DTA 19 - Galau

Alladzîna kafarû washoddû 'an sabililâhi adholla a'mâlahum. Walladzîna àmanû wa'amilusshôlihâ ulâika.

"Hmm."

Walladzîna àmanû wa'amilusshôlihâ ulâika.

"Hmm, salah, Mbak. Yang bener Walladzîna àmanû wa'amilusshôlihâ wa âmanû."

Ayu mengangguk-anggukan kepala, baru sadar atas kekeliruannya dan kembali melanjutkan.

"Walladzîna àmanû wa'amilusshôlihâ ulâika."

"Hmm."

"Astaghfirullah," ucap Ayu tampak kesal pada dirinya sendiri yang kurang fokus.

"Lagi mikirin apa, Mbak? Kok nggak fokus gitu? Diulangi lagi ya besok plus tambah hafalan."

Ayu semakin menunduk, benar-benar malu hafalannya bisa berantakan seperti ini. Namun, detik kemudian Ayu mengangguk-anggukkan kepala sebagai jawaban iya atas titah Bu Nyai. 'Ini gara-gara aku takut ketemu sama anak Bu Nyai. Fokusku ambyar.' batin Ayu sembari beringsut mundur.

Ya Allah ... Gus Gus. Gara-gara kamu aku jadi kayak gini. Aku ini malu atau ngerasa bersalah, sih? Kenapa hatiku jadi tak tenang? Gelisah, merasa tak sopan dan kurang ajar atas sikapku kepadanya selama ini.

Pagi semakin cerah, tetapi tak secerah wajah Ayu yang tampak melangkah dengan gontai, tak semangat menuju kamar. Tangannya mendekap kitab suci Al Quran. Namun pikirannya seperti lagi tak tenang, tampak dari netranya yang kini menatap kosong ke arah depan.

"Mbak, Ay. Ayuk sarapan," ajak Lala dan Lili yang baru masuk kamar, dua wanita bersaudara kembar itu tampak meletakkan dua bungkus nasi masing-masing di lantai.

"Iya, La, Li. Silakan," ucap Ayu tersenyum lalu merebahkan tubuhnya. Ia tak mau ketahuan jika pikirannya ambyar dan berakhir melamun.

"Assalamualaikum." Terdengar penuh semangat dari pengucap salam yang sepertinya baru masuk kamar.

Ayu menjawab salam itu lebih lengkap dengan suara lirih.

"Mbak Rani sini makan."

"Eh iya, iya makasih silakan. Ini aku juga mau makan hehe."

Ayu masih bergeming, meski ia tahu jika Ranilah yang masuk kamar saat dua saudara kembar itu menawarkan makan. Ia memilih tetap berpura-pura tak peduli.

"Mbak Ayuuu." Rani dengan semangat menghampiri Ayu yang sedang terngkurap.

"Hmmm," jawab Ayu singkat. Tampak ia masih memilih sibuk dengan buku bacaan di hadapannya.

"Makan, yuk, Mbak Ayu. Aku bawa sarapan porsi jumbo, nih.Dapat bonus banyak dari Mak Ipa."

Ingin sebenarnya ia menolak karena rasa malas benar-benar menggelayut manja pada dirinya. Pikiran berantakan, membuat mood melakukan apa pun menjadi enggan. Namun, sang perut tak bisa berdusta. Mendengar makanan disebut, perut Ayu malah berbunyi dengan terang-terangan.

Ayu pun tak bisa mengelak lagi. Ia pun akhirnya beringsut bangkit, lalu menghadap ke arah Rani. Ternyata nafsu makannya bisa mengalahkan rasa malas yang mendera.

Keduanya pun makan nasi sebungkus berdua dengan lauk telur dadar dan oseng buncis wortel.

"Mbak, setelah ikut aku ke ndalem, ya," ucap Rani ditengah kegiatan makannya setelah ia menghabiskan kunyahan.

'Degh. Bahaya, nih kalau aku ke ndalem bisa-bisa, ah.'

"Maaf ya, Mbak Rani. Ayu nggak bisa bantuin. Aku sibuk setelah ini." Rani tampak memicing heran, karena tak biasanya Ayu menolak dan bilang sibuk.

"Emang setelah ini mau ngapain?" Tanya Rani penasaran dan mulai menyelidik.

Ayu yang sebenarnya tak punya rencana apa pun tampak berpikir, mencari alasan agar dirinya bisa lolos tak ke ndalem pagi ini. Ia benar-benar malu dan tak siap jika harus bertemu dengan Gus Husein hari ini.

Mau taruh di mana mukaku kalau ketemu dia? Nggak mungkin kan aku pakai helm ke ndalem. Huh, dilarang ketawa. Bukannya menjawab pertanyaan Rani, Ayu lebih asyik ngedumel dalam hatinya, sehingga tak terasa ia memukul mulutnya sendiri saat merasa lucu dengan buah pikirannya sendiri.

Rani yang merasakan tingkah Ayu mulai aneh. "Audzubillahiminasysyaithonirrojim. Bismillahirrohmanirrohim. Allahu lailahaillahuwalhayyulqoyyum." Ayu tersentak dan langsung memukul tangan Rani yang memegang pundaknya. "Ish, kamu ini ngapain, sih, Mbak."

Rani yang tadi terpejam, berniat membacakan ayat kursi untuk Ayu yang dianggapnya takut kesurupan seketika membuka mata saat tanganya dipukul.

"Hehehe, Mbak Ayu nggak kesurupan, to?" tanya Rani dengan cengengesan, membuat Ayu mendengus kesal.

"Becanda Mbak Ayu. Lah, Mbak Ayunya tingkahnya nggak jelas gitu, kok. Ngapain tadi ditanya malah mukul mulut sendiri?"

Ayu yang baru sadar akan tingkah anehnya menatap Rani intens. 'Astaghfirullahaladzhim.'
Gadis berkerudung krem itu pun tak bisa lagi menahan gejolak hatinya seorang diri. Ia harus cerita kepada Rani apa yang dialaminya saat ini.

"Se-sebenarnya aku nggak mau ke ndalem karena takut, Mbak Rani."

"Loh takut kenapa, Mbak Ayu?" Rani yang akan menyuap makanan urung. Namun, seusainya melempar tanya, ia melanjutkan aktivitas makannya.

Ayu tampak menghela napas, lalu makan dengan lahap. Saat perutnya merasa cukup terisi ia pun baru bercerita bahwa dirinya takut bertemu Gus Husein, karena Gus Husein itu ternyata laki-laki yang ia kira Rama, kakak kelasnya dulu.

Rani yang mendengar cerita Ayu pun tampak bingung. Bagaimana bisa satu orang mempunyai dua nama. Setahunya, Gus Rama putra bungsu Bu Nyai Hana dan tak punya saudara kembar.

"Bentar-bentar deh, Mbak. Kamu tahu nggak nama lengkap Rama itu siapa?"
Ayu menggelengkan kepala.

"Aku juga nggak tahu, sih siapa nama lengkap Gus Husein. Entarlah Mbak aku cari tahu. Tapi Mbak Ayu harus mau ya bantuin aku di ndalem nanti. Please, lah Mbak. Mbak Dewi ternyata kemarin sore pulang, katanya sakitnya tambah parah. Jadi otomatis selama Mbak Dewi belum balik aku nggak ada yang nemenin kalau lagi di ndalem. Ya Mbak Ayu, ya. Please." Rani tampak memelas, memohon agar Ayu mau membantunya.

"Entar kalau ketemu, Gus Husein mau taruh di mana mukaku, Mbak? Aku kan malu banget."

"Gimana kalau pakek cadar?" usul Rani asal.

"Emang Mbak Rani punya?" Rani menggeleng sembari menampakkan gigi putihnya.

Beberapa menit berlalu, keduanya tampak mengusaikan aktivitas sarapannya. "Oh iya, Mbak Ayu nggak ada niatan minta maaf gitu sama Gus Husein? Secara, kan. Apa yang dilakukan kepada beliau kurang sopan. Apalagi beliau adalah putra guru kita lo, Mbak."

"Iya juga, sih Mbak. Aku juga merasa bersalah dengan sikapku yang udah kurang ajar sama beliau."

"Nah ... makanya itu, kalau nanti ketemu jadi kesempatan dong, Mbak bisa minta maaf langsung sama beliau."

"Eh, nggak semudah itu kali, Mbak."

"Kenapa nggak mudah? Buktinya dulu Mbak Ayu ngutarain cinta mudah dan lancar gitu meluncurnya dari lisan Mbak Ayu, kalah tuh sama main prosotan kayaknya."

"Ih, apaan tuh perumpamaan nggak nyambung banget."

"Nggak nyambung juga nggak apa-apa, Mbak. Yang penting ayok cus lah kita ke ndalem sekarang. Entar aku bantuin, deh." Rani menyeret tangan Ayu dengan teganya, Ayu hanya bisa pasrah dan berdoa semoga ia tak dipertemukan dengan Gus Husein kali ini.

.
.
.
.
Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top