Empat

Perasaan Dhormy membaik keesokan harinya. Ia bisa tersenyum di hadapan seluruh anggota keluarga. Masih bisa menikmati sarapan dengan penuh konsentrasi. Dhormy jauh merasa lebih baik. Ya, meskipun ia masih merasa dirinya begitu buruk. Namun lebih baik dari semalam. Ia berusaha melatih emosinya sesuai dengan apa yang ia dan Theo sepakati semalam.

Untuk memberitahu temannya masalah alergi matahari yang ia miliki, Dhormy rasa ia tak perlu memberitahu mereka. Cukup para guru saja yang mengetahui. Lagi pula sudah ada kesepakatan sejak ia memutuskan untuk sekolah di sini. Mereka tak akan membocorkan rahasianya pada siapa pun.

Dhormy mengembuskan napasnya pelan. Ia harus mulai bertindak, seperti kata Theo, melawan sesekali tak ada salahnya bukan?

Tiba saatnya ia berangkat. Dhormy memutuskan untuk diantar kakaknya saja. Ia perlu bicara berdua dengannya.

Beberapa saat di dalam mobil, mereka berdua bersikap tenang selama berada di jalan. Dengan radio mobil yang dinyalakan, membuat keheningan enggan muncul di antara mereka. Hingga sebuah suara yang tentunya berasal dari suara Dhormy membuat Theo menoleh dengan cepat.

"Kak...."

"Hm?"

"Beneran gue harus ngelawan?"

Theo mengangguk. "Iya. Sesekali gue rasa nggak pa-pa."

Dhormy terdiam sesaat. Ia masih memikirkan tentang hal ini, kemudian berkata, "Gue pernah ngelawan. Dan lo tau, gue di-bully lagi. Untungnya gue masih bisa tolerir. Jadi, gue bisa tahan buat nggak ngelapor."

"Kalau mereka nyerang lo lagi, ya, gampang. Tinggal laporin, susah amat."

"Nggak segampang itu, Kak. Lo tau Toni, kan? Dia bisa ngelakuin apa aja asal dia puas."

"Dhormy yang gue tau nggak pernah takut kek gini. Dhormy yang gue tau, selalu bisa bersikap bodo amat. Lalu, kenapa lo jadi ribet kek gini, sih?" Theo berujar.

Ingin sekali Dhormy berkata, lo yang nyuruh gue ngelawan, kenapa lo yang sekarang bilang gue ribet? Namun sayang, Dhormy tidak seberani itu untuk menyampaikan kalimatnya.

"Udah sampe. Mau sampai kapan lo diem di sini, heh?! Cepet pake masker lo. Kali ini harus pake masker. Gue enggak mau muka lo ruam-ruam kek tangan lo kemarin." Ucapan Theo membuat Dhormy tersadar dari lamunan singkatnya. Lantas memakai masker sesuai perintah, lalu keluar dengan wajah sebal di balik masker.

"Sekarang siapa yang ribet?" gumamnya pelan.

Dhormy melanjutkan langkah cepat dengan wajah sebal di balik maskernya. Dhormy melangkah sembari menggerutu pelan. Wajahnya semakin menunduk begitu merasa panas matahari pagi menerpanya. Tak lupa langkah yang kian cepat. Dhormy tak mau panas matahari itu membakar kulitnya.

Jika bukan karena alergi yang menyusahkan ini, Dhormy tak perlu repot-repot menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian tebal. Lagi-lagi, Dhormy menyalahkan penyakitnya satu ini. Padahal sebenarnya ia juga salah. Tapi terkadang Dhormy mengakui itu.

Dhormy akhirnya bisa melangkah santai saat tiba di koridor kelasnya. Tempat yang jarang sekali terkena matahari. Dhormy mengembuskan napasnya lega. Lama-lama, ia merasa tersiksa juga. Harus berlari jika tak mau panas menerpanya, terkadang harus memakai payung demi sampai di tempat mobilnya berada.

Kini Dhormy enggan memakai payung ke sekolah. Karena gara-gara payung itu, ia di-bully. Diolok-olok sedemikian rupa hingga membuatnya resah sampai-sampai tak bisa menahannya begitu sampai di rumah.

Helaan napas terdengar begitu Dhormy mengingatnya. Sayang sekali Dhormy tidak menyadari seseorang tengah menyeringai di belakangnya. Mengambil ancang-ancang untuk ... mencelakakannya. Dan ya, Dhormy terjatuh tepat beberapa detik setelah helaan napasnya terdengar.

Dhormy mendongak sesaat setelah jatuh. Lututnya nyeri, tentu saja. Namun yang lebih menyakitkan adalah lengannya. Dhormy yakin lengannya akan membiru nanti. Ia mengepalkan tangan. Emosi sudah hampir menguasainya, sebisa mungkin ia menahan.

Ditatapnya si pelaku yang kini masih sibuk tertawa. Toni. Siapa lagi kalau makhluk tinggi besar dengan jiwa jahil serta jiwa penidasan yang tinggi itu? Sedetik, Dhormy menggeram. Lantas bangkit kemudian bertanya dengan nada lantang. Ia bahkan melepas maskernya hanya untuk berbicara pada manusia di depannya ini.

Dan Dhormy rasa inilah saatnya untuk melawan, seperti kata Theo.

"Lo itu kenapa sih, heh?!"

Toni mengerjab tak percaya. Lihatlah! Manusia pucat ini melantangkan suaranya. Padahal biasanya ia hanya diam, menunduk, kemudian berlalu tanpa suara. Tepuk tangan Toni menggema. Mereka kini menjadi pusat perhatian sesaat.

"Wih! Hebat banget lo sekarang. Berani bersuara? Eh?" Toni kembali tertawa. Dhormy di tempatnya diam tak tenang. Bergerak gelisah. Dalam hati, Dhormy ingin sekali menampar atau meninjunya.

"Masalah buat lo? Ah, iya. Lo kan emang manusia yang selalu cari masalah," kata Dhormy santai. Kelewat santai sampai tak sadar jika tangan terkepal Toni sudah berada beberapa senti di depan wajahnya.

Seketika Dhormy merasa takut. Yang ia takutkan akan terjadi. Melawan bukan menjadi solusi untuknya saat ini. Bahkan Toni terlihat jauh lebih menyeramkan ketika dilawan seperti ini. Nyali Dhormy ciut. Ia sungguh membenci dirinya yang lemah.

"Sekali lagi lo bilang kayak gitu, awas lo!" Toni menggeram sesaat kemudian berlalu dengan tampang marah. Dhormy mengembuskan napas lega di tempat.

Untuk kali ini, ia selamat. Entah waktu yang akan datang. Kini Dhormy lebih memilih untuk diam. Ia telah membuktikan sendiri bahwa apa yang kakaknya sarankan ternyata salah. Ia tak pantas melawan. Dhormy bahkan merasa kalah saat berusaha melawan.

Kicauan-kicauan menyakitkan kembali terdengar saat salah seorang teman perempuannya menyindir secara langsung. Dhormy tetap pada prinsipnya. Lebih baik diam. Ia tak akan melawan. Ya, meski tahu bahwa manusia-manusia ini berbeda jauh dengan Toni, Dhormy tak akan melawan.

Ia sudah membuktikan kalau melawan itu percuma. Jadi, Dhormy akan menikmati sisa waktunya di sekolah ini, mungkin. Karena bisa jadi suatu saat nanti, Dhormy memutuskan untuk kembali homeschooling seperti yang selama ini ia jalani. Namun mengingat konsesuensi dari ayah, membuatnya kembali mengurungkan diri untuk memutuskan homeschooling. Ia bukan lelaki pengecut yang lari dari janji.

Dhormy sudah memutuskan hal ini, ia juga yang harus menerima konsekuensi yang ayah beri. Terlepas dari baik ataukah buruk apa yang ia terima.

.

Dugaannya benar. Lengannya memar karena insiden tadi. Tapi tak apa, daripada Dhormy memutuskan untuk membiarkan tubuhnya tergeletak, lebih baik ia menyanggah dengan lengannya. Tak apa meski memar.

"Memar lagi? Kamu diapakan lagi?" Ibu datang dengan sekotak P3K.

"Ini bukan bully, Bu. Dhormy jatuh kena dorong tadi."

"Ibu nggak percaya."

"Serius, Bu. Tadi anak-anak yang lewat rame, Dhormy kena dorong, jadi jatoh, deh," dustanya. Dhormy sungguh tak ingin membuat ibunya khawatir.

"Ibu sering bilang kan, kalau kamu harus hati-hati. Ngerti?" Ibu mengoleskan obat luka pada lengannya yang memar, Dhormy meringis.

"Iya, Dhormy dengar."

"Ibu nggak mau kamu di-bully lagi. Sudah cukup waktu itu kamu di-bully. Sekarang, nggak lagi."

"Iya ibuku sayang. Dhormy bisa lawan mereka. Dhormy bisa jaga diri."

Maafkan aku ibu.

Bersambung...

100219

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top