Bab 13
Februari 2019
Bulan-bulan menjelang akreditasi rumah sakit memang menguras tenaga baik fisik maupun batin. Semua pegawai entah junior maupun senior mau tidak mau harus bekerja ekstra bahkan time cleaning service dituntut agar bisa melakukan beberapa standar prosedur bila ada cairan tumpah. Selain itu, mereka yang ditunjuk sebagai panitia akreditasi harus bisa membagi waktu sampai lembur-lembur sekadar melengkapi berkas yang akan dipresentasikan. Termasuk aku.
Jujur saja, aku sangat malas bila terlibat acara seperti ini. Bersinggungan dengan orang lain kadang kala membuat energiku habis seketika. Apalagi berbasa-basi tak penting. Rasanya membuang-buang waktu. Namun, perintah tetap perintah. Aku tidak bisa menolak begitu saja apalagi di sini statusku sebatas pegawai kontrak yang kata mereka wajib menjalankan permintaan atasan.
Seperti sekarang, seharusnya jadwalku masuk siang tapi karena ada pelatihan yang mewajibkan orang-orang tertentu datang, akhirnya terpaksa hadir lebih awal. Di aula, aku duduk di tengah-tengah ruangan selagi mendengarkan pemateri memberikan metode terbaru mengenai rawat luka. Aku menghela napas, mencoret-coret buku catatan tak minat karena baru mendapatkan materi ini saat seminar empat bulan lalu.
Mendadak, pikiranku tertuju pada obrolan pagi bersama ibu. Sejak Arion datang ke rumah dan kami bertengkar di kafe Rolag, dia tak lagi menelepon atau sekadar mengirim pesan teks. Bukannya aku merindukan Arion, melainkan ibu yang terlalu cepat menyimpulkan hubungan kami sehingga dia berharap pria tersebut datang lagi ke rumah.
"Kapan temen kamu ke sini lagi, Mel?" tanya ibu saat menyiapkan sarapan pagi.
"Nggak tahu, Ma. Lagian Amel juga nggak ada hubungan apa-apa," jawabku mengambil nasi dari magic com ke piring.
"Kamu itu jangan terlalu cuek sama lelaki. Kalau dia kabur gimana?" komentar ibu melirik sinis. "Sudah untung ada yang mau deketin kamu, Mel. Coba dong sekali-kali kamu bertingkat agak centil, jangan terlalu diem gitu jadi perempuan."
Memang apa sih yang dilihat dari Arion? Oke, dia memang tampan, tinggi, kulitnya bersih dibanding tentara pada umumnya. Namun, apa semua itu sebanding dengan kelakuannya yang kasar? Ibu belum melihat jati diri Arion, kenapa terlalu mengagung-agungkannya?
Mataku menerawang jauh, suara pemateri sama sekali tidak masuk ke dalam otak. Justru bayangan ketika Arion ikut tenggelam dalam emosi yang kubuat sendiri saat kami di kafe kala itu. Aku bertanya-tanya apakah Arion tersinggung atas rasa sakit yang kualami empat tahun lalu dan melampiaskan kepadanya. Atau inikah alasannya dia mendadak menghilang?
Kamu merindukannya kan?
Aku menggeleng keras. Tidak! Tidak ada rindu untuknya. Bahkan hubungan kami tidak sejauh itu untuk menciptakan ruang yang ditempati Arion. Segalanya kosong bahkan bila ada pun, ruang tersebut untuk Ardan.
Pria yang tidak bisa kumiliki.
"Ayo fokus!" gumamku membuyarkan lamunan dan memerhatikan perempuan berjilbab dengan kaca mata besar.
"Prinsip perawatan luka modern saat ini mengutamakan kelembaban pada area luka yang sangat berbeda dengan perawatan luka konvensional. Kalau dulu kita merawat luka harus dengan betadine atau povidone iodine yang ditutup kasa kering, maka sekarang kita gunakan normal saline dengan kasa lembap yang bertujuan meningkatkan epitelisasi dan menurunkan angka infeksi," kata si pemateri dengan kaca mata besarnya.
Dia terdiam sejenak sambil memindah slide power point yang menunjukkan gambar-gambar jenis luka. "Pemilihan dressing pada luka itu berdasarkan warna dasar luka. Jika luka terlihat merah yang menandakan adanya granulasi maka kita pilih kasa lembap. Jika warna dasar luka terdapat slough maka kita ambil dressing seperti foam untuk menarik cairan kuning tersebut. Begitu juga dengan warna dasar luka kehijauan yang menandakan adanya infeksi maka pilih anti mikroba dressing. Tapi jika warna dasar luka kehitaman seperti pada kasus gangren maka pilih yang ada gel untuk melembapkan sel-sel yang telah mati sehingga kita mudah mengambil tanpa merusak jaringan di bawahnya."
Pelatihan selesai setengah jam sebelum jadwalku kerja. Saat masuk ke ruang Seroja, aku cukup kaget karena suasana agak ramai dibanding biasanya. Apa mungkin karena arahan dari pimpinan rumah sakit beberapa hari lalu yang ingin menaikkan jumlah pasien? Padahal dibanding jumlah perawat pun, rasa-rasanya kami akan kelabakan.
Benar saja. Papan tulis daftar nama pasien mendadak seperti kumpulan semut berbaris. Kapasitas bed dinaikkan nyaris dua kali lipat yang artinya ada ruangan baru di sebelah yang dibuka untuk ruang bedah perempuan. Sesaat, keningku mengerut lalu bertanya ke Mbak Eka, "Loh, sekarang kita handle dua ruangan, Mbak?"
Yang ditanya melenggut lalu menggerutu pelan. "Pusing aku. Dikira tenaga kita ini tenaga kuda apa. Mana pasiennya dokter Rio berjibun."
"Semua ruangan gitu?" tanyaku.
"Iya, atasan minta kenaikan pasien sampai dua ratus persen," kata Mbak Eka. "Kamu ganti dulu, Mel. Kita bakal sibuk ini."
###
+628xxx
Kamu sibuk ya?
+628xxx
Tanganku sakit loh! Kamu nggak mau rawat tanganku?
+628xxx
Besok aku mau kontrol ke poli.
Berhari-hari tak muncul, akhirnya dia mengirim pesan teks yang sama sekali tidak penting. Sepertinya masalah kemarin tidak benar-benar berarti untuk Arion. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu.
Sembari menguap karena lelah jaga siang, aku mengetik balasan untuk Arion dan menjelaskan kalau roses penyembuhan lukanya memang agak lama belum lagi proses penyatuan jaringan membutuhkan waktu hingga satu bulan.
Setelah kukirim balasan itu, Arion mendadak menelepon. Aku mendecak. Ini sudah pukul dua belas malam dan besok pagi aku harus kembali ke rumah sakit untuk membuat grafik keselamatan pasien. Dengan malas, kujawab panggilan teleponnya.
"Nggak tahu apa kalau ini sudah malam?" cibirku.
"Tahu. Aku cuma ingin telepon dan denger suara kamu," jawab Arion santai. "Emangnya ngapain sih kok sibuk banget?"
"Ada akreditasi rumah sakit," jawabku seraya menguap lagi.
"Oh, by the way, tanganku nggak bisa digerakkin ya. Buat nyetir motor nggak nyaman. Asli kaku banget ini, kayak hubungan kita. Kaku," tukas Arion terdengar ingin bercanda tapi aku tidak mampu tertawa karena dilanda lelah.
"Kenapa Anda masih betah kalau mulai jengah?" sindirku.
"Karena aku ingin mengenalmu lebih jauh, Mel," jawabnya serius. "Luka ditanganku mungkin nggak sebanding dengan luka di hatimu. Jadi ... kurasa kita bisa saling menyembuhkan."
"Anda nggak merasa tersinggung dengan ucapan saya kemarin? Berapa banyak sih orang yang sudah Anda perlakukan seperti ini?" ketusku kesal.
"Aku nggak ngajak bertengkar, Amelia. Aku meminta baik-baik dan ... aku ingin mengajakmu makan malam berdua. Memulai lagi dari awal."
"Kita nggak pernah memulai apa pun," tandasku. "Saya nggak punya waktu karena pekerjaan."
"Justru karena lelah kamu butuh hiburan. Lagian nggak bosen apa di rumah terus?" desak Arion tak menyerah.
Memijit kening yang berdenyut-denyut merasa berdebat dengan Arion tak akan pernah ada habisnya. "Ya sudah terserah Anda. Saya istirahat dulu."
"Nah gitu dong. Aku jemput hari sabtu malam. Aku tahu jadwal kerja kamu, jadi jangan menghindar. Selamat malam," pamitnya sebelum memutuskan sambungan telepon.
"Jadwal? Da-darimana dia tahu?" gerutuku menyadari kalau bisa jadi dia mendapatkannya dari Mbak Eka atau Mila.
Sialan!
###
Februari 2019
Pagi ini setelah operan jaga, aku mempersiapkan pasien perempuan berusia sekitar 40 tahunan yang akan dioperasi dengan abses gluteus disertai riwayat hiperglikemia pukul dua siang nanti. Hari ini kami benar-benar sangat sibuk mengingat ada beberapa pasien perhatian karena tekanan darah yang tinggi dan kadar glukosa yang tinggi pula.
Aku heran mengapa orang-orang tidak membatasi asupan karbohidrat atau lemak ketika menginjak usia 30 tahunan. Apalagi karbohidrat itu kejam. Sekali kena diabetes tak terkontrol, tubuh akan mengamuk dan akhirnya merespons denga berbagai gejala sampai akhirnya meninggalkan luka gangren. Itu kondisi yang terlihat jelas, sementara di bagian tubuh lain, risiko gagal ginjal atau gagal jantung pun senantiasa menghantui.
Secara bergantian, kami melaporkan perkembangan pasien perempuan yang harus diturunkan kadar gula darah yang mencapai hampir 500mg/dl. Angka fantastis dan menakutkan di saat bersamaan. Aku memberikan regulasi insulin melalui selang infus dan mengecek kesadaran pasien tersebut karena satu jam lalu sempat mengalami penurunan kesadaran.
"Tensinya 70 palpasi, SpO-nya 93%, suhu 38,5, respirasi 28 kali, nadi 100," lapor Rangga kepadaku.
"Oke, aku laporan ke dokter Ayu. Udah ditinggikan kepala bed-nya? " tanyaku sambil menelepon dokter penyakit dalam. Rangga mengangguk. "Pagi, dokter. Ini Amelia, ijin melaporkan vital sign bu Wati yang tadi kadar gulanya lima ratus."
"Iya, bagaimana, Mbak? Tensinya sudah naik?" tanya dokter Ayu.
"Tensinya belum naik, malah cenderung turun, Dok. Baru saja kami cek kembali, tensinya 70 palpasi, saturasi 93%, respirasi 28 kali cepat dangkal, dan suhunya 38,5 derajat," ucapku dengan intonasi cepat. "GCS 356, somnolen. Gula darah post regulasi masih 330 dari angka 500, Dokter."
"Grojok infus RL ya, Mbak, satu kolf dalam tiga puluh menit. Tensi ulang nanti lapor ke saya. Untuk regulasinya stop dulu aja, Mbak sampai keadaan pasien stabil. Besok cek GDA ya. Terus pasang nasal kanul 3 lpm, cek saturasi."
"Siap, dokter," ucapku seraya mencatat perintah dari dokter Ayu.
"Pasiennya masih puasa, Mbak?" tanya dokter Ayu.
"Iya, Dok. Tapi tadi kita suruh minum air putih karena pasiennya lemes banget," jawabku lalu memberikan catatan itu kepada Rangga.
"Iya udah, nggak apa-apa. Batalin dulu puasa. Operasinya mundur aja deh, Mbak. Nanti konfirmasi sama dokter Rio ya."
"Siap, terima kasih," kataku lalu memutus sambungan telepon kemudian berjalan cepat menuju ruang sebelah di mana pasien perempuan dirawat di sana. Semenjak ada perintah kalau perawat ruang Seroja menangani ruang Melati, jujur saja aku dan rekan-rekan sedikit kelabakan terutama bila ada pasien seperti ini.
Tidak ada waktu bercanda pun tak sempat berbicara. Aku dan Rangga menangani pasien perempuan sementara Mila dan Mbak Eka menangani pasien laki-laki yang mengalami tekanan darah tinggi dan tak kunjung turun. Dengan cekatan, tanganku memasang selang oksigen mengatur ke kecepatan yang diarahkan dokter Ayu sembari mengecek kembali saturasinya. Sementara Rangga mengganti cairan infus dan mempercepat tetesannya.
"Udah 97 itu, Mel," ujar Rangga menunjuk ke arah alat saturasi di jempol kanan pasien. "Sementara puasanya batal dulu ya, Bu, karena gulanya masih tinggi, demam juga. Minum air putih aja ya," tuturnya yang dibalas anggukan lemah bu Wati.
Selepas tindakan, kami kembali ke nurse station dan berpapasan dengan Mbak Eka yang baru selesai mengukur tekanan darah di kamar dua. "Gimana Mbak tensi Pak Suratman?" tanyaku.
"Tensinya turun dikit. Ini disuruh ngasih ekstra amlodipin 10mg. Kayaknya rencana operasi bakal mundur, tensi terkahir aja masih 160/110," ujar Mbak Eka lalu menulis hasil observasinya di lembar tindakan keperawatan. "Kalau bu Wati gimana?"
"GCS-nya 356. Somnolen, Mbak. Duh, pasien itu harus hati-hati jangan sampai kebablasan," sahut Rangga sembari mencuci tangan.
"Terus kata dokter Ayu gimana?" tanya Mbak Eka. "Ini pasien kok tumben jelek semua ya kondisinya? Makin pusing aku."
"Observasi tiga puluh menit lagi,Mbak. Pasang nasal 3 lpm, regulasi dihentikan dulu, besok cek GDA," jawabku. "Mau gimana lagi. Kita nggak pernah bisa menebak situasinya, Mbak."
Mbak Eka geleng-geleng kepala lalu berkata, "Ini kadar glukosanya emang gila. Sekali gulanya turun kesadarannya juga ikut turun. Sudah kamu kirim blanko laboratoriumnya untuk besok?"
"Sudah, Mbak."
"Oke, nanti tunggu dokter Ayu datang. Kan beliaunya hari ini visite jam sepuluh. Ya sudah, kamu laporan ke dokter Rio ya, Mel. Kayaknya bakal mundur tuh operasinya bu Wati."
"Siap, Mbak."
###
Menjaga keselamatan pasien sebelum operasi membuat diriku mengalami dehidrasi. Kuteguk air mineral yang dingin dengan cepat dan merasakannya menuruni kerongkongan sebelum berakhir ke lambung. Cuaca kota Surabaya yang luar biasa panas benar-benar menguras keringat. Belum lagi tumitku rasanya ingin patah karena lari ke sana kemari untuk melihat status pasien perhatian itu.
Saat akan ke kantin untuk jam makan siang, ponselku berdering. Kedua mataku berbinar melihat nama Ardan akhirnya muncul setelah sekian lama dia menghilang ditelan bumi. Cepat-cepat kujawab panggilan itu dengan perasaan riang, seakan-akan rasa lelah yang tadinya menjalari badan mendadak lenyap tanpa jejak.
"Hai," sapaku dengan semringah.
"Hai. Kulihat kamu sibuk," kata Ardan.
Refleks aku mengangguk dan merasa bodoh bahwa Ardan tak bisa melihat ekspresiku sekarang.
"Kamu kelihatan pucat, Mel. Kamu sering telat makan ya?" tebaknya.
Sesaat aku mengerutkan kening bagaimana bisa Ardan tahu kalau mukaku agak pucat hari ini. "Kamu di mana?"
"Arah jam dua," jawab Ardan.
Kuikuti kalimatnya. Dan benar saja, pria bertubuh kurus yang memakai kemeja merah itu tersenyum sembari mengangkat sebuah bungkusan putih.
"Ayo makan sama aku," ajaknya.
"Kamu nggak kerja?" tanyaku tersipu malu.
Dia menggeleng tanpa memutuskan sambungan telepon sementara aku berjalan mendekatinya. "Aku libur. Jadi, sekalian mengantar Eko kontrol ke sini."
Kami berdua akhirnya duduk di sudut kantin belakang rumah sakit. Ardan membawakan sebungkus nasi campur dan sebotol air lemon agar tubuhku tidak gampang sakit. Meski terbawa perasaan, pada akhirnya kami berdua pun lebih memilih mengulang masa lalu untuk dilakukan lagi.
Ardan bercerita bahwa semenjak kami putus, dia hampir seperti orang gila. Diam mengurung diri bahkan lupa tidak makan dan merawat diri. Dia juga bercerita bahwa beberapa orang terdekat Ardan menyayangkan bahwa hubungan kami berakhir.
Aku hampir menangis saat dia mengatakan kalau masih ada keinginan untuk menikahiku meski kami tahu itu mustahil. Dia rela menjadi single hingga sekarang untuk menunggu orang tuaku mengizinkan kami menikah.
"Aku masih meneruskan tabungan kita dulu," kata Ardan sembari melahap makanannya.
Masih teringat jelas dalam benakku, kami berdua memiliki satu rekening untuk biaya nikah. Namun, pada akhirnya semua itu pupus ketika ibu tahu dari sepupuku bahwa aku bekerja keras untuk biaya pernikahanku sendiri dengan Ardan.
"Alah, buat apa kamu nabung sama anak itu. Buang-buang waktu aja. Lagian kalau kamu sama tentara tak perlu susah-susah nabung, kerja lembur sampai badan cungkring kayak gitu, Mel," ejek ibu. "Kalau kamu terusin tabungan nggak guna kamu sama dia, Mama sumpahin kamu bakal cerai setaun pernikahan!"
"Jika Tuhan menghendaki dan memberi keajaiban pada kita, Mel. Aku sudah siap mempersunting kamu sekarang," kata Ardan penuh harap.
"Kenapa kamu menumbuhkan harapan yang sudah pasti nggak bisa menjadi kenyataan, Dan? Kamu hanya membuang waktu untuk harapan semu itu. Aku memang masih sayang sama kamu, tapi harapan itu sudah lama pupus, Dan. Mama dan Papaku nggak akan mau menerima kamu," ujarku terasa getir. Tapi, memang kenyataannya begitu kan? Sekali pun kami berusaha sampai berdarah-darah, tidak akan ada kesempatan.
Ardan terdiam lalu menundukkan kepala. Sejenak aku mendengar dia terkekeh seperti menertawakan dirinya.
"Kenapa menikahimu begitu sulit, Mel? Bahkan Tuhan pun nggak pernah menyulitkan umat-Nya untuk menikah. Kenapa manusia seperti orang tuamu yang kekayaannya bisa diambil kapan saja bisa memberi syarat yang nggak bisa kugapai?" keluh Ardan dengan mata berkaca-kaca.
Aku menggeleng sambil menahan bulir air mata tak mau terlihat lemah walau hati ini merasakan pedih. "Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana uang dan jabatan bisa membuat kita bertahan dalam bahtera rumah tangga bukan kehangatan dan kasih sayang di dalamnya, Dan. Maaf membuatmu seperti ini."
Sebelum Ardan membalas kalimatku, ponselku berdering. Arion menelepon di saat aku sedang berduaan bersama Ardan. Kucoba menolak panggilannya, namun dia kembali menelepon lagi.
"Kenapa nggak dijawab?" tanya Ardan.
Aku menggeleng dan menonaktifkan ponsel. "Nggak apa-apa. Hanya orang iseng."
Ardan kembali terdiam. Kedua matanya menatapku seolah-olah mencari celah rahasia yang kusembunyikan. Kualihkan pandangan ke arah lain merasa gugup. Dia tahu bahwa tidak selamanya aku bisa menyembunyikan sesuatu darinya.
"Apa itu dari pria lain?" tanya Ardan membuatku membeku seketika.
***
GDA : Gula Darah Acak
Slough : jaringan luka yang berwarna kuning yang biasanya merupakan hasil eksudat dari bakteri. Jadi, dasar luka yang bagus itu warna pink kemerahan, gaes.
Gluteus : pantat
Somnolen : Kesadaran pasien dimana pasien tersebut tidur tapi masih bisa dibangunkan dan masih bisa menjawab pertanyaan dengan benar. Tapi, ketika kita tidak memberi rangsangan, pasien tersebut tidur lagi. Kalau lebih gampang ya pasien mengantuk. Wkwwkw
GCS : Glascow Coma Scale yang terdiri dari Eye, Verbal, dan Motorik. Kalau kayak kita ini GCS 4 (eye), 5 (verbal), dan 6 (motorik) yang artinya kita sadar penuh.
Nasal canul: selang oksigen. Tapi pemberian oksigen ini banyak macamnya ya, tergantung dari dokter dan kasusnya.
Diabetes hiperglikemia : diabetes adalah tingginya kadar gula darah di atas normal. Kalau hiperglikemia itu salah satu komplikasinya di mana kadar gula bisa di atas 200mg/dl. Kayak kasus di atas pasien punya gula darah 500mg/dl. Nah, di sini perlu waspada lho gaes! Terlalu tinggi kadar glukosa membuat penderita bisa mengalami penurunan kesadaran, terlalu rendah juga mengalami hal yang sama. Jadi, penderita diabetes harus sering mengontrol gula darah supaya stabil ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top