DTA 18 - Ternyata Gus

💓💓💓💓

Yuk, biasakan hidup sesuai adab yang diajarkan Rasulullah. Agar Allah merahmati setiap aktivitasmu.

💌💌💌

Tepat pukul 10.30 WIB. Rani dan Ayu tampak berjalan beriringan begitu keduanya keluar dari ndalem.

"Alhamdulillah akhirnya beres juga ya, Mbak Ayu," ucap Rani tersenyum lega menatap Ayu.

Ayu pun tersenyum seraya menganggukkan kepala. Selepas pekerjaannya usai, ia tak langsung kembali ke asrama. Melihat Rani yang belum selesai memasak sayur dan menggoreng ikan, Ayu sebagai sahabat yang baik membantu sesuai dengan apa yang dia bisa.

"Eh, Mbak Rani tadi aku ketemu cowok yang pernah jadi korban kebucinan aku jaman SMP dulu lo."

"Ketemu di mana, Mbak?" tanya Rani penasaran. Pasalnya setahu dia, Ayu hanya bertuga bersih-bersih ndalem. Bagaimana ceritanya, kan dia bertemu laki-laki?

"Masuk ndalem sebentar lalu balik lagi keluar."

Rani semakin mengerutkan kening. Bertambah heran dan bingung, bagaimana bisa ada sosok laki-laki yang berani masuk ndalem di saat Bu Nyai dan Kiyai sedang keluar? Hanya ada satu kemungkinan, pikir Rani.

"Kok bisa? Atau yang dimaksud Mbak Ayu laki-laki itu Gus Husein?"

"Gus Husein? Ah nggak mungkin, lah. Dia itu namanya Rama, kok."

"Rama?Mbak Ayu yakin?"

"Iya. Memangnya Mbak Rani nggak pernah tahu ada akang-akang yang khodam juga di ndalem dengan nama Rama?"

Rani tampak berpikir sejenak lalu menggelengkan kepala. "Atau itu temennya Gus Husein mungkin, Mbak?"

"Bisa jadi, sih. Dia disuruh Gus Husein mengambil sesuatu gitu, ya." Ayu pun setuju, kemungkinan itu bisa jadi benar. Karena dia yakin laki-laki itu yang ia kenal namanya Rama bukan Husein.

Sesampainya di kamar suasana sepi, belum ada yang balik ke kamar. Rani dan Ayu tergolong senior di kamar ini, karena yang lain ada masih sekolah SMP dan adapula yang SMA. Kamar yang beranggotakan lima belas orang ini, Ayulah yang menjadi ketua kamar dan Rani sebagai wakilnya. Jadi mereka akan berdatangan nanti sekitar jam 12.00 WIB

Dua wanita yang baru datang itu, langsung mengambil bantal masing-masing dan mulai merembahkan diri untuk melepas rasa lelah, setelah melakukan aktivitas di ndalem.

Sepuluh menit berlalu. Namun Ayu belum bisa terlelap. Pikirannya masih penasaran dengan kemunculan Rama yang tiba-tiba. Sejak kapan laki-laki itu sepondok dengan dirinya? Atau memang dia dulu sepondok dengan Gus Husein dan akhirnya mereka sahabatan?

Daripada sibuk menerka-nerka. Pikiran Ayu pun beralih mengingat kejadian konyolnya dulu saat SMP. Menyatakan perasaan ke ketua rohis itu pengalaman pertama buat Ayu. Laki-laki ganteng yang menjadi idola teman-teman wanitanya itu, membuat Ayu tekun mengikuti kegiatan rohis di sekolahnya.

"Kak Rama."

Rama yang baru saja usai melaksanakan salat Duha dan akan kembali ke kelasnya itu menoleh.

Melihat yang memanggilnya seorang perempuan. Rama memang berhenti, lalu menundukkan kepala. "Maaf ada apa, ya?"

"Boleh kenalan?" tanya Ayu sembari menyodorkan tangannya ke depan, begitu dirinya telah bediri di hadapan Rama.

Merasa jarak dirinya dengan perempuan di hadapannya terlalu dekat. Rama memundurkan kaki beberapa langkah lalu menangkupkan kedua tangannya di depan. "Maaf, saya ada urusan yang lebih penting."

Ayu sontak membeliak mendengar penolakan Rama yang secara terang-terangan itu. Namun, bukan Ayu namanya jika ia menyerah begitu saja. "Eh, Kak. Apakah aku salah jika aku kenalan sama kakak karena aku mau ikutan Rohis?"

Rama yang mendengar kata Rohis itu pun menghentikan langkah. "Saya Rama, ketua Rohis. Kalau kamu mau daftar langsung saja daftarkan diri ke Kak Amira kelas VII A ya."

"Kenalin, kak. Saya Ayudhisa. Saya suka sama Kak Rama. Saya cinta sama Kak Rama. Apa Kakak mau jadi pacar Ayu?"

Ayu tampak senyum-senyum mengingat tingkah konyolnya di masa lalu. Apalagi saat mengingat wajah cengo Rama saat itu akibat terkejut dan langsung meninggalkan Ayu tanpa kata, sama sekali tak pedulikan Ayu yang memanggil namanya berkali-kali.

"Ya Allah. Parah banget ya aku di zaman jahiliyah dulu. Tak tahu malu dan malu-maluin banget." Ayu mengusap wajahnya kasar, melewati bibir yang tak henti mengukir senyum. Tak habis pikir, bagaimana bisa ia begitu blak-blakan mengutarakan cintanya pada sosok laki-laki salih itu tanpa segan sama sekali.

---***---

Langit kini berwarna jingga akibat terpaan sang Bagaskara yang sepertinya telah siap akan kembali ke peraduan. Tampak santriwati telah rapi dan cantik, pertanda sudah mandi. Begitu pun Ayu, kini ia sedang memakai mukena dan memilih duduk di tempat kesukaannya yaitu di depan kamar yang di depannya ada dinding penyekat yang menjadi tempat ia meletakkan mushaf.

Lisannya sejak lima menit yang lalu tak henti membaca huruf demi huruf hijaiyah yang menjadi ayat dalam kitab suci umat Islam itu. Ia sedang muroja'ah dengan mata yang tertutup agar bisa konsentrasi, namun adakalanya sesekali matanya terbuka saat lupa dengan hafalannya.

"Mbak Ayu, Mbak Ayu. Ikut aku sekarang, yuk." Rani yang datang tergopoh- gopoh langsung meraih tangan Ayu dan menyeretnya untuk mengikuti langkahnya.

"Eh, eh, Mbak. Mau ke mana, sih?" Ayu buru-buru menutup mushaf lalu membawanya.

Tanpa menjawab pertanyaan Ayu, Rani terus melanjutkan langkah dan berhenti di Aula putih yang tak jauh dari kamarnya.

Aula ini dinamakan Aula putih karena lantainya berkeramik putih. Sedangkan di area pondok putri ini ada tiga aula, aula utama, aula putih dan aula kuning. Aula utama adalah aula paling luas karena tempat berkumpulnya santri putri saat mengaji sentral. Sedangkan yang dua aula lainnya, biasanya digunakan untuk kumpulan antar asrama.

"Ini Mbak tadi aku dikasih Bu Nyai."

"Kok ada dua kotak, Mbak?"

"Iya, katanya Bu Nyai, buat Mbak yang bantuin aku tadi di ndalem."

"Alhamdulillah ... rizqi min haitsu la yahtasib," ucap Ayu dengan mata berbinar menatap makanan dengan lauk ayam bakar plus lalapan itu.

Selang beberapa menit, keduanya telah menandaskan isi kotak itu kecuali hanya tulang ayam yang tersisa.

"Alhamdulillahilladzi ath'amana wasaqona waja'alana minal muslimin," ucap Ayu setelah menjilat pucuk-pucuk jari tangan kanannya. Begitu pun yang dilakukan Rani, ia tak mau ketinggalan adab yang di ajarkan oleh Rasulullah setelah makan dan anak pondok sudah melestarikannya setiap hari sehabis makan.

Sebagaimana hadis Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian makan, maka janganlah ia mengusap tangannya sebelum ia menjilatnya atau yang lain yang menjilatnya.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 5456 dan Muslim, no.2031]

Azan terdengar berkumandang nyaring dari toa masjid pondok putra. Ayu dan Rani muncul dari kamar mandi setelah cuci tangan dan berkumur kini langsung menuju musala. Sedangkan Rani menuju ke kamar, karena ia sedang halangan.

---***---

Usai salat, zikir dan doa secara berjemaah. Santriwati berhamburan menuju tempat kegiatan masing-masing. Ayu yang memang sudah lulus LPQ dari dua tahun yang lalu. Kini kegiatan ba'da Maghrib adalah mengaji tafsir di aula utama.

"Yuk Mbak Rani." Ajak Ayu saat melihat Rani masih merapikan jilban yang dikenakannya.

"Iya, Mbak bentar."

Tak lama menunggu, akhirnya Rani telah rapi dan cantik dengan jilbab warna coksu membalut wajahnya.
"Kayaknya yang bakalan ngisi kajian tafsir malam ini Gus e deh, Mbak," ujar Rani yang kini berjalan beriringan menuju musala.

"Loh, kenapa gitu, Mbak? Abah Yai ke mana?"

"Tadi aku denger katanya ada acara di luar, Mbak."

Ayu mengangguk-anggukkan kepala paham. "Jadi penasaran, deh. Gus e tuh kayak apa, sih. Kok bisa mbak-mbak pada ngefans sama dia."

"Lah emang Mbak Ayu belum pernah lihat wajahnya?"

Ayu menggelengkan kepala sambil cengengesan. "Kan waktu ngaji sentral aku molor, Mbak. Jadi nggak tahu."

"Astaghfirullah Mbak Ayu, Mbak Ayu."

Rani dan Ayu akhirnya sampai di aula utama. Sudah banyak santriwati duduk berbaris, tampak rapi dengan tetap mengenakan mukena masing-masing dan kitab tafsir di meja. 

"Duduk di sana aja ya, Mbak. Mumpung masih kosong," ujar Ayu sembari menunjuk tempat yang paling pojok dan paling belakang pula.

Rani pun mengangguk dan mengekori langkah Ayu. Begitu keduanya duduk, tampak Ayu menguap dan langsung menutup mulutnya. "Eh, jangan bilang Mbak Ayu mau molor lagi ya milih duduk di sini?" tebak Rani yang memang tak biasanya Ayu memilih tempat di pojokan seperti sekarang ini.

"Sssssst, jangan rame-rame dong, Mbak. Tadi siang aku nggak bisa tidur. Hehe. " Ayu pun mulai bersandar, mencari posisi paling enak. "Mumpung Gus e belum datang. Nanti bangunin ya, Mbak kalau datang," ucap Ayu langsung memejamkan mata.

Rani pun tak bisa berbuat apa pun selain menghela napas jengah sembari menggeleng-gelengkan kepala.

Belum lima menit Ayu terlelap, tiba-tiba ia terlonjak kaget saat merasakan tepukan bertubi-tubi di pahanya. "Enggak-enggak kita putus!" ucap Ayu cukup keras, hingga semua mata tertuju padanya.

Sebagian santriwati yang menatapnya hanya menggeleng-gelengkan kepala dan ada juga yang menertawakannya.

Ayu kelimpungan, benar-benar malu dengan ulahnya. Gadis itu akhirnya hanya bisa menundukkan kepala saat netranya tadi sempat bertemu pandang dengan sosok laki-laki yang kini duduk di kursi.

"Ya ampun itu, kan Kak Rama. Kenapa dia duduk di sana? Hah. Seharusnya kan Gus Husein yang duduk di sana. Atau jangan-jangan--"

"Itu Gus Husein, Mbak Ran?" tanya Ayu berbisik dengan wajah penasaran begitu kajian telah dimulai.

Rani pun tanpa ragu menganggukkan kepala seraya berbisik, "Iya, Mbak. Ganteng, kan?"

Degh. 'Ternyata dia Gus'

.
.
.
.
Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top