DTA 24 - Curhat
💌💌💌
Yuk, maafkan kesalahan orang lain.
Agar hatimu tak diliputi penyakit dendam.
💓💓💓💓
"Tak ada manusia yang sempurna lolos dari sebuah kesalahan. Semua orang pasti pernah salah. Semua orang pasti pernah lupa dan lalai hingga ia bermaksiat. Karena manusia mempunyai nafsu dan tak lepas dari godaan setan yang terkutuk. Jadi tak pantas rasanya kita berkeras hati hingga tak mau memaafkan. Padahal Allah saja membuka jalan Maghfiroh-Nya begitu lebar untuk hamba-Nya yang mau bertaubat."
Penuturan cukup panjang ini keluar dari lisan Bapak Ayu yang kini berada di ruang tamu, semenjak kepulangan para tamunya ia tetap duduk di kursi yang tadi ia tempati menemui Pak Kiai dan keluarga. Ayu dan Emaknya juga duduk di tempat yang sama sejak tadi. Ketiganya masih berkumpul, karena Ihsan melarang Ayu yang tadi akan masuk ke kamarnya.
"Apakah Bapak telah memaafkan Evan sekarang? Setelah apa yang ia lakukan ke Ayu dulu?" tanya Ayu menatap Sang Bapak. Karena sejak tadi, Ihsan tampak menyambut ramah, tak ada sama sekali raut tak suka dari raut mukanya.
"Tak ada alasan buat Bapak, tak memaafkan orang yang mau meminta maaf. Lagian, Bapak juga mikir. Kejadian masa lalu kamu itu sepenuhnya bukan salah Evan kok, Yu. Kamu juga salah, kan?"
Ayu terkejut mendengar Bapaknya malah menyalahkan dirinya.
"Aish ... kenapa Bapak malah belain Evan? Dia kan yang ngekhianatin Ayu, Pak. Ayu tulus kok sama dia." Ayu tampak begitu kesal, tak terima dengan pembelaan Bapaknya terhadap Evan.
"Ayu ... ayu. Jadi sampai sekarang kamu nggak pernah merasa salah?" tanya Ihsan masih tetap menyalahkan anak gadisnya, membuat Ayu semakin kesal.
"Loh ... kok Bapak malah nyalain Ayu, sih!"
Ayu langsung bangkit dengan menghentakkan kaki, hendak pergi ke kamarnya.
"Bapak belum selesai ngomong, Ayu. Duduk!" Ihsan dengan tegas mencegah Ayu untuk masuk, membuat Ayu urung melangkah dan kembali duduk.
"Cobalah mikir dengan hati dan pikiran kamu. Jangan nafsu kamu yang buat mikir dengan menyalahkan orang terus. Semua yang terjadi di masa lalu, itu tak akan terjadi, kalau kamu menolak di ajak pacaran sama Evan dan kamu nggak ngelanggar apa yang Bapak wanti-wanti jangan pacaran. Tapi kamu tetap nekad pacaran dan itu terjadi sebagai peringatan buat kamu, Yu. Coba saja, jika tak pernah terjadi pengkhianatan itu. Mungkin kamu akan terus menikmati maksiat kamu selama pacaran. Iya, kan? Na'udzubillah min syarri dzalik."
Hati Ayu seakan tersentak mendengar penuturan sang bapak yang seketika membuatnya sadar. Selama ini, tak pernah terbesit pikiran itu. Ia hanya menyalahkan Evan dengan kata pengkhianat, pembohong dan lainnya. Ia tak sadar, jika diri dan ambisinyalah yang menjadi sumber kesalahan dan penyebab terjadinya semua itu.
Cukup lama Ayu terdiam, tertegun dengan segala pikiran yang penuh keegoisannya selama ini.
'Astaghfirullah ya Allah. Ampuni kesalahan hamba selama ini ya Allah. Ampuni segala dosa hamba ya Allah' batin Ayu dalam diamnya. Penyesalan dan rasa bersalah benar-benar merongrong hatinya saat ini.
"Ma-maafin Ayu, Pak," ucap Ayu akhirnya sembari menunduk, menyembunyikan linangan air mata yang dengan lancang membasahi pipinya.
"Ya sudah, damaikan hatimu dari rasa dendam. Dulu kamu cinta sama dia berlebihan, kini benci sama dia juga berlebihan. Memang ... segala sesuatu yang berlebihan itu akibatnya nggak baik, Yu. Jadi ... apa pun yang kamu rasakan saat ini dalam hatimu, rasakanlah sekedarnya saja."
"I-iya insyaallah, Pak."
---***---
Awan cumulus terlukis di langit biru begitu indah. Cahaya sang bagaskara, mampu menyinari luasnya samudera langit, hingga para manusia bisa menikmati dengan gratis keindahan pemandangan pagi ini.
Mentari telah meninggi melebihi satu tonggak. Tampak gadis yang baru saja usai melaksanakan salat sunah Duha itu, kini sedang melipat mukena dan meletakkannya di lemari khusus.
Ayu menengok ke arah jam dinding yang jarum jamnya saat ini menunjukkan pukul 08.30 WIB. Ia pun segera bersiap karena ada janji jalan dengan Oliv hendak ke toko buku.
Hampir satu jam keduanya keliling-keliling toko buku. Berburu buku dengan membuka dan membaca sinopsis buku yang terpampang di rak panjang dalam toko memang menguras waktu tanpa terasa lelah. Karena, kegiatan ini sebenarnya hobi Ayu dan Oliv yang sudah dirindukan semenjak Ayu ke pesantren.
"Alhamdulillah ... akhirnya tercapai juga ya, Ay kita borong buku-buku ini." Oliv dan Ayu baru saja keluar dari toko buku dengan membawa satu kantong plastik masing-masing di tangannya.
"Iya, Liv. Seneng banget ya. Pokoknya kalau udah baca, kita tukeran ya."
"Siap, Bos." Keduanya kompak terkekeh sembari berjalan beriringan menuju motor yang terparkir di depan toko.
"Isi perut dulu yuk, Liv. Laper dan haus, nih."
"Okelah ... aku ngikut aja. Yang penting bayarin ya." Ayu mulai duduk di jok belakang setelah Oliv siap di depannya.
"Lah ... kok aku, sih yang bayarin. Kamu, dong. Itung-itung syukuran jadi hafizah gitu lo."
"Hmm okelah." Akhirnya Ayu mengalah. Tak ada salahnya juga sedekah. Toh aku punya uang lebih sekarang, pikir Ayu yang memang dia tipykel wanita dermawan.
Hanya sepuluh menit keduanya menyisiri jalan. Oliv menjatuhkan pilihan untuk menikmati makan di warung ayam geprek.
Ayu pun langsung menuju meja yang kosong dan oliv menuju meja pemesanan. Setelah memesan dua menu yang sama, Oliv pun menghampiri Ayu.
Sembari menunggu pesanan datang. "Oh iya, Ay. Katanya semalam mau curhat. Soal apaan, nih?" tanya Ayu membuka obrolan.
"Emm soal kejadian semalam, Liv." Ayu tampak ragu-ragu menceritakannya. Namun, ia bingung harus meminta pendapat siapa lagi.
"Emang semalam ada apa?"
"Kamu inget E-evan, kan?"
"Ya ingetlah, Ay." Oliv mengangguk mantap tanpa ragu. "Malah aku inget banget gimana dia setelah kamu pindah ke pesantren waktu itu."
Ayu yang niatnya mau curhat soal lamaran Evan semalam. Malah sekarang ia penasaran dengan kejadian di masa lalu yang ia tak tahu."Emang dia kenapa, Liv?"
"Beneran, nih kamu mau dengerin cerita ini. Waktu di pondok kamu kan nggak mau aku bahas ini."
"Bedalah, Liv. Waktu itu kan aku pingin move on dari dia."
"Haaa jadi ... selama ini kamu seriusan belum juga move on dari dia, Ay?" Oliv benar-benar terkejut mendengar hal ini. Pasalnya selama sekolah, Ayu sangat gampang suka sama cowok ganteng dan mudah melupakan dengan ganti suka cowok lain.
"Udah ... nggak usah ngeledek gitu." Ayu meraup wajah Oliv yang melongo, membuat sahabatnya itu terbahak.
Setelah puas tertawa, Oliv pun mulai bercerita.
"Semenjak kamu pindah sekolah. Aku diteror terus sama Evan tiap hari nanyain kamu pindah ke mana. Sampai akhirnya aku menyerah karena risih juga lama-lama diteror dia terus."
"Ya ampun ... jadi yang bilang aku pindah ke pesantren itu kamu, Liv." Ayu tepuk jidat dan menatap Oliv dengan wajah kesal.
"Hehehe sorry, Ay. Lagian aku juga nggak tega sama Evan. Dia kayak yang frustasi gitu semenjak kamu ninggalin dia. Dia bener-bener berubah pokoknya. Dan tak lama setelah itu, aku denger dia pindah sekolah juga."
"Jadi ... Evan ngejar aku sampai ke pondok?" batin Oliv.
.
.
.
.
.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top