DTA-11- Maaf
💌💌💌
Yuk, Cintai dan Benci sekedarnya saja, karena bisa jadi suatu saat kamu akan merasakan rasa sebaliknya.
Karena hanya Allah-lah yang Kuasa membolak-balik hati manusia.
💜💜💜
Senja kini telah terselimuti oleh gelap. Rembulan telah mengganti peran sang bagaskara untuk menerangi kegelapan langit.
Indah, langit malam ini sangat indah dengan kelap kelip bintang yang ramai menemani sang rembulan.
Kesedihan seakan lenyap, terhibur oleh rasa takjub yang tiada tara saat menatap indahnya pemandangan malam ini.
Ayu kini tampak duduk sendiri di bangku panjang depan rumahnya. Menatap langit indah sembari menikmati keindahan yang Allah persembahkan lewat langit ciptaan-Nya.
"Ayu, ngapain kamu, Nak?" tanya seorang wanita paruh baya menghampirinya.
"Eh, Emak. Ini Mak. Malam ini, langitnya indah banget ya," ujar Ayu kembali mendongak, seakan memberitahukan apa yang ia lihat.
Ifa pun ikut mendongak. Bibirnya ikut mengukir senyum seraya menganggukkan kepala. "Iya, Yu. MasyaAllah ... indah banget ya."
Ayu mengangguk seraya ikut tersenyum.
Hening, keduanya tampak menikmati pemandangan langit yang begitu indah. Namun, selang beberapa waktu. Ayu pun teringat akan sesuatu.
"Oh iya, Mak. Bapak ke mana? Kok belum pulang sampai malam begini? Apa gara-gara Ayu bapak nggak pulang-pulang?"
"Hush ... nggak boleh su'udzon, Yu. Bapak lagi ke acaranya Pak Dhe kamu. Sekarang kan pak de lagi ada selamatan acara pindahan ke rumah barunya," ucap Ifa sembari mengelus kepala Ayu.
"Hehehe kirain. Ayu kan masih takut, Mak. Bapak marahnya sampai kayak gitu kan ke Ayu. Tapi, emang Ayunya, sih yang salah," ucap Ayu tampak menunduk, dari wajahnya terlihat ia merasa bersalah.
"Kamu tenang aja, Yu. Pasti bapak maafin kamu, kok. Yang penting kamu nggak ngulangi lagi, ya."
"Iya, Mak. Ayu janji nggak akan pacar-pacaran lagi. Lagian Ayu sekarang sadar kok, Mak. Kalau pacaran itu merugikan diri Ayu sendiri. Selain dosa, juga bikin sakit hati," ungkap Ayu mulai curhat.
"Tuh, kan. Kamu tahu sekarang kenapa Bapak dan Emak selalu ngelarang kamu pacaran, kan?"
Ayu mengangguk antusias. Senyuman di bibirnya terukir seraya tangannya merangkul dan menghambur ke pelukan sang Emak. Lega, ia merasa lega, melihat emaknya sama sekali tak menunjukkan kemarahan pada dirinya.
"Cinta dan benci itu boleh, Nak. Hanya saja jangan berlebihan ya. Segala sesuatu yang berlebihan itu tak baik, Yu. Itu contohnya kamu yang alami sekarang. Dulu awalnya kamu cinta banget sama laki-laki itu. Sekarang? Buktinya kamu benci ke dia kan? Itu juga berlaku sebaliknya, Yu. Emak pernah dengar dari ustaz Emak di pesantren dulu. Bahwa Rasulullah bersabda: Cintailah orang yang kau cinta dengan sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah kepada orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia yang kau benci menjadi orang yang kau cinta," ucap Ifa sembari mengelus pucuk kepala Ayu yang kini berada di pangkuannya.
"Iya insyaAllah, Emak. Makasih ya, Emak nggak pernah bosen nasihatin Ayu yang bandel ini," ucap Ayu mendongak, menatap Emaknya yang kini tersenyum.
"Sudah menjadi kewajiban Emak, Yu."
----***----
Mentari muncul dari ufuk timur. Menggantikan nama malam menjadi pagi. Makhluk bumi bernama manusia pun tampak sibuk masing-masing untuk memulai aktivitasnya.
Pagi ini, Ayu telah bersiap dengan seragam dan kerudung yang telah rapi menutup kepalanya. Ia pun tadi telah usai salat Duha tanpa disuruh sang Bapak. Ternyata efek patah hati, hatinya lebih terbuka untuk patuh pada perintah sang bapak meski telah berlalu.
"Ayu ... sarapan, yuk!" teriakan suara Emak dari ruang makan terdengar nyaring dari kamar Ayu yang memang pintunya terbuka.
Ayu bangkit, tetapi ia bingung karena takut-takut akan ke ruang makan. Ia merasa tak siap untuk berhadapan dengan sang bapak yang masih mendiamkannya.
Melihat Ayu yang tak ada respon, Ifa pun menghampiri Ayu di kamarnya. "Kok kamu malah mondar-mondir di sini?"
"Maaaaak. Ayu takut sama Bapak," ucap Ayu dengan wajah sendu.
"Nggak apa-apa, Sayang. Ayok!"
"Iiihhh Emak. Jangan tinggalin Ayu, dong. Ayu jalan di belakang Emak aja ya." Ifa pun mengangguk dengan bibir tersenyum.
Setibanya di ruang makan, suasana mendadak hening. Ayu terus menunduk dan duduk di samping Ifa.
Tanpa mengulur waktu lebih lama, akhirnya keluarga itu pun sarapan bersama dengan Ayu yang hanya bungkam--tak ikut ngobrol seperti biasanya.
Saat usai, Ayu pun membantu Ifa mencuci piring. Setelahnya baru ia ke kamar untuk mengambil tas dan segera akan berangkat ke sekolah. Namun, saat dirinya keluar kamar dan hendak menemui kedua orang tuanya. Ia kembali ragu-ragu. Ayu selalu dihantui rasa bersalah saat akan bertemu bapaknya.
"Huuufftt ... gue harus segera selesaikan ketegangan ini. Gue harus mendapatkan maaf dari bapak pagi ini juga. Hidup gue bener-bener nggak tenang kalau gini terus," batin Ayu penuh dengan ketekatan.
Ayu menghela napas dulu sebelum ia mengambil langkah. "Bismillah ... Allahumma yassir walaa tu'assir," ucap Ayu menggumamkan doa lalu mengusap kedua wajahnya.
Setibanya gadis itu di ruang tamu, tampak Ihsan menikmati kopi ditemani sang Emak duduk santai.
Ayu pun langsung bersimpuh, duduk di hadapan Bapaknya.
"Maafin Ayu, Pak. Maafin Ayu. Ayu janji nggak akan pacaran-pacaran lagi. Ayu akan nurut sama Bapak. Ayu rela melakukan apa pun agar Bapak mau memaafkan Ayu, Pak. Bahkan, Ayu juga mau kok masuk ke pesantren jika itu mau Bapak," ucap Ayu dengan mata berkaca-kaca.
Cukup terkejut Ihsan mendengar kalimat terakhir putrinya. Pasalnya, selama ini Ayu sangat kekeh tidak mau di masukkan pesantren. "Apa ini berarti dia benar-benar menyesali perbuatannya?" batin Ihsan menatap lekat ke arah Ayu yang masih setia menundukkan kepala.
"Beneran kamu mau masuk pesantren?" tanya Bapak Ayu akhirnya angkat suara.
Ayu pun akhirnya mendongak, tanpa ragu kepalanya langsung mengangguk mantap.
"Tapi masuk pesantren jika niatnya karena terpaksa menuruti perintah bapak juga gak begitu baik, Yu. Entar malah kamu tertekan di sana."
"Yang penting Bapak maafin Ayu dulu, ya, Pak," ucap Ayu dengan nada memohon.
Ihsan yang tak tega melihat putrinya yang terus bersedih akhirnya menganggukkan kepala. "Baiklah, Bapak memaafkan kamu, Nak."
Ayu pun tanpa ragu menghambur ke pelukan Ihsan. Akhirnya, himpitan rasa bersalah yang sejak kemarin menyesakkan dada, kini berubah menjadi kelegaan.
"InsyaAllah, Ayu ikhlas masuk pesantren, Pak. Karena Ayu yakin, jika pilihan Bapak adalah yang terbaik buat Ayu," ucap Ayu yang akhirnya terlontar dengan tulus, sehingga menerbitkan senyum bahagia dari sang Bapak.
"Dengan mondok, selain bikin bapak dan emak senang. Gue juga nggak bakalan ketemu lagi sama laki-laki brengsek itu. Gue pasti akan lebih mudah untuk move on," batin Ayu.
.
.
.
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top