DTA-10- Patah Hati

💌💌💌

Yuk, bahagiakan kedua orang tua kita.
Karena Allah akan ridho kepadamu, jika orang tuamu ridho kepadamu.
Begitupun sebaliknya.

💚💚💚💚

Tatapan laki-laki paruh baya di depannya tampak geram, menahan amarah. "Ayo pulang!" ujar Ihsan geram, langsung kembali ke motornya.

Ayu langsung menganggukkan kepala dengan cepat. Ketegasan sang bapak, membuat ia seakan melupakan semua hal. Yang ada di benaknya saat ini hanya takut, bagaimana nasibnya nanti setelah sampai rumah?

Sejak kapan ya bapak melihatku di sini? Gawat nih, kalau bapak tahu Evan megang-megang tangan gue dari tadi, batin Ayu.

Muka Ayu tampak tegang, akibat dari pikirannya sendiri.
"Waduh ... mampus gue," ucap Ayu lirih sembari tepuk jidat. Setelah itu, buru-buru ia mengendari motornya, mengikuti motor sang Ayah.

Setibanya di halaman rumah. Hati Ayu deg-degan tak karuan, ia benar-benar takut untuk ikut masuk. Waduh ... gimana nih? batinnya, tampak khawatir dan takut saat menatap rumah sederhana bercat hijau itu.

Tak sampai satu menit, Ayu bersitegang dengan segala kecamuk di hati. Tampak ia kini menghela napas cukup dalam.
"Bismillah ... berani berbuat, gue harus berani tanggung jawab," ucapnya lirih sembari manggut-manggut, menyemangati diri sendiri.

Dengan langkah perlahan tapi pasti, Ayu mulai masuk rumah. Ia berucap salam sembari menunduk. Terdengar kemudian jawaban salam dari sang Bapak. Emak pun menyahut, tampak ia keluar dari ruang tengah sembari membawa segelas air putih.

Ayu pun dengan takut-takut menghampiri Ihsan dan Ifa yang kini tengah duduk berdampingan. Tangan terulur dan langsung di sambut ramah oleh sang emak. Namun, tak terjadi hal serupa saat Ayu menjulurkan tangan ke hadapan sang Bapak.

Ihsan tampak diam, tak menoleh sedikit pun ke arah Ayu.
Ayu pun menunduk lalu berucap, "Maafin Ayu, Pak."

Hening, tak ada yang membuka suara. Ifa yang melihat suasana tak seperti biasanya, lantas mengusap lengan sang suami. "Ada apa to, Pak?" tanyanya untuk menyingkirkan kebingungan yang mendera.

Bukannya Ihsan menjawab pertanyaan sang istri, ia memilih bangkit dan melewati kedua wanita itu begitu saja.

Ayu yang merasakan sikap dingin akibat kemarahan sang bapak merasa sangat bersalah dan berdosa. Ia pun mengejar langkah Ihsan, lalu duduk bersimpuh di depannya.

"Pak ... maafin Ayu, Pak. Maafin Ayu," ucap Ayu tampak tergugu sembari memegangi betis sang bapak.

Ihsan terdiam, kemarahan masih tersirat di wajahnya. Ia sangat-sangat kecewa atas apa yang dilihatnya tadi. Putrinya berpacaran, padahal ia hampir setiap hari menasihati Ayu agar menjauhi hal itu. Namun, apa yang terjadi? Ayu benar-benar tak mendengarkan nasihatnya. Ia merasa menjadi orang tua yang tak dianggap dan tak ada gunanya selama ini.

Sejak Ayu sering pulang sore dan tak pernah ikut sarapan. Ihsan menaruh curiga atas perubahan gerak gerik Ayu.
Ia memang hanya bisa diam, tetapi semakin lama, pikiran dan kekhawatiran benar-benar semakin  membebani pikirannya. Sehingga memunculkan keinginan hatinya untuk  menyelidiki anak perempuannya itu.

Hampir setiap orang tua akan merasa dirinya tak berguna, tatkala apa yang dititahkan kepada sang anak itu dilanggar, seakan tak digubris. Kekecewaan tak bisa terelakkan, amarah hanya bisa tertahan. Karena bagaimanapun keadaannya, kasih sayang dalam hatinya lebih dominan.

Diam, iya ... itulah yang hanya bisa dilakukan seseorang yang sedang menahan amarah dalam kekecewaannya. Ingin rasanya tak peduli lagi, tetapi hati nurani tak menyepakati. Karena ia tak mau, kekecewaan yang ada akan berakibat keputus asaan dari rahmat Allah.

Bukankah manusia harus sadar, jika apa pun yang terjadi di dunia ini adalah takdir-Nya. Adakalanya Allah menguji sang gamba, agar lebih mendekat kepada-Nya. Nikmat tak hanya saat kita diberi kebahagiaan, karena adakalanya Allah memberikan nikmat yang didahului kesedihan yang akhirnya mengantarkan dirinya lebih dekat dengan Allah.

Ingatlah, dalam diri kita memang ada nafsu yang merupakan musuh terberat selain godaan makhluk terkutuk yang bernama setan. Karena itu, jangan berputus asa, saat sebuah dosa terlanjur diperbuat, selama kesempatan masih ada untuk bertaubat .

Ayu terus menunduk, penyesalan benar-benar merongrong hatinya saat ini. Ia merasa berlumur dosa, karena tak bisa menjaga marwahnya sebagai seorang muslimah. Ia juga merasa bersalah kepada sang ayah yang jelas-jelas telah ia langgar nasihat dan membohonginya berkali-kali.

"Maafin Ayu, Pak. Maafin Ayu," kata Ayu sembari sesenggukan, air matanya deras mengaliri pipi.

"Jadi laki-laki itu beneran pacar kamu?" tanya Ihsan langsung. Membuat Ayu dan Ifa terkejut. Ayu pun ikut terkejut karena tebakan sang ayah benar adanya.

Ayu semakin menunduk dan mempererat genggamanya ke celana sang Ayah. "Maafin Ayu, Pak. Ayu akan putusin kok, karena Ayu benci sama dia. Ayu janji, setelah ini nggak akan lagi pacaran. Ayu janji, Pak. Maafin Ayu ya."

Kekecewaan Ihsan semakin bertambah dalam hatinya. Tadinya ia masih berharap, bahwa apa yang ia kira hanyalah sebuah prasangka. Namun, kenyataan yang ada, prasangkanya benar.

Tampak laki-lak paruh baya itu menghela napas kasar lalu dengan keadaan marah ia menghempaskan tubuh Ayu yang sempat menarik dan mencegahnya untuk pergi.

"Pak, Bapak!" teriak Ayu tergugu dan tubuhnya langsung tersungkur. "Maafin Ayu, Pak," sambungnya dengan suara lirih. Air matanya semakin deras.

Ifa yang melihat putrinya menangis sampai tergugu seperti itu tak tega, ia pun bangkit dan langsung menghampiri. "Ayo, Nak. ke kamar kamu ya," ujar sang Emak seraya membantu tubuh Ayu untuk bangkit.

Sikap Ifa yang demikian, bukan berarti dia membela dan membenarkan apa yang dilakukan Ayu. Kini, Ifa hanya berperan sebagai seorang wanita pemaaf dan bisa menjadi penengah antara suami dan anaknya. Ia yakin, setiap masalah yang terjadi, pasti 'kan ada penyelesaiannya. Semuanya juga bisa diomongin baik-baik untuk mencari jalan keluarnya.

"Tapi, Mak. hiks ... Bapak marah banget hiks ... sama Ayu, Mak. hiks ... Ayu telah durhaka sama Bapak, Mak, hiks," ucap Ayu di sela sesenggukannya.

"Biar nanti Emak bantu ngomong sama Bapakmu. Sekarang kamu tenangin diri dulu ya di kamar." Ayu pun mengangguk dan menuruti perintah sang Emak. 

Belum juga hatinya sembuh akibat luka patah hati karena pengkhiatan Evan, kini hatinya semakin terluka akibat kemarahan sang bapak. Selama ini, ia memang bandel, tetapi kebandelannya tak pernah membuat Bapaknya semarah ini. Bandelnya Ayu hanya karena selalu usil dan membuat orang kesal. 

"Ya Allah ... ampuni dosa-dosa Ayu ya Allah," ucap Ayu sesenggukan dan menenggelamkan kepalanya ke bantal setibanya di kamar dan Ibunya langsung pamit untuk berbicara dengan bapak Ayu.

Penyesalan benar-benar Ayu rasakan, Kalau saja, aku nurut sama bapak. aku nggak akan mengalami patah hati sesakit ini, batin Ayu kini termenung seorang diri dengan posisi kepala yang menempel di bantal. Pandangannya kosong, tetapi pikirannya mengembara dengan rangkaian kata andai dan menyesal.

Andai aku tak  gampang jatuh cinta sama cogan.
Andai saja aku tak bertemu dan kenal laki-laki brengsek macam evan.
Andai aku tak meladeni ajakan Evan untuk pacaran.
Hati aku tak akan sesakit ini
Bapak juga tak akan semarah ini.
Evaaaaaannnn .... iiiiiiiiiiiih gue benci banget sama lo.
Kehadiran lo bener-bener bikin hancur hati gue. Gue banyak dosa gara-gara lo. Lo udah nyentuh tangan dan wajah gue Van. Lo nggak pernah menghormati gu sebagai seorang muslimah.
Gue benci sama lo, Van. benciiii banget!
Gue nyesel udah pernah ketemu sama lo.
Gue nyesel udah kenal sama lo.
Gue nyesel udah jatuh cinta sama lo. Ditengah pergulatan batinnya. Air mata Ayu tak hentinya mengalir sampai akhirnya ia merasa capek dan tertidur dengan sendirinya.

.
.
.
.
.
.
.
Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top