DTA - 04 - Sweet

💌💌💌

Yuk, jaga nafsu agar tak menjerumuskan kita dalam kemaksiatan.
Apalagi jika nafsu itu berkedok atas nama cinta.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Saat nafsu manusia menguasai diri, akalnya seakan tak lagi berperan dalam menegakkan kebenaran.
Diri yang bahagia karena ulah menuruti hawa nafsu, tak lagi memikirkan dosa akibat dari apa yang dilakukannya saat ini.

Kebahagiaan yang saat ini Ayu rasakan. Benar-benar membutakan mata hatinya untuk memilah mana yang perbuatan dosa dan yang tidak.

Ia tak mampu menahan nafsu yang mengajaknya dalam kemaksiatan. Ia tak lagi memikirkan akibat apa pun yang timbul dari perbuatannya. Yang ada dipikirannya saat ini hanya, bahagia, senang dan sangat bahagia.

Cowok yang merupakan siswa baru pindahan itu, baru tiba di sekolahnya tiga hari yang lalu. Cowok ganteng macam Evan siapa yang tak suka. Bibir merah, hidung bangir, alis tebal, dan rambutnya yang sedikit ikal, seakan melengkapi pesonanya menjalani takdir dengan predikat ganteng.

[Yu, kita jalan, yuk]

Tiba-tiba sebuah pesan masuk saat Ayu baru saja mengaktifkan ponselnya. Ia dan Oliv baru saja bersiap pulang, berjalan beriringan hendak keluar kelas.

Hati Ayu sontak berdebar kencang, langkahnya terhenti, senyum bahagia langsung tercetak di bibirnya.

"Kenapa, Yu?" tanya Oliv ikut berhenti saat melihat sang sahabat malah senyum-senyum dengan benda pipih yang dipegangnya.

"Eh, nggak apa-apa, Liv. Oh ya, sorry ya, Liv. Hari ini, kita enggak bisa pulang bareng deh kayaknya."

"Lah ... emang napa?"

Biar lo nggak ganggu kencan pertama gue sama Evan, ucap Ayu dalam hati. Ia ke-GR-an dengan ajakan Evan.

"Emm gue ada keperluan memdadak soalnya," alibi Ayu yang tak mau berbohong, mending cari alasan yang umum saja, kan?

"Ya udah ayok, gue temenin," ajak Oliv lalu menyeret tangan Ayu untuk melanjutkan langkah.

"Tapi entar lama, lo." Ayu menarik tangannya dan berhenti melangkah lagi seraya menatap Oliv.

"Ya enggak apa-apa, dong. Gue akan setia, hehe." Oliv cengengesan, sebaliknya Ayu terlihat mencebik kesal.

Saat pikirannya sibuk mencari alasan, getaran ponsel tiba-tiba ia rasakan. Ayu pun langsung gelagapan, melihat nama Evan yang muncul di layar. Ia benar-benar bingung harus berkata dan mencari alasan apalagi, agar Oliv tak mengetahui jika ia PDKT dengan Evan.

"Please, Liv. Sorry, Gue pergi dulu ya. Bye," sergah Ayu tak mau memperpanjang kebersamaan dengan Oliv dan segera berlari menjauh darinya, tak pedulikan suara sang sahabat yang memanggil-manggil namanya.

Setelah memastikan dirinya tak diikuti Oliv. Ia pun buru-buru menerima panggil ponsel yang untungnya masih terhubung.

Hanya sebentar keduanya mengobrol. Wajah ceria Ayu semakin tampak seusainya obrolan itu.

Meski dirinya dan Evan belum resmi jadian, tetapi kebaikan dan segala perhatian Evan sejak tadi pagi, membuat Ayu klepek-klepek.

"Ya Allah ... jadikanlah Evan jodohku," ucapnya dalam hati, penuh harap seraya menatap langit yang kini tampak cerah. Ayu benar-benar baper, mengingat Evan tiba-tiba mengajaknya jalan bareng kayak gini.

---***---

Keduanya saat ini berada di taman kota, tampak ceria jalan berdua menyisiri jalan berpaving mengelilingi taman.
"By the way, kenapa kamu tiba-tiba ngajak aku jalan, Van. Tadi pagi kamu nggak bilang apa-apa, kan ke aku," tanya Ayu saat keduanya jalan beriringan.

"Entah kenapa, sejak tadi pagi. Aku kepikiran kamu terus, Yu. Penginnya deket-deket sama kamu terus," ucap Evan sesekali menoleh ke arah Ayu sembari senyum-senyum.

Ayu yang mendengar penuturan Evan langsung merona. Kedua tangannya saling memilin, tampak salah tingkah.

Keduanya masih sama-sama diam, tetapi kaki terus mengambil langkah beriringan. Namun, saat tiba di sebuah bangku panjang yang kosong.

"Kita duduk di sini, ya," pinta Evan yang langsung mendapat anggukan dari Ayu.

Suasana taman kota tak begitu ramai. Namun, tak juga bisa dikatakan sepi. Karena ramai celoteh anak kecil bisa di dengar dari arah mana saja.

Langit terlihat dihiasi awan mendung, tetapi mendung itu tak gelap, terlihat teduh. Sepoi angin terasa membelai manja, menjadikan terik matahari tak terasa sama sekali.

"Mau es?" tawar Evan.

Ayu menoleh, melihat senyum Evan, membuat Ayu kembali salah tingkah. Apalagi mengingat kata-katanya tadi. Ia benar-benar GR dengan ungkapan itu.

"Ayu," panggil Evan, karena gadis di sampingnya tak kunjung menjawab.

"Eh ... i-iya boleh," ujar Ayu sedikit gugup.

Evan pun beranjak, meninggalkan tasnya di atas bangku. "Ya sudah, kamu tunggu di sini. Aku beliin dulu."

"Eh ... ini uangnya," cegah Ayu saat Evan akan melangkahkan kaki.

"Enggak usah, hari ini gue yang traktir," ucap Evan langsung melanjutkan tujuannya.

Selang beberapa menit, Evan datang dengan dua cone es krim di tangannya. Setibanya di depan Ayu, ia menyodorkan es krim di tangan kanannya. "Nih, Yu. Buat kamu."

"Rasa cokelat?" tanya Ayu.

"Iya, kenapa? Lo enggak suka?"

"Eh, enggak-nggak. Gue suka kok," ucap Ayu bohong. Mana mungkin, sih gue nolak pemberian cowok ganteng macam lo, Van. Alergi cokelat, biarlah menjadi urusan gue nanti. Toh, di rumah aku sedia obat.

"Syukurlah, berarti kesukaan kita sama ya," ujar Evan kembali tersenyum menatap Ayu.

Ayu membalas tatapan Evan sebentar. Kemudia ia mengangguk dan mengalihkan pandangannya ke depan.
Ia merasa tak kuat menahan debaran dalam hatinya yang semakin bergemuruh dan terus bertambah kapasitasnya saat menatap cowok ganteng di sampingnya.

Hening, keduanya menikmati es krim itu tanpa ada obrolan sampai beberapa menit.
"By the way. Lo udah bisa move on belum?" tanya Evan memecah keheningan.

Ayu terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia dengan cepat menoleh sampai akhirnya, tak pedulikan cairan es krim yang comot di bibirnya. Pasalnya, saat Evan bertanya tadi, mulutnya sedang menikmati dinginnya rasa es krim yang belajar untuk ia sukai.

Evan terkekeh mendapati bibir cewek di hadapannya yang sedikit comot. Ayu yang menjadi tersangka, hanya terdiam menatap Evan. Ia terpesona dengan kegantengan Evan yang menjadi berkali lipat saat tampak gigi putihnya seperti ini.

"Lo, ini. Kayak anak kecil aja, sih. Makan es krim comot gini," ujar Evan seraya tangannya menyentuh bibir Ayu. Mengusap cairan cokelat yang menempel di bibir Ayu yang tampak memerah.

Ayu semakin membeku. Desiran hangat benar-benar dahsyat ia rasakan, diiringi juga debaran hatinya yang semakin menggila. Ia benar-benar meleleh dengan kelakuan Evan yang sweet banget menurutnya. Ia tak menyadari jika dirinya baru kali ini disentuh oleh laki-laki bukan mahramnya.

"Lo diam aja, Yu. Nggak sakit gigi, kan habis makan es krim?" tanya Evan lagi, karena sejak tadi Ayu hanya diam saja. Kali ini Evan memukul lengan Ayu pelan.

Ayu yang gelagapan sontak melempar es krim di tangannya.
"Eh!" pekiknya lalu menoleh ke arah Evan.

"Yah, sayang banget itu es krimnya masih ada," ucap Ayu lesu menatap es krim yang malang terdampar tak berdaya.

"Waduh, maaf ya, Yu. Gue ngagetin Lo, ya. Gue beliin lagi ya es krimnya."

"Eh, udah nggak usah nggak apa-apa," sergah Ayu langsung, saat mendapati Evan akan bangkit.

Ayu pun bangkit, mengambil cone es krim itu lalu membuangnya ke tempat sampah. Dalam langkahnya kali ini, Ayu mengambil kesempatan beberapa menit untuk menghela napas cukup panjang, agar debar hatinya kembali normal. Setelah itu, barulah ia kembali duduk di samping Evan.

"Maaf ya, Yu," ucap Evan lagi, tatapannya tampak merasa bersalah.

Ayu tersenyum lalu menggeleng. "Bukan salah, lo, kok. Tadi kan salah gue yang nggak jawab pertanyaan, lo."

Evan pun tersenyum lalu mengangguk. Ia pun segera menuntaskan es krim di tangannya sampai tandas.

"Alhamdulillah ... sekarang, hati gue merasa bahagia, gue seneng, Van. Sepertinya gue langsung bisa move on dan tak patah hati lagi," ujar Ayu antusias tanpa menatap ke arah Evan. Ia sengaja melakukan itu, agar ia bisa dengan leluasa mencurahkan apa yang ia rasakan saat ini.

"Syukurlah kalau gitu, Yu. Gue ikut seneng dengernya," ujar Evan tersenyum menatap Ayu.

Ayu yang merasakan tatapan itu melontar tanya, "Apakah lo tahu apa sebabnya gue bisa secepat ini move on?" Kali ini Ayu memberanikan diri membalas tatapan Evan.

Evan menggelengkan kepala. Keduanya saat ini bertukar pandang. "Ini terjadi gara-gara Lo hadir di dekat gue, Van," ujar Ayu lirih lalu menunduk setelah menyelesaikan ucapannya yang pasti di dengar oleh Evan.

"Thank's, ya. Lo hadir sebagai pelipur lara hati gue," ucap Ayu lagi sembari tetap menunduk.

Evan merekahkan senyum, tangannya mulai terangkat dan mengusap lengan Ayu pelan. "Sama-sama, Yu. Gue seneng kok, ternyata bukan gue aja yang bahagia jika lo di deket gue. Lo merasakan hal yang sama kan?"

Ayu mendongak, ia pun mengangguk seraya mengukir senyum termanisnya untuk laki-laki yang fix kali ini membuatnya tergila-gila.

"I love you very very much, Evan Putra Nugraha," batin Ayu sembari memandang Evan tanpa bosan.

"Awas jatuh cinta, kalo lo terus natap muka ganteng gue ini," sindir Evan yang langsung membuat Ayu mengalihkan padangannya. Ia tak tahu saja, jika sindirannya telah menjadi kenyataan saat ini.

'Gue nggak akan pernah jatuh cinta sama lo, Van. Tapi hati gue sekarang, lagi membangun cinta setinggi menara burj khalifa buat, Lo,' batin Ayu, sembari senyum di bibirnya tampak semakin merekah.

.
.
.
.
.

Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top