DTA-17- Laki-laki masa lalu
🦋🦋🦋
Masa lalu bukan untuk diratapi dengan penyesalan yang berlarut-larut.
Tapi, jadikan pelajaran berharga agar tak terulang di masa yang akan datang.
💌💌💌
Kabar mengenai kepulangan Gus Husain yang katanya tampan itu begitu cepat terdengar oleh seisi pesantren.
Semuanya masih saja sibuk membicarakan kelebihan beliau, meski sepekan telah berlalu.
Gus Husain yang bertubuh tinggi, berhidung bangir, beralis tebal, dan berahang tegas ini tak seperti kebanyakan watak orang ganteng pada umumnya yang cuek dan dingin. Beliau merupakan sosok ramah dan memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Jadi tak heran, jika beliau banyak disanjung dan dipuja oleh santriwati, tak ketinggalan juga para ustazah ikut mengidolakannya.
"Mbak Ayu tahu, enggak. Aku sekarang makin betah lo kalau lagi di ndalem, males mau balik ke asrama," ucap Rani yang kini sedang berjalan beriringan dengan Ayu. Keduanya membawa timba yang berisi pakaian masing-masing dan kini menuju ke birkah--sebutan untuk tempat mencuci pakaian di pondok.
"Halah, bilang aja Mbak Rina ikutan jatuh cinta sama gus-e, kan?" Rani langsung cengengesan sembari menoel-noel lengan Ayu, tampak ia salah tingkah.
"Tapi emang hampir semua santriwati lo, Mbak yang takjub dengan pesona gus-e. Apalagi waktu ngaji sentral kemarin. Mbak-mbak yang biasanya ngantuk dan ngangguk-ngangguk waktu maknai kitab. Kemarin berubah drastis ya, Mbak?" tanya Ayu yang terus mengiringi langkah Rani.
"Iya bener. Tapi ada pengecualian, sih," ujar Rani yang netranya melirik-lirik ke arah Ayu.
"Kecuali?" tanya Ayu berpura-pura tak paham, tampak bibirnya senyum-senyum menggoda Rani.
"Aish ... nggak usah pura-pura, deh. Kan cuman Mbak Ayu doang kemarin yang ndlosor (tertidur di lantai)?"
Sontak Ayu tertawa, apalagi melihat muka kesal Rani yang menurutnya lucu, membuat ia tak ingin berhenti tertawa.
"Hahaha maklumin lah, Buk. Malamnya aku pusing akibat hafalan benar-benar berantakan."
"Ehm ... kayaknya masih galau aja gegara yang waktu iya, Mbak? Atau sengaja menjaga hati hanya untuk Mas Ganteng? Cieee cieee." Kini, kesempatan Rani membalas godaannya untuk gadis di sampinya.
Ayu yang mendengar pertanyaan Rani lebih mirip dengan pernyataan itu langsung memberhentikan langkah. Mendadak otaknya berpikir keras.
Apakah iya? Cintanya masih setia untuk Evan? Sampai-sampai ia sama sekali tak berminat dengan yang namanya cowok ganteng lagi?
"Udah ayo enggak usah bengong. Tanpa dijawab juga, aku bisa menyimpulkannya kok, Mbak. Dari pada sibuk mikirin itu mulu. Yuk cepetan nyucinya, keburu bunyi genderang di perut bunyi." Rani langsung menggandeng tangan Ayu dan sedikit menyeretnya untuk melangkah. Ayu pun pasrah dan mengikuti langkah sang sahabat.
---***----
"Mbak Ayuuu!" Rani datang dengan suara cemprengnya yang menggelegar seisi kamar.
Ayu yang memang tengah sendirian menyeriti kutu di rambutnya langsung terlonjak kaget, hingga serit kutu di tangannya terlempar.
Kutu adalah hewan kecil yang hampir semua anak pondok memilikinya. Hewan ini membuat gatal di kepala, makanya juga bikin kesel. Apalagi jika saat salat, ia suka berkeliaran dan bikin geli.
"Ya Allah, Mbak Rani ngagetin aja, sih." Ayu tampak kesal, netranya melototi Rani yang malah terbahak.
"Apaan manggil-manggil nama aku?"
"Hehehe, aku minta tolong sama Mbak Ayu boleh, enggak?"
"Bantu ngapain?" tanya Ayu seraya meneruskan kegiatannya berburu kutu yang selalu membuat kepalanya gatal.
"Bantuin bersih-bersih di ndalem. Mbak Desi lagi sakit, jadi nggak ada yang bantuin aku. Mbak Ayu mau, kan?" Rani yang kini tengah duduk di hadapan Ayu, menggoyang-goyang lengan Ayu dengan tatapan memohon.
Ayu terdiam, melihat netra Rani yang tampak memelas. Ia pun akhirnya menganggukkan kepala.
"Yeeey, makasih Mbak Ayu yang makin Ayu."
"Eits, eits, jangan seneng dulu. Ada syaratnya, nih aku mau bantuin."
"Astaghfirullah Mbak Ayu. Nggak ikhlas banget, sih. Ini bersihin ndalem Bu Nyai, lo. Emang nggak mau mengharap berkah."
"Hahahaha, iya iya, Mbak. Bercanda doang, kok. Ya udah ayok." Ayu pun beranjak setelah beres menggunakan kerudung dan meletakkan serit kutunya di lemari.
---***---
Setibanya di ndalem, Rani menyebut tugas yang harus dilakukan pagi ini dan Ayu memilih pekerjaan yang ringan dan mudah pastinya--menyapu dan mengepel, sedangkan Rani memasak di dapur.
Kebetulan pagi ini suasana ndalem sepi, membuat Ayu bebas bergerak tanpa takut-takut atau segan saat tepergok Bu Nyai atau Kyai.
Membantu Rani bersih-bersih ndalem bukanlah yang pertama buat Ayu. Namun, sudah hampir sebulan ia tak pernah melakukannya karena memang Ayu akan membantu Rani, jika gadis itu memang meminta bantuannya.
"Alhamdulillah beres nyapu, sekarang tinggal ngepel, deh," ucap Ayu begitu riang langsung mengambil alat pel dan timba di depan kamar mandi. Setelah mengisi air ke timba. Ia pun membasahi alat pel itu dan hendak membawanya ke ruang depan.
Namun saat Ayu mengepel di bagian teras bagian barat. Tiba-tiba datang seseorang buru-buru akan masuk, menerobos lantai yang masih basah.
Ayu yang melihat jejak kaki yang membuat lantai kembali kotor langsung menegur,"Eh, eh, Kang. Mau ke mana? Main nyelonong aja. Mentang-mentang nggak ada Bu Nyai, Kiyai dan Gus e, ya?" Ayu yang merasa menjadi pahlawan, tanpa ragu-ragu menegur laki-laki yang kini memakai songkok warna hitam dengan baju koko warna maron yang senada dengan sarungnya.
Laki-laki berpostur lebih tinggi dari Ayu itu pun menolah.
Seketika Ayu melotot saat mendapati sosok berkaca mata yang nyatanya ia kenal. "Ka-kamu, Kak Rama, kan?"
Tampak laki-laki itu menatap Ayu intens. Sepertinya ia sedang mengingat-ingat sosok gadis di hadapannya yang menyebutkan panggilan tak asing.
"Rama?" Laki-laki yang hendak masuk itu pun urung, terlihat penasaran saat gadis di hadapannya menyebut panggilan saat masa di mana tak berada di pondok ini.
"Iya, Rama ketua rohis di SMP Negeri Harapan Bangsa sekitar lima tahun yang lalu."
"Hmmm. Bentar, deh. Sepertinya kita pernah ketemu, ya?"
Ayu mengangguk dengan senyum semringah, karena akhirnya laki-laki itu mulai mengingat sesuatu.
"Jangan bilang kalau Kak Rama lupa dengan kejadian konyol saat itu."
Beberapa detik laki-laki itu tampak berpikir. Namun detik kemudian ia tiba-tiba terkekeh. "Aha iya, Aku ingat. Kamu Ayudhisa yang pernah mengutarakan perasaan ke Aku dulu, kan?"
Ayu pun sontak menunduk, tampak ia salah tingkah. "Hehehe ternyata Kakak masih ingat. Ayu jadi malu." Eh, kenapa aku jadi jaim banget gini, ya, batin Ayu menggerak-gerakkan kakinya maju mundur.
"Jadi kamu belum tahu aku siapa?"
Ayu kembali mendongak lalu mengerutkan kening, bingung dengan pertanyaan yang terlontar oleh laki-laki itu.
"Ya sudahlah, enggak penting. Aku ada urusan lain yang jauh lebih penting."
Laki-laki itu pun langsung masuk ndalem. Tak lama ia kembali muncul lalu melangkah ke halaman dan punggungnya tak terlihat lagi saat keluar dari gerbang pondok.
"Tetep aja tuh cowok. Sok penting banget dengan kepetingannya sendiri," gerutu Ayu lalu melanjutkan kegiatan mengepelnya
.
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top