DTA-13- Hijrah
💌💌💌
Yuk, jangan terlena dengan sebuah kekecewaan.
Belajarlah untuk melapangkan hati, untuk bisa memaafkan.
Jika tak bisa, jangan sampai dendam atau benci berlebihan.
☘☘☘
Evan yang menyadari keberadaan Ayu, sontak melepaskan rangkulannya. Ia berjalan agak cepat berniat menghampiri Ayu dan Bapaknya.
Dengan ramah Evan menyapa keduanya, tampak ia lalu mencium punggung Bapak Ayu dengan sopan setelah mengucapkan salam dan mendapati Bapak Ayu menjawabnya.
Ayu yang melihat apa yang Evan perbuat, sontak memalingkan wajah. Ia jengah dan terlihat kesal. "Kenapa, sih. Tuh anak malah nyamperin kemari?" batin Ayu.
"Kamu," ucap Ihsan menuding laki-laki muda yang kini penampilannya tampak santai, tetapi tetap rapi dengan gaya polo shirt lengan pendek--tak berseragam.
Evan yang melihat Bapak Ayu yang sepertinya lupa-lupa ingat sontak menjawab, "Iya, Pak. Saya yang kemarin lusa ketemu Bapak yang sedang bersama Ayu. Saya minta maaf ya, Pak. Udah lancang macarin anak Bapak, tapi--"
"Ehm, Pak. Ayo ke ruang kepala sekolah, entar keburu bel pulang," Ayu langsung memotong perkataan Evan. Rungunya seakan tak ingin mendengar suara Evan bertutur lebih lama lagi. Apalagi mendengar kata pacar, hatinya kembali tersayat oleh luka yang masih menganga.
"Oh iya. Maaf ya, Le. Bapak sedang buru-buru juga ini. Ada satu pesan bapak buat kamu. Jika kamu mau menjadi orang yang lebih baik. Jadikan yang lalu sebagai pelajaran dan biarlah berlalu, yang penting mulai sekarang, segeralah bertaubat dan jangan diulangi lagi. Allah Maha Pengampun, kok," tutur Ihsan sebelum meninggalkan Evan yang kini berdiri terpaku.
Dua hari berlalu
Waktu terus bergulir tanpa mengenal kata kembali. Apa yang terjadi di masa lalu, hanya bisa dijadikan pelajaran meski itu muncul dari sebuah kekecewaan. Move on itu memang susah, tetapi bukan berarti tak bisa. Ayu sendiri yakin, jika semuanya hanya butuh waktu saja.
Hari ini tepat hari Ahad, sore nanti ia akan berangkat ke pondok bersama bapak dan emaknya. Kedua orang tuanya sengaja menyewa mobil untuk mereka berangkat, dengan Yusuf yang mengemudikannya.
Setelah memasukkan semua barangnya ke dalam kardus dan tas. Ayu tampak menghela napas dalam sembari mengusap keringat di keningnya yang basah.
"Astaghfirullahal'adzhim," ucap Ayu lirih lalu menghempaskan tubuhnya ke kasur. Pikirannya kini mulai berputar kembali ke masa lalu. Rekaman kebersamaan yang indah bersama Evan seakan kembali berputar ulang dengan gamblang tanpa terlupakan sedikit pun.
Ayu benar-benar hanyut dalam kenangan romantis dan menyenangkan itu. Sampai akhirnya tiba-tiba terdengar bunyi nada dering dari ponselnya yang berada di atas nakas.
Ayu segera bangkit, melihat nomor yang tertera dari nomer tak dikenal. Ia pun mendiamkannya. Karena ia selalu berprinsip, jika panggilan ini penting, maka yang bersangkutan pasti menghubunginya lagi.
Benar saja, setelah deringan bunyi itu habis. Disusul kemudian panggilan kedua. Ayu pun akhirnya menggeser tombol warna hijau itu ke kanan.
"Halo, Assalamu'alaikum," ucap Ayu saat ponselnya telah menempel di telinga.
"Halo, ini siapa ya?" tanya Ayu lagi saat tak ada sahutan.
Ayu pun mengecek lancar ponselnya, melihat detik itu terus bergulir. Bukankah ini berarti panggilan masih tersambung? batin Ayu sembari kembali menempelkan ponsel itu kembali ke indra pendengarnya.
"Halo ... halo ... haloooooo!. Denger suaraku nggak, sih?" ujar Ayu tampak kesal. Belum juga Ayu menjauhkan ponsel itu dari telinganya--berniat mematikannya. Tiba-tiba terdengar suara yang memanggilnya, "Ay," panggil orang di seberang sana.
Mendengar suara itu, Ayu benar-benar terkejut. "Suara ini tak asing, panggilan ini. Hanya dia yang biasanya memanggilku, Ay," batin Ayu.
"E-evan?" Ayu tampak gugup mengucapkan satu nama itu dengan nada seakan bertanya.
"Syukurlah, lo masih mengenali suara gue, Ay."
Hati Ayu mendadak berdebar kencang. Entah itu efek terkejut atau apa, Ayu pun tak tahu. Ia hanya tak menyangka, jika Evan nekat meneleponnya dengan nomor baru setelah ia memblokir nomor HP-nya yang lama.
"Please ... jangan dimatikan ya," ucap Evan tampak memohon. Seakan tahu, jika Ayu memang akan mematikan sambungan telepon, setelah ia tahu bahwa panggilan ini darinya.
Ayu langsung diam membisu. Tangannya yang tadi memang akan terangkat untuk mematikan sambungan, langsung urung.
"Ay, tolong maafin gue, ya. Gue bener-bener nggak akan bisa hidup tenang kalau lo belum mau menerima maaf gue. Gue frustasi, Ay. Gue bingung harus bagaimana lagi biar lo mau maafin gue."
"Jauhin gue dan jangan lagi muncul di hidup gue lagi," ucap Ayu dengan tegas.
Terdengar helaan napas dari Evan.
"Oke oke. Setelah ini gue akan berusaha ngejauhin, lo. Tapi lo harus tahu, Ay. Gue sangat menyesal dengan apa yang terjadi di antara kita. Gue memang sangat bersalah sama lo, tapi tak adakah kesempatan lagi buat gue jadi temen lo, Ay? Kenapa harus ada kejadian pindah sekolah segala?"
Ayu terdiam, tetapi dalam hatinya seakan memberontak. 'Halah ... ngomongnya nyesel-nyesel, tapi apa? Waktu itu udah gandeng cewek, kan? Gue pindah atau nggak itu bukan urusan lo, Van,' gerutu Ayu dalam hati.
Evan pun melanjutkan ucapannya saat Ayu tak menjawab pertanyaannya.
"Ayudhisa, apa yang lo omongin kemarin, telah terjadi. Gue udah menerima akibat dari perbuatan brengsek gue yang kemarin gue lakukan ke lo--"
"Ehm ... maaf. Gue mau ada urusan," potong Ayu. Rungunya benar-benar enggan mendengar penuturan Evan lebih lama lagi.
"Hmmm, ya udah. Semoga betah di sekolah barumu ya, jaga dirimu baik-baik. Jaga hatimu juga hanya untukku, seperti aku yang akan menjaga hati ini hanya untukmu. I love You Ayudhisa. Assalamu'alaikum."
Ayu sontak membeku mendengar kalimat terakhir Evan. Kata-kata yang seketika membuat hatinya seakan meleleh. Ingin ia menjerit kesenangan, rona di pipinya tak bisa di hindari lagi.
Namun, detik kemudian ia tersadar. Kepalanya langsung menggeleng-geleng, "Nggak-nggak, gue nggak boleh baper dengan mulut manisnya yang mengandung racun itu. Gue harus bisa move on, gue harus bisa menyingkirkan dia dari pikiran gue," tekad Ayu sembari tangannya membuka galeri foto di ponselnya.
Tanpa ragu, ia pun menghapus foto yang menampakkan dirinya bersama Evan di sebuah taman. Awalnya, ia sengaja menyisakan satu foto ini di galerinya dan berniat ingin disimpan. Namun, ia baru sadar, satu foto saja. Pasti akan berpengaruh banyak untuk hatinya sampai kapan pun itu.
"Selamat tinggal, Van," ucap Ayu sembari menghapus foto itu. Setelah usai, ia pun bangkit dan berjalan menuju lemari.
Ayu mengambil buku bersampul pink dan barang-barang pemberian Evan dari lemarinya, lalu keluar kamar menuju belakang rumah. Namun, sebelumnya ia tak lupa mengambil korek di dapur yang dilewati.
"Selamat tinggal kenangan penuh dosa. Semoga setelah ini aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik untuk menggapai ridho-Nya," ucap Ayu lirih sembari mengarahkan api dari korek yang menyala itu ke buku yang dipegangnya.
Ayu kini telah mantap untuk menata masa depannya agar menjadi lebih baik. Apa yang telah terjadi biarlah hanya menjadi kenangan dan pelajaran penuh hikmah. Ia juga berharap, tak akan ada lagi kesalahan di masa lalu yang terulang di masa depannya nanti.
.
.
.
.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top