Sembilan

"Lo beneran tau semua tentang gue?" tanya Dhormy begitu langkahnya kini serempak dengan Mentari.

Mentari ingin tertawa sebenarnya. Dhormy berhasil ia bohongi. Tapi ia tak sepenuhnya berbohong, Mentari hanya tahu jika Dhormy mempunyai alergi matahari turunan. Hasil dari tak sengaja mendengar nama Dhormy disebut ketika ia menemui wali kelasnya beberapa waktu yang lalu.

"Sebenernya nggak, gue cuma tau kalau lo punya alergi itu." Sesaat kemudian, terdengar suara embusan napas lega Dhormy.

"Gue kira lo beneran tau semua tentang gue."

Mentari tertawa. "Hahaha, sorry. Gue bukan stalker lo."

Dhormy tersenyum di tempatnya. Ia merasa cukup lega lantaran Mentari hanya tahu sedikit rahasia Dhormy. Penyebab ia di-bully hingga kini. Ya, meski ia bebas dari Toni saat ini. Hening menemani sisa perjalanan mereka menuju koridor kelas 10. Hingga tiba-tiba...

"Eh, tunggu, deh." Mereka berdua memberhentikan langkah. Terlebih Dhormy yang merasa terkejut akan suara Mentari yang tiba-tiba menginterupsi.

"Apaan?"

"Gue mau ngomong sesuatu sama, lo. Bisa kita ke taman samping kelas, lo?" Dhormy mengangguk menyanggupi

Cuaca terik saat mereka sampai di sana. Dhormy tak berani sedikitpun untuk duduk di taman. Ia berkali-kali melirik Mentari. Berharap cewek itu akan menghentikan langkahnya lalu mencari tempat yang lain. Yang sekiranya jauh dari sinar matahari. Sungguh, Dhormy membenci hal ini. Ia tidak pernah bisa bebas. Dan Dhormy benci itu.

"Mentari...," panggilnya lirih.

Mentari yang terus berjalan menoleh, menatap dengan alis terangkat pada Dhormy yang memakai pakaian begitu tertutup. Awalnya Mentari bingung apa yang terjadi. Beberapa saat kemudian akhirnya Mentari sadar akan situasi. Ia lupa bahwa Dhormy tak bisa menyentuh matahari barang sedikit pun.

Gadis berkacamata tebal itu tersenyum lebar kemudian mengajak Dhormy menuju tempat lain. Untungnya saat ini jam pelajaran berlangsung. Tak banyak siswa yang tengah berkeliaran di koridor. Dan Dhormy bersyukur akan hal itu. Mereka juga memutuskan untuk bolos jam pelajaran kali ini. Sedikit melenceng memang, meski demikian baik Mentari maupun Dhormy merasa senang bisa membolos. Kapan lagi bisa bolos pelajaran seperti ini?

Setelah beberapa saat melangkah, akhirnya mereka berhenti. Mentari membawanya ke tempat di mana biasanya anak teater melangsungkan latihan. Dhormy baru pertama kali melihat studio yang lumayan besar ini, sedikit terperangah. Selama ini ia belum pernah menjelajahi seluruh area di sekolahnya. Hanya beberapa area saja yang Dhormy ketahui.

"Boleh gue tebak? Pasti lo belum pernah ke sini." Mentari tersenyum. Posisinya yang kini berada di belakang pemuda itu membuatnya puas memandangi punggung Dhormy lama-lama.

"Gue baru tau, sekolah ini punya ruang teater semegah dan seluas ini."

"Sebenernya ini dulu aula. Karena perkembangan teater semakin pesat pun dengan prestasinya, akhirnya Kepala Sekolah menetapkan tempat ini menjadi ruang teater."

Mentari bisa melihat kepala Dhormy mengangguk. "Lo tau banyak ternyata tentang sekolah ini." Mentari tersenyum lebih lebar.

"Yuk, duduk. Capek lama-lama berdiri."

Mereka akhirnya memutuskan untuk duduk di panggung kecil dalam ruangan ini. Entah ini perasaan apa, Dhormy merasa lega luar biasa. Tentu karena ia terbebas dari jeratan memuakkan Toni. Tapi ada satu hal yang tak Dhormy sadari, ia mulai percaya. Rasa percaya itu hadir pada sosok Mentari. Namun sayang, Dhormy belum menyadarinya.

"Gue bingung, deh." Mendengar suara Mentari, Dhormy lekas menoleh.

"Bingung?"

"Gue bingung kenapa lo, yang notabene orang Indonesia, bisa punya alergi macam itu."

Dhormy tertawa. "Di dunia ini, nggak ada yang nggak mungkin, Mentari. Semua orang bisa punya alergi kayak gini."

"Tapi setau gue, cuma orang-orang Eropa yang bisa punya penyakit kek itu."

Dhormy berdeham. Ia siap menceritakan hal ini. Perdana, hanya pada Mentari. Seseorang yang telah menyelamatkannya hari ini.

"Ibu gue asli orang Eropa, lebih tepatnya Inggris. Ibu punya alergi matahari ini sejak kecil. Sampe akhirnya beliau ketemu, Ayah. Awalnya mereka hidup di Inggris sampe Kakak gue lahir. Beberapa tahun setelah itu, Ayah dipindah-tugaskan kembali ke Indonesia. Pas punya anak gue, mereka nggak tau kalau gue punya penyakit yang sama kayak Ibu. Karena Kakak gue baik-baik aja, nggak ada masalah sama alergi atau pun penyakit lain, mereka kira gue sama.

"Tapi ternyata enggak. Umur dua bulan, gue divonis punya alergi ini. Gue enggak pernah keluar rumah, nggak pernah punya temen. Jujur aja gue iri sama orang yang bebas berkeliaran di siang hari tanpa takut panas. Eh, ternyata malah gue yang kena bully cuma karena kulit gue ini. Katanya, banyak orang yang iri sama kulit gue. Dunia memang kadang selucu ini." Dhormy menghentikan ucapannya dengan pandangan kosong. Ia teringat akan semua hal yang pernah ia lalui sampai detik ini.

Mentari mengangguk mengerti. Ia paham sekarang. Apa yang Dhormy lalui, pasti tidaklah mudah. Cowok di sampingnya ini pasti memiliki banyak beban, sama seperti dirinya.

"Gue tau gimana rasanya jadi, lo." Mentari berujar pelan. Dhormy kembali menoleh dengan alis terangkat. Mentari tersenyum miris.

"Gue divonis katarak sejak kecil. Pernah hampir buta sampe akhirnya gue disuruh pakai kacamata ini." Mentari menunjuk kacamatanya. "Kacamata yang buat gue di-bully, padahal kalau nggak ada benda ini, gue nggak bakal bisa lihat. Termasuk lihat manusia vampire kayak, lo."

Kali ini Dhormy tersenyum. Entah mengapa ia merasa tidak kesal dengan kalimat terakhir Mentari. Ia justru merasa sedikit ... tenang. Menyadari bahwa takdir mereka hampir serupa, membuat Dhormy berpikir lagi tentang hidupnya. Tentang dirinya yang selalu merasa lemah. Yang selalu merasa paling tidak bisa dan paling menderita. Padahal jika Dhorny ingin membuka matanya lebih lebar, Dhormy akan menemukan sesuatu yang membuat dirinya merasa lebih hidup.

"Gue paham. Orang-orang yang punya kekurangan seperti kita mudah banget dicaci. Karena apa? Karena mereka nggak tau, hidup kita seperti apa. Mereka cuma bisa melihat dan menilai. Padahal nggak tahu gimana rasanya. Gue sempat berpikir, apa hanya karena kekurangan, kita wajib ditindas? Nggak, kan. Kita manusia, sama seperti mereka. Kita makan pake nasi, minum pake air, mandi juga pake air. Semuanya sama. Yah ... yang namanya manusia. Selalu saja ingin mencela. Selalu saja berharap bahwa ia yang paling bisa. Dasar manusia."

"Dasar manusia." Dhormy berujar pelan, mengikuti kalimat terakhir Mentari. "Gue setuju sama apa yang lo bilang. Mereka terbiasa hidup layaknya manusia normal, sedangkan mereka nggak tau gimana rasanya jadi kita, manusia yang penuh kekurangan. Bukannya mereka juga punya kekurangan? Tapi kadang, gue merasa gue adalah cowok paling lemah di dunia. Paling buruk di dunia. Karena apa? Karena mereka yang menanamkan pikiran seperti itu di otak gue."

Mentari ikut menoleh. Mata mereka bertemu pandang beberapa saat sebelum akhirnya kembali menatap ke depan. Sejatinya mereka sama. Takdir mereka hampir serupa. Entah mengapa Dhormy baru menyadarinya.

"Lo ... jangan pernah merasa lemah. Karena ketika lo merasa kayak gitu, lo nggak pernah bisa melawan. Lo nggak pernah bisa menjaga diri sendiri. Coba lihat, buka mata lebar-lebar, banyak sekali orang yang kekurangan melebihi lo di dunia ini. Tapi mereka bisa bangkit. Itu yang jadi motivasi gue untuk selalu merasa kuat."

Ya, Mentari benar. Semua yang Mentari katakan adalah benar. Dhormy saja yang tidak mau membuka matanya. Tidak mau menajamkan pendengarannya. Menyalahkan diri sendiri bukanlah solusi yang tepat dalam hal ini. Terlebih menyalahkan takdir.

Baru Dhormy sadari, ternyata ia memang selemah itu sampai-sampai tidak menyadari betapa banyak orang di luar sana yang lebih menyedihkan dibanding dirinya.

Bersambung...

070319

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top