DTA-14- Adaptasi
💌💌💌
Yuk, kuatkan niat dan tekad untuk menggapai cita-cita. Karena Man jadda wajada. ( Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil)
🍃🍃🍃🍃
Saat memiliki sebuah cita-cita atau keinginan. 'Azzam atau kebulatan tekad dalam diri dan hati merupakan salah satu poin penting sebagai bentuk ikhtiyar untuk menempuh keberhasilan.
Dengan adanya kebulatan tekad itu, akan muncul kesungguhan dalam diri dalam menjalani prosesnya. Namun, disamping itu, jangan lupakan sebuah doa yang harus ikut mengiringi. Karena siapalah kita? Bukankah kita ini hanya seorang hamba yang tak memiliki daya? Sedangkan kekuatan dan kekuasaan hanya Allah yang menentukan.
Begitulah rutinitas Ayu dalam kesehariannya di tempat tinggal barunya. Penuh dengan semangat menjalani semua kegiatan di pondok atau pun di sekolah. Tak ada lagi Ayu yang malas bangun subuh. Tak ada lagi Ayu yang jail dan petakilan.
Waktu yang telah bergulir tiga tahun lebih, memberikan banyak perubahan pada diri Ayu. Baik itu secara fisik, sikap atau pun ibadah yang ia kerjakan semenjak berada di pesantren ini.
Namun semua itu tak mudah dan tak cepat melalui proses adaptasi dengan rutinitas yang berbeda menjadikannya kebiasaan. Ayu harus memerangi rasa malas, sabar disetiap kegiatan karena serba antre. Ke kamar mandi antre, beli makan antre, ke koperasi untuk membeli kebutuhan sehari-hari pun antre.
Memang pada awalnya dimulai dari paksaan dalam diri untuk berubah lebih baik. Namun, seiring berjalannya waktu, akhirnya ia melakukan banyak hal baru itu sebagai kebiasaan yang lebih ringan ia kerjakan.
Ayu yang dulu berkulit hitam manis, kini berubah agak lebih putih dan bersih. Wajahnya pun tampak lebih cantik dengan aura alami tanpa make up berlebihan. Mungkin hal ini disebabkan hari-hari Ayu tak lagi berpanas-panasan di bawah teriknya matahari. Karena memang, bangunan pesantren ini tertutup, sehingga cahaya mentari yang mengenai kulit tak terasa menyengat lagi.
"Mbak Ayu, Mbak Ayu." Suara dari salah seorang santriwati tiba-tiba terdengar sedikit memekik.
"Ada apa to, Mbak Rani? Kok sampai ngos-ngosan gitu," ucap Ayu yang masih bertahan di depan kaca. Kini, ia sedang memakai celak di bawah matanya.
"Mbak Ayu dipanggil Ummah Hana di ndalem sekarang."
Ayu yang terkejut dengan panggilan yang tak biasanya ini, langsung melotot. Sampai ia pun tak sadar, jika tangannya yang memegang celak bergerak cepat tak terkontrol ke kulit bagian bawah mata.
"Aduh," adunya saat merasakan celak yang ia goreskan malah nyasar. Sontak Rani yang mengetahui hal itu terbahak. "Hahaha, gimana to, Mbak. Pakek celak kok nyasar-nyasar gitu."
"Aish ... ini kan gara-gara kamu bawa panggilan yang bikin aku terkejut, Mbak," omel Ayu sembari mengusap garis hitam hasil karyanya itu.
"Hehehe, afwan, afwan."
Setelah memakai bedak tabur dan membalut jilbab menutup kepala dengan rapi, Ayu pun bersama Rani keluar kamar.
"Ada apa ya, Mbak kira-kira? Kok tumben amat Ummah manggil Ayu? Perasaan Ayu enggak bikin salah atau janji apa-apa," tanya Ayu yang kini sedang berjalan beriringan dengan Rina.
Rina adalah teman sekamar Ayu yang menjadi abdi ndalem. Jadi setelah memanggil Ayu, ia akan kembali ke dapur untuk memasak bersama abdi ndalem lainnya.
"Kemungkinan, sih menurut aku, nih. Mbak Ayu akan diberi tugas sesuatu. Karena setahu aku, hari ini Ummah ada acara keluar, Mbak."
"Ooohhh," ucap Ayu sembari manggut-manggut.
Setibanya di ndalem, Ayu pun mengetuk pintu ruang tengah seorang diri. Rani, langsung meninggalkannya ke dapur. Toh ... bukan hanya kali ini Ayu ke ndalem, jadi tak perlu diantar.
Tak lama usai Ayu mengucap salam, pintu terbuka dan terdengar jawaban salam. "Eh Mbak Ayu, ayo sini-sini, masuk," ucap Ummah Hana sembari mengambil langkah dan duduk di atas kursi.
Ayu pun mengangguk dan ikut berjalan dengan lututnya seraya menunduk. Saat dirinya berada tak begitu jauh dari tempat duduk Ummah. Ia pun duduk bersimpuh dengan posisi tetap menundukkan kepala.
Memang begitulah akhlak yang diajarkan di pesantren dalam menghormati dan mengagungkan seorang guru. Seorang murid menundukkan kepala dan berjalan dengan lututnya saat berada di hadapan guru.
"Gini Mbak Ayu. Ummah dan mbak-mbak khotimat hari ini ada acara khotmil Qur'an kubro di pondok Mamba'ul Qur'an. Jadi, untuk jadwal sima'an hari ini. Kamu yang badalin dan sekalian koordinir pembadal yang nemenin kamu. Pilih yang sudah lancar dan hafalannya udah di atas 20 juz."
Ayu yang sejak tadi menyimak dengan baik setiap kalimat yang terlontar dari Ummah Farhana Adzkiya'--sang pengasuh pesantren--langsung menganggukkan kepala, "Iya insyaallah, Ummah."
"Tolong titip Mbak-mbak dulu ya, Nduk. Kondisikan, jangan sampai rame dan berantakan."
"Iya insyaallah, Ummah."
"Ya sudah, kamu boleh kembali ke asrama sekarang. Masih ada waktu satu jam untuk siap-siap."
Ayu pun mengangguk, tak lupa ia mencium punggung Ummah Hana dengan takzim sebelum meninggalkan ruangan.
Ayu di pesantren memang terkenal sebagai santriwati yang tekun, disiplin dan cerdas. Jadi tak heran, jika dalam waktu dua tahun ini ia sudah hafal 25 juz Al Quran. Karena memang sebelum Ayu memutuskan ikut kelas tahfiz, ia sudah mulai menghafalkan Al Quran sendiri saat ia naik kelas XII.
Iya ... setelah lulus SMA, Ayu baru meminta restu kedua orang tuanya untuk melanjutkan hafalan lima juz Al Qur'annya di kelas tahfiz. Dengan bangga dan penuh haru, bapak dan emaknya merestui niatan mulia sang anak.
---***----
Hari Jumat telah tiba, hari yang ditunggu-tunggu para santri dengan senang hati. Sebab, hari Jumat adalah hari bebas dari kegiatan dan libur sekolah. Selain itu, kebanyakan dari mereka juga akan dikunjungi orang tuanya.
Termasuk juga Ayu, meski ia telah bertahun-tahun di pesantren ini. Tetap saja, rasa rindu kepada orang tua selalu ia rasakan dan selalu merasa tak sabar menunggu mereka datang.
Baru saja ia usai meletakkan beberapa pakaian yang telah terlipat rapi ke dalam lemari. Rungunya mendengar namanya dipanggil oleh Mbak Azizah yang merupakan petugas di balai kunjung wali santri.
Dengan sedikit cepat dan penuh semangat Ayu mengambil langkah menuju tempat kedua orang tuanya kini berada.
"Assalamualaikum, Pak, Mak," ucap Ayu sembari mencium punggung tangan Bapak dan Emaknya bergantian.
"Waalaikumsalam warohmatullah wabarokatuh, Nak. Gimana sehat?" tanya Ifa, begitu Ayu duduk di hadapannya.
"Alhamdulillah sehat. Bapak Emak juga sehat ya?"
Keduanya mengangguk seraya mempersembahkan senyum bahagia.
"Gimana hafalannya, Yu?" kini sang Bapak yang bertanya.
"Alhamdulillah lancar, Pak. Doakan ya Mak, Pak. Tahun ini Ayu bisa khatam," ucap Ayu dengan kesungguhan dalam berharap.
"Aamiin Allahumma Aamiin." Emak dan Bapak Ayu kompak mengamini.
Baru saja mereka mengobrol soal kegiatan sehari-hari Ayu di pesantren. Tiba-tiba terdengar seseorang mengucapkan salam dan kini tampak berdiri tak jauh dari tempat duduk Ayu.
Ayu pun mendongak sembari menjawab salam. Betapa terkejutnya ia, saat melihat sosok yang sangat dirindukannya selama ini. Tiga tahun lebih di pesantren, baru kali ini ia melihat wajahnya.
.
.
.
.
.
.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top