Sebelas (End)

Mentari memegang buket bunga yang ia pegang dengan erat. Tangannya sedikit bergetar. Bukan karena sedih, tapi gugup. Setelah sekian lama, Mentari baru sempat mengunjungi tempat ini lagi. Air mata tak akan turun lagi, ia telah berjanji.

Sekian tahun setelah kejadian penembakan oleh orang kelainan mental di depan sekolah mereka, Mentari baru bisa mengunjungi Dhormy. Ia sedang menyiapkan mental. Takut tak bisa menepati janjinya.

Langkah kaki kecilnya terhenti di tempat tujuan. Sebuah gundukan tanah yang bunganya telah mengering, tapi tanahnya masih tetap basah oleh guyuran air hujan. Meskipun begitu, tak membuat Mentari memundurkan langkahnya. Gadis itu berjongkok. Menaruh buket bunga di atas gundukan tanah itu dengan tangan sebelahnya mengusap nisan.

Nama Dhormy terukir indah di sana. Ya, kalian tak salah baca. Dhormy meninggal sesaat setelah dilarikan ke rumah sakit. Beberapa bulan setelah mereka berteman, ada insiden di depan sekolah mereka. Di mana, sang kakak, Theo, tengah ditawan sosok tak dikenal yang tengah menggenggam sebuah pistol. Menurut informasi orang itu mengidap kelainan mental. Dhormy yang saat itu tengah kalut langsung saja berlari menerobos kerumunan guru yang melarang siswanya keluar.

Dan tepat ketika Dhormy berada di hadapan sosok itu, satu tembakan terlepas. Orang gila yang tengah memegang pistol itu, tertawa lebar, begitu melihat Dhormy jatuh terduduk bersimbah darah. Entah dari mana asalnya pistol yang tengah digenggamnya kini. Yang jelas, ini sangat mengejutkan. Kejadian ini mengundang teriakan dari siswa lainnya, salah satunya adalah Mentari. Bahkan polisi yang saat itu menjaga keamanan pun merasa terkejut luar biasa. Padahal mereka telah memperingatkan orang itu agar tidak melepas tembakannya.

Salah satu polisi juga telah menahan Dhormy, tapi sayang, Dhormy berhasil bebas. Tak peduli kulitnya akan melepuh karena sinar matahari yang terpenting adalah keselamatan kakaknya.

Dhormy yang saat itu bersimbah darah hanya bisa tersenyum. Dan tepat di hari itu juga, ia pergi. Meninggalkan semua seorang diri.

Mengejutkan dan terlalu mendadak. Semuanya merasa terkejut akan hal ini. Tapi siapa yang tahu takdir dan kematian seseorang? Tak ada selain kuasa-Nya.

"Makasih udah jadi temen gue. Sekarang, penyakit lo udah terbongkar. Toni juga udah beberapa kali ke sini. Katanya dia nyesel udah pernah jahat sama, lo. Temen-temen yang udah bicarain lo juga udah nyesel, mereka minta maaf. Juga maaf, ya, Dhor, gue baru bisa ke sini lagi sekarang. Abis, jadwal kuliah gue padat banget."

Mentari terdiam. Membiarkan embusan angin yang terasa dingin memeluk tubuhnya. Mentari jadi ingat bahwa Dhormy begitu menyukai angin. Ia tengadahkan kepalanya, terpejam. Damai, angin membuatnya damai. Persis seperti kata Dhormy.

"Gue pamit dulu, ya. Kapan-kapan gue ke sini lagi."

Mentari memutuskan pamit. Berlama-lama di sini hanya akan membuat suasana hatinya memburuk. Ia tersenyum kendati matanya hendak menangis. Angin ini sedari tadi membuatnya teringat akan Dhormy. Tapi tak apa. Kata Dhormy, angin selalu ada kapanpun dia butuh. Dan Mentari rasa, angin yang kini menemani perjalanannya adalah Dhormy.

Ya, cukup menganggap Dhormy sebagai angin, sudah membuatnya merasa lebih baik.

Terima kasih Tuhan. Dengan begini, Dhormy tak perlu lagi mengganggap dirinya lemah. Tak perlu lagi susah payah menahan emosi saat berada di rumah. Dan satu hal yang aku yakini, Dhormy pasti ada saat angin datang. Seperti katanya, angin adalah temannya. Dan kini, angin juga merupakan temanku.

Tenang di sana, Dhormy.

Selesai

100319

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top