Tersesat
Di sisi lain, bukan hanya Tara yang melihat makhluk itu. Tirta juga menadapati satu di antaranya sedang berdiri di hadapannya. Wujudnya seperti manusia, tetapi lebih pucat, dan wajanya tertutup jubah putih.
"Temanmu butuh pertolongan, ikuti aku jika kau ingin temanmu selamat," tuturnya pada Tirta.
Tirta hendak berdiri, tetapi Gatot mencengkeram pergelangan kakinya. Tirta menoleh ke arah Gatot.
"Jangan ...," bisik Gatot yang menyuruh Tirta untuk mendekatkan telinganya ke arah Gatot. Tirta mengikuti sarannya, ia menundukkan tubuhnya.
"Itu adalah penunggu hutan ini. Mereka tidak jahat, tetapi juga tidak baik. Jika kita mengikutinya, kita tak akan bisa kembali lagi ...," bisik Gatot.
Tirta meneguk ludah. Ia dihadapkan dengan dua pilihan yang rumit. Antara memperjudikan hidup Gatot dengan tim penyelamat yang entah mampu menemukan mereka, atau mengikuti makhluk putih tersebut untuk menolong Gatot, tetapi kemungkinan besar mereka tak bisa kembali ke dunia asal mereka lagi.
Tirta menghela napas, lalu membopong Gatot untuk berdiri. "Maaf kawan, yang penting saat ini adalah keselamatanmu."
"Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ketika kita mengikutinya! Pikirkan baik-baik, jika aku memang harus mati. Aku ingin jasadku dikubur di tanah kelahiranku! Kita harus tetap berada di sini!"
"Tidak ada siapa pun yang mati. Kita masuk bersama, pulang juga bersama." Tirta tak peduli, ia tetap membopong Gatot yang kaki kanannya terseret tak mampu berjalan.
* * *
Sementara itu, Nathan, Septa, Guntur, dan Uchul menghampiri aura mengerikan yang sempat membuat bulu kuduk mereka merinding bersamaan.
"Apa yang barusan terjadi?" tanya Nathan pada Septa.
"Entah, yang jelas, sesuatu yang mengerikan telah terdeteksi dari tempat itu," balas Septa.
Mereka semua berlari. Nathan Memimpin pasukan, sementara Guntur berlari di belakang menjaga pasukan. Para pasukan elit tersebut mengangkat senapannya untuk berjaga-jaga.
Nathan menurunkan kecepatan ketika melihat seseorang yang berlari ke arah mereka. "Ada seorang yang menuju ke sini dari arah jam satu." Sontak semua menatap orang tersebut yang tidak lain dan tidak bukan adalah Dahlan. Dahlan lari tergopoh-gopoh hingga terjatuh di hadapan Nathan.
"Apa yang terjadi?" tanya Nathan yang tak menurunkan waspada pada sekitarnya.
Dahlan menunjuk ke arah lokasi Tara tanpa berkata-kata.
"Mana Tara?" tanya Septa yang tak menemukan sosok anggotanya.
Dahlan hanya memasang wajah melas tanpa berani menatap satu pun di antara Nathan, Septa, Uchul dan Guntur. "Sesuatu yang mengerikan!" seru Dahlan ketakutan. "Entah, yang jelas--sekarang aku memiliki informasi tentang keberadaan pasukan Hamsa itu. Mereka ada di pusat hutan ini."
"Sial!" Septa hendak meninggalkan pasukan, tetapi Uchul menahannya.
"Lu stay aja sama tim ini, inget tujuan utama kita. Biar gua yang meriksa ke sana. Lu ikutin regu utama aja." Uchul berjalan santai dengan kedua tangan yang bersembunyi di balik kantong jaket merahnya.
"Chul!"
Nathan menepuk pundak Septa. "Gatot juga mengalami masalah. Tenang saja, jika temanmu adalah prajurit yang tangguh. Ia tak akan kalah."
Septa tak menjawab. Ia hanya mengepalkan kedua tangannya sekeras yang ia bisa.
"Dahlan, tunjukkan di mana pusat hutan ini." Nathan memberikan sebuah pistol pada Dahlan yang tak memiliki persenjataan. "Mulai dari sini, kau yang memimpin."
* * *
Uchul kini berdiri di sebuah tempat yang penuh dengan kekacauan. Banyak pohon yang rusak seperti terkena benda tajam, dan beberapa pohon kecil tumbang.
"Oi, oi, oi, oi, oi." Uchul menempelkan tangannya pada pinggir bibirnya untuk memanggil Tara. "Tara, oi."
"Apa semua ini perbuatanmu?" Suara berat itu melontarkan sebuah pertanyaan pada Uchul.
Uchul enggan menoleh ke belakang. Ia menarik kepalanya ke belakang diikuti oleh tubuhnya yang mengimbangi bagian kepalanya. Posisinya hampir jatuh ke belakang, tetapi ia masih berdiri dengan kedua tangan yang bersembunyi ke kantong jaket.
Dua orang berjubah berdiri di atas dahan pohon yang cukup besar. Satu di antaranya melompat turun. Sungguh bukan hal yang masuk akal, melihat manusia yang bisa terjun begitu saja dari jarak yang lumayan tinggi itu tanpa luka.
"Ke mana Paloh?" tanyanya pada Uchul.
"Bapaloh?" Uchul menyeringai mendengar nama lucu itu. "Lu kan anaknya, mana gua tau di mana Bapaloh kekeke."
Uchul membetulkan posisinya berdiri, lalu memutarnya sehingga ia berhadapan dengan pria berjubah itu. "Seharusnya gua yang nanya, di mana Tara?"
Orang berjubah yang berada di atas dahan menghilang. Ia sudah tak berada di sana. Ucuhl menyadari itu dan merasakan napas di belakang tubuhnya. Sontak pria berjaket merah itu kembali memutar tubuhnya. "Curang!" pekiknya mendapati sosok itu sudah siap untuk melancarkan serangan.
"Terlambat." Orang berjubah yang sempat menghilang itu, kini melancarkan sebuah tusukan pada Uchul sehingga merobek jaket merahnya.
* * *
Di sisi lain, Tara yang berdiri dengan napas terpogoh-pogoh tampak kesulitan menghadapi makhluk-makhluk aneh yang mengepungnya. Tanpa ia sadari, makhluk-makhluk itu telah membawanya ke alam yang bukan merupakan alamnya.
Enggak akan ada habisnya. Mereka terus berdatangan. Percuma dibunuh juga, enggak akan ada habisnya.
"Hebat juga, bisa bertahan selama ini ngelawan mereka," ucap orang berjubah yang berdiri di belakang makhluk-makhluk itu.
"Apa lu pemimpinnya?" Tara memegangi lengan kirinya yang mulai gemetar akibat terlalu banyak bergerak.
"Bisa dibilang begitu," jawabnya.
Tara menyeringai mendengar jawabannya. "Kalo gitu, semua akan jauh lebih mudah mulai dari sekarang." Ia beranggapan bahwa, jika mampu membunuh pimpinannya, maka semua pasukan jinnya akan ikut kalah. "Gua cuma perlu bunuh lu aja kan?"
Orang berjubah putih itu duduk di sebuah akar pohon beringin yang berada di sampingnya. "Majulah, selamat berusaha sampe ke sini." Orang itu kemudian berbaring sambil memainkan daun yang ia petik dari pohon-pohon kecil yang masih bisa ia jangkau.
Tara melesat maju menerobos puluhan makhluk aneh yang berkumpul di hadapannya. "Gua pastiin lu enggak akan menunggu lama!" Ia mengamuk dan kembali mencabik-cabik makhluk penghuni hutan kematian.
* * *
Tirta kini berada di suatu pemukiman. Tempat ini aneh, karena secara peradaban, tempat ini seperti kota modern. Di mana tempat ini memiliki beberapa gedung yang menjadi pengisi kota tersebut. Tak mencerminkan bahwa mereka sedang berada di sebuah pedesaan di dalam hutan.
"Kita sudah sampai, di kota Paloh," tutur makhluk yang membawa Tirta. "Sekarang mari kita rawat temanmu." Ia membawa Tirta menuju rumah sakit.
Tak butuh waktu lama, mereka tiba di rumah sakit. Gatot segera dirawat, sementara Tirta duduk di sebelah kasur Gatot berbaring.
"Beristirahatlah, kau pasti lelah."
Istirahat? Kota ini saja sebenarnya janggal! Mana bisa aku mengendurkan pertahanan barang sedetikpun!
Tirta hanya menggeleng pada makhluk itu.
"Kau takut?"
"Tidak," jawab Tirta. "Aku hanya waspada."
Makhluk itu tersenyum. Ia tak menampilkan seringai, tetapi senyum manis pada Tirta. "Oke, tak mengapa, tetapi jika kau merasa lelah, beristirahatlah." Ia pergi meninggalkan Tirta dan Gatot.
Tirta menatap getir ke arah Gatot. Ia merasa bersalah karena meninggalkan missinya, tetapi ia juga merasa bersyukur, karena mampu membawa orang yang terluka sejauh ini. Tirta hanya berharap Gatot cepat pulih dan mereka akan memikirkan cara untuk kembali.
* * *
Malam ini begitu pekat. Nathan menggelar camp kecil untuk beristirahat. "Kita bagi menjadi dua tim. Aku dan Guntur akan beristirahat, sementara Septa dan Dahlan berjaga. Waktu kita dua jam untuk beristirahat, setelah itu kita rotasi." Semua setuju atas usulan Nathan.
Nathan dan Guntur mulai beristirahat. Sementara Dahlan sudah berencana untuk membunuh mereka semua di tempat. Septa berjalan ke arah Dahlan, lalu menatap matanya.
"Katakan, apa yang sebenarnya terjadi?" ucap Septa berbisik pada Dahlan.
"Bocah Dharma itu tau jika aku adalah salah satu dari Hamsa. Ia hampir membunuhku, tetapi Paloh menolongku. Aku berlari menjauhi tempat itu karena Paloh sangat berbahaya. Dan diperjalanan, aku bertemu dengan kalian, tentu saja aku berniat untuk mengakhiri hidup kalian semua malam ini," tutur Dahlan dengan mata terbelalak. Ia mengucapkan hal yang berbeda dari yang ia ingin utarakan. Ya, dihadapan Septa, tak ada orang yang mampu berbohong.
Septa melesat ke belakang Dahlan dan menutup mulutnya. "Memang rasanya janggal, enggak beres." Kini wakil komandan Dharma itu mendekap kepala Dahlan dari belakang.
Maaf, Inspektur. Aku harus membunuh seseorang. Maaf karena telah melanggar janjiku.
Tepat sebelum Septa mengakhiri hidup Dahlan dengan memutar kepalanya. Hawa membunuh membuatnya bergidik ngeri, seolah sebuah sabit sedang menempel di tenggorokkannya.
Septa melepaskan Dahlan mundur dan beberapa langkah. Ia berteriak untuk membangunkan Nathan dan Guntur. Sontak Nathan dan Guntur langsung mengambil senjata dan mengarahkannya pada orang yang sedang dipandang oleh Septa.
"Kau tidak apa-apa, Dahlan?" Orang itu semakin mendekat pada Dahlan.
"Berkat anda, saya selamat, Ketua. Saya hendak memberikan informasi tentang penyergapan ini, tetapi sepertinya unit khusus anti ilmu hitam buatan pemerintah sangat terampil."
"Pasukan khusus anti ilmu hitam?" Orang itu menatap Septa.
Orang itu ketua Hamsa?
"Baoh, habisi mereka semua," tutur sang ketua.
Dari balik pekatnya gelap malam, seorang pria berjubah lainnya muncul dan berlari ke arah Guntur. Melihat itu, Guntur menembaki orang tersebut.
Anehnya, peluru yang bersarang di tubuh orang itu tak membuatnya kesakitan dan tak membuatnya memperlambat kecepatannya.
"Gila! Orang ini gila!" Guntur menembaki orang itu hingga pelurunya habis.
"Mati satu." Orang itu menyeringai dan hendak memukul Guntur yang tampak pasrah.
Septa menarik napas dalam-dalam. Ia menyerap seluruh atma yang berada di sekitarnya ke dalam tinju kanannya.
"Waringin Sungsang."
Dengan cepat, Septa melesat ke arah Baoh dan melesatkan pukulan pada pinggang sebelah kanannya. Berbeda dengan peluru milik Guntur, kali ini pukulan Septa mengakibatkan luka yang cukup serius, hingga membuat Baoh mengeluarkan banyak darah dari mulutnya. Baoh juga terpental dan terjatuh di tanah.
"Ba-baoh!" teriak Dahlan melihat salah satu rekannya yang terkenal kebal itu terluka dalam sekali pukul.
"Kalian cukup duduk tenang saja sambil menonton, atau boleh saja urus si pengkhiatan Dahlan itu," ucap Septa pada Guntur dan Nathan. "Biar wakil komandan Dharma ini yang melawan sisanya."
.
.
.
TBC
Kosa Kata :
- Atma, merupakan energi alam. Untuk melawan energi jahat, orang yang mampu menggunakan tenaga dalam atau pun energi alam mampu melukai wadah jin atau bahkan jin itu sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top