DTA 16 - Benci atau Cinta?
☘☘☘
Yuk, perbanyak zikir dan baca Al Quran. Kala galau melanda. 😊
💌💌💌
Setelah sekian tahun Ayu berusaha mati-matian untuk mengubur ingatannya perihal mantan pacar. Mantan? Entahlah, dibilang mantan juga Ayu tidak pernah mengatakan dan mendengar kata putus setelah insiden yang telah terjadi. Namun, bisakah kata benci darinya mewakilkan jika hubungan keduanya telah putus?
Ayu tampak frustasi dengan segala pikirannya ini. Melihat sosok laki-laki tadi membuat hatinya kembali berantakan. Berulang kali Ayu menghela napas, berusaha untuk menormalkan detak jantungnya yang sejak tadi berdegub kencang.
“Astaghfirullahal’adzim,” gumam Ayu berkali-kali. Kini ia memilih duduk bersandar di pojok kamar seorang diri.
“Enggak ... enggak mungkin dia itu Evan. Mana mungkin dia ada di area pondok ini. Nggak mungkin kan dia ngikutin aku sampai di sini? Ah, jangan ngaco deh, yu,” pergulatan kata hati Ayu membuatnya benar-benar gundah gulana.
Belum lama Ayu larut dalam lamunan,
terdengar suara Azan menggema dari masjid pondok putra. Ayu langsung bangkit dan kembali menghela napas. “Huffffttt ... pantesan sepi, udah pada siap-siap salat. Cukup yu, cukup. Aku nggak boleh larut dengan pikiran yang tak pasti seperti ini. Move on, Yu. Move on. Fix, enggak mungkin itu Evan,” ucap Ayu menegaskan kata hatinya sendiri, agar bisa menghilangkan kegundahan yang mendera.
Selang hampir setengah jam. Kini Ayu dan teman-temannya sudah kembali ke kamar dengan memakai mukena. Tampak sajadah tersampir di lengan masing-masing. Selepas membereskan mukena, teman sekamar Ayu sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang mengambil bantal, kitab, Al Qur’an dan ada juga yang memilih duduk bergerombol untuk sekedar mengobrol.
Tampak kini Ayu mengambil opsi ketiga, yaitu mengambil Al Qur’an, lalu berjalan keluar kamar dan memilih duduk di teras kamar yang terhalang tembok. Ia duduk menghadap tembok yang tingginya hanya bekisar setengah meter.
Ayu meletakkan Al Qur’an di atas tembok itu lalu mulai membaca surat Al Fatihah. Baru saja ia memulai mengulang hafalannya di surat Al Kahfi, hafalannya berantakan efek pikirannya yang tak fokus.
Berulang kali Ayu tampak mengendus kesal. Kesal dengan dirinya sendiri yang tak kunjung fokus. Pikiran mengenai Evan masih saja setia mengusiknya.
“Astaghfirullahal’adziiiim,” ucap Ayu melafalkan kalimat istighfar itu begitu panjang seraya menghela napas. Tangannya mengusap wajah kasar dan kini beralih memegangi kepala, sepertinya ia mendadak pusing.
”Ehm ... kenapa Mbak Ayu? Kok roman-romannya frustasi gitu? Bukannya baru dikunjungi ortu ya? Biasanya ceria, sekarang kok malah sedih gitu?” tanya Rani yang langsung duduk di samping Ayu. Ia baru saja dari ndalem, melihat sikap Ayu yang tak biasa, ia pun menghampiri gadis yang dianggap sebagai sahabat baiknya itu.
“Eh ... Mbak Rani. Baru pulang dari ndalem?” Rani menganggukkan kepala. “Kenapa tuh muka ditekuk gitu? Ada masalah? Atau jangan-jangan dipaksa menerima perjodohan lagi?” Rani kembali bertanya sebagai bentuk perhatiannya.
“Aish ... nggak lah, Mbak," sergah Ayu langsung dengan cepat tak membenarkan tebakan Rani.
"Terus kenapa?"
"Hehehe ... ada masalah dikit, Mbak. Tapi kok efeknya kebangetan gini ya. Hafalan berantakan,” ucap Ayu sembari menutup mushafnya, lalu kini memutar posisi agar berhadapan dengan Rani.
Di situasi apa pun, hanya Rani yang menjadi tempat curhat Ayu selama ini. Begitu pun sebaliknya, Rani juga sering curhat kepadanya. Baik itu masalah keluarga atau pelajaran dan kegiatan di pondok.
“Oalaaah ... ayo sini cerita, Mbak.” Rani tampak antusias dan siap mendengarkan dengan baik cerita sang sahabat.
Ayu pun mengangguk dan tak lama, mengalirlah rangkaian kalimat dari lisannya. Menceritakan semua uneg-uneg dalam hati yang membebani pikirannya.
Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya Rani membeo dan menggoda Ayu, “Oooo ... ecieee, kembali terusik hatinya, tuh. Emang sebelum ngeliat tuh cowok. Mbak Ayu kepikiran mas gantengnya, nggak?” Ayu terdiam, tampak berpikir sejenak. Ia pun mengangguk saat mengingat sebelum itu, Oliv sempat menyebut nama Evan
“Emmm kalau gitu, bisa jadi itu hanya bawaan pikiran, Mbak. Efeknya saat ngelihat cowok ganteng seakan-akan ngelihat Mas Ganteng. Atau--”
“Atau apa?” tanya Ayu tampak tak sabar mendengar lanjutan kalimat Rani yang sepertinya memang sengaja digantung.
“Atau Mbak Ayu lagi rindu berat ya sama Mas Ganteng?” Rani yang memang suka menggoda Ayu setiap kali dia curhat tak membuat Ayu kesal. Karena godaan Rani memang hampir selalu sesuai dengan apa yang dideranya.
Ayu tampak mengela napas, ia sandarkan kepala di dinding lalu berucap, “Entahlah, Mbak. Aku sampai sekarang aja nggak nyangka. Jika sesulit ini move on dari laki-laki satu itu, karena baru kali ini ia mengalami kayak gini. Padahal jatuh cinta sudah berkali-kali, tetapi mengapa kali ini aku merasa sangat sulit ngelupain dia?”
“Itu berarti, Mbak Ayu udah cintaaaaaa banget sama dia. Cinta Mbak Ayu ke Mas ganteng begitu dalam, nggak sama dengan cinta-cinta ke cowok-cowok yang lain.”
“Tapi sebenarnya, aku tuh benci banget sama dia, Mbak. Emang bisa cinta dan benci dirasakan bersamaan?” tanya Ayu yang masih bertahan mendongakkan kepala, niatnya ingin menghalangi cairan bening yang mulai muncul di pelupuk mata. Namun kenyataannya, air mata itu menerobos dengan lancar mengalir di pipi Ayu. Dengan cepat Ayu menghempaskan cairan itu sebelum Rani menyadarinya.
“Kata orang, Benci dan Cinta itu beda tipis, Mbak. Di dalam lubuk hati Mbak Ayu masih tersimpan cinta tulus untuk dia. Tapi di sisi lain, rasa benci menutupi rasa cinta itu karena hanya satu kesalahan yang ia perbuat. Saran Rina, sih. Satu-satunya yang harus mbak lakukan sekarang adalah memaafkan dia, berdamai dengan rasa sakit dalam hati Mbak. Karena setiap manusia itu pasti pernah melakukan kesalahan, kan? Dan juga agar Mbak Ayu nggak dihantui sebuah benci yang tak baik untuk hati Mbak Ayu sendiri, bisa jadi penyakit hati, kan?” Ayu tampak mengangguk-anggukkan kepala menyimak penjelasan Rina dengan seksama.
“Oh iya, satu lagi, Mbak. Cinta dan benci itu boleh, tapi jangan berlebihan ya, karena apa pun yang berlebihan itu tak baik. Dulu, kan, Mbak cinta banget sama dia? Sekarang bencinya pakai banget juga?” tanya Rani yang terus dijawab anggukan oleh Ayu.
“Nah ... itu berabe, Mbak.”
“Kok bisa?” tanya Ayu heran.
“Karena kita kan nggak pernah tahu takdir Allah. Siapa tahu aja, entar mas gantengnya malah jadi jodoh Mbak Ayu. Nggak mungkin kan benci sama suami sendiri,”
“Haaa? Kok kamu ngomongnya gitu, sih, Mbak,”ucap Ayu malah histeris seakan tak terima, membuat Rani sontak terbahak.
“Aamiin ya Allah!” ucap Rani semakin jadi menggoda Ayu dan ia pun langsung beranjak dan berlari menjauh, karena ia tak mau mendapat serangan cubitan dari Ayu yang kini tampak kesal dengan ekspresi melotot.
Detik kemudian Rani berhenti melangkah dan kembali mengintip dari balik papan dan berteriak. “Hati-hati lo, Mbak. Doanya anak pondok itu biasanya maqbul."
“Mbak Raniiiiii!” teriak Ayu sembari mengangkat tangannya yang menggenggam diarahkan ke arah Rani yang terbahak.
Bukannya takut, malah Rani terus tertawa sembari terus berlari menjauh.
Ayu langsung membekap mulutnya, saat menyadari kini semua mata penghuni asrama tertuju padanya.
Suasana telah kembali hening, Ayu pun melanjutkan muroja'ahnya. Selang hampir setengah jam ia pun menyelesaikan hafalannya dengan cukup lancar.
Ternyata, setelah berbagi beban pikira, kini hati Ayu lebih tenang dan bisa fokus lagi.
"Mbak ... mbak. Ada berita mengguncang dunia pondok putri, nih," ucap Rani datang tampak mendramatisir.
Semua mata penghuni kamar ini sontak melihat ke arah Rani yang masih di ambang pintu, begitu pun pandangan Ayu yang baru saja masuk kamar.
"Apaan, Mbak?" tanya mereka kompak.
"Gus-e udah datang. Gus Husein, putra bungsunya Ummah Hana udah kembali dari Yaman."
.
.
.
.
.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top