuatan super, deh."
"Ngawur!" jawab Yaya sambil berusaha merapikan penampilannya. "Itu karena dia tahu kalau kita berdua di kamar yang tertutup bukan hanya duduk sambil ngobrol, Mas." Ketukan kembali terdengar membuat tawa keduanya tak bisa di tahan lebih lama lagi. "Iya, Ti. Lima menit lagi aku turun!" teriaknya sambil merapikan ikatan rambutnya yang berantakan.
Yaya mengurai dan kembali mencepol rambut tepat di atas kepala ketika melirik Dipa yang terlihat tidak nyaman. "Kenapa, Mas?" tanyanya sambil menunduk dan mencium lembut bibir Dipa.
"Anak buah kamu ganggu kesenanganku aja." Yaya terkekeh melihat arah pandang Dipa dan segera menuju pintu sebelum melirik pria yang duduk di kursi kerjanya dengan wajah kusut. "Aku jemput?" tanya Dipa sesaat sebelum ia membuka pintu.
"Ketemu di apartemen aja, ya. Aku bawa mobil hari ini," jawabnya sambil membuka pintu. "Take your time, ntar kunci pintu titipin anak-anak kalau Mas enggak mau cari aku ke dapur." Setelah melayangkan ciuman jarak jauh, Yaya melangkah keluar.
Setelah memastikan pintu tertutup, ia membalik badan dan menabrak seseorang yang membuatnya hampir terjengkang ke belakang. Namun, lengan kokoh yang tiba-tiba melingkar di pinggangnya memastikan dirinya tidak terlihat bodoh dan malu karena tidak melihat arah jalannya saat ini.
"Kamu enggak apa-apa?" tanya pria yang menyelamatkannya. Posisi kepala mereka berdua yang hanya berjarak beberapa senti membuatnya bisa menghirup aroma mint yang menguar dari bibir pria berkaca mata tersebut. "Kamu enggak apa-apa?" Ia masih terdiam hingga cengkeraman di pinggang membuatnya tersadar.
Hangat yang dirasakannya dari dekapan pria dengan senyum menggoda menumpulkan otaknya. Membuat napasnya menjadi tak beraturan. Bahkan ia merasa ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya untuk masuk lebih jauh ke dalam pelukan itu. Saat itulah suara tawa terdengar dari kejauhan memecah lamunan dan mengembalikan kesadarannya. Yaya kembali memandang pria yang memberinya tatapan tak bisa ia artikan.
Yaya menegakkan badan dan memundurkan kepala. Ia bisa merasakan pipinya menghangat ketika pria itu kembali mendekatkan kepalanya. "Saya bisa lepas kamu, kan?" tanya pria itu yang tak terlihat canggung meski lengan kokohnya masih berada di pinggangnya.
"Maaf, Pak. Bisa, makasih," ucapnya menyadari kebodohannya. "Sekali lagi maaf, ya."
"Saya bisa lepas kamu kalau gitu, ya?" Yaya mengangguk beberapa kali tanpa kata. Ketika lengan yang selama beberapa saat terasa di pinggangnya menghilang, ada sesuatu terasa di hatinya. Aroma musk, dengan sedikit cendana dan kopi memenuhi indera penciumannya, membuatnya nyaman. Namun, sebelum sepenuhnya berlalu, pria itu kembali menatapnya. "Kancing kamu kebuka," kata pria itu mengedikkan dagu sebelum meninggalkannya dengan bibir terbuka dan mata membulat sempurna.
Ia segera menunduk dan mendapati dua kancing kemejanya terbuka dan memperlihatkan bra berenda warna hitam yang terlihat kontras dengan kulit putih langsatnya. Dengan tangan bergetar, ia mengancingkan kemeja dan segera berlari menuju dapur tanpa menoleh ke arah ke mana pria itu menghilang. Dalam hati, ia berharap tidak akan pernah kembali melihat pria itu.
"Yaya goblok!"umpatnya pada diri sendiri, mengingat kebodohannya hari ini. Membiarkan Dipamembuatnya terangsang, bahkan menginginkan lebih dan juga tidak sengaja membiarkanorang asing melihat dada terbukanya.
Itu namanya hamil
Entah, Ti. Terserah kamu, dibersihkan dulu ruangannya
Anak itu minta aku jadikan sambel, kok!
Jangan buat orang emosi
Kalau sudah beres semua kenapa pakai laporan.Buat orang kaget saja!
Yuhuuu ... pasti kaget karena ujug-ujug ada update baru.
Kali ini aku enggak ada jadwal tertentu, kalau pas bisa update ya update. Kalau udah seminggu enggak ada update, feel free untuk dm atau inbox ingetin. Terkadang kalau pas ngerjakan cerita, lupa kalau ada yang nunggu cerita. Jadi, jangan sungkan untuk tanya. Dengan catatan seminggu lebih aku enggak update ya. Hehehehe
Anyway ... cerita mereka berdua ini bikin maju mundur untuk di publish, tapi sayang kalau enggak aku bagi ke teman-teman semua.
So ... happy reading
Happy wiken teman-teman semua
Love, ya!
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top