Hutan Kematian

"Jangan lepaskan pegangan, sebelum gua kasih perintah! Jangan buka mata sebelum gua suruh!"

Uchul membuka penutup matanya. "Suratma Total."

Kini Uchul berjalan sambil diikuti sembilan orang lainnya yang saling berpegangan satu sama lain. Mereka berjalan sejauh beberapa meter. Bau anyir sangat menusuk indera penciuman mereka. Bahkan beberapa anggota Kopassus hampir muntah karena pekatnya bau anyir tersebut.

Namun, perlahan bau anyir itu menghilang. "Oke, kalian boleh membuka mata kalian," tutur Uchul.

Sejujurnya, hanya anggota Kopassus yang menutup mata, sementara anggota Dharma tak menutup mata mereka sama sekali.

"Rasanya seperti sudah berjalan sejauh beberapa meter, tetapi mengapa kita hanya berada beberapa jengkal dari luar hutan?" tanya Nathan. "Dan lagi, bau anyir apa barusan?"

Seluruh anggota Kopassus menatap sekeliling dan tak mendapati sumber aroma tersebut. Bahkan kini aroma itu benar-benar sudah menghilang.

"Enggak usah dipikirin, kita fokus tujuan kita di sini," balas Septa.

Hawa Dharma telah berubah. Mereka seperti orang yang berbeda dari sebelumnya. Bahkan Tirta sudah tak lagi membaca bukunya. Wajah mereka kini lebih garang dari anggota Kopassus. Sejujurnya Nathan mulai percaya dengan anak-anak ini, ia berjalan bersebelahan dengan Tirta di baris depan.

Pohon-pohon tinggi menjulang. Lebatnya hutan membuat mereka harus menebas beberapa ranting untuk bisa melanjutkan perjalanan.

"Sudah berapa regu yang diturunkan untuk masuk ke hutan ini?" tanya Tara pada Dahlan.

"Entah, yang jelas lebih dari tujuh regu dengan jumlah yang berbeda-beda," jawab Dahlan.

"Semua orang masuk dari tempat kita masuk?" lanjut Tara.

"Empat regu, ditambah regu pertama yang menjadi awal mula kasus ini. Sisanya melalui jalan lain."

Tara tak melanjutkan topik obrolan. Ia berjalan dengan kedua tangan yang bersembunyi dibalik kantong celananya, pria dingin itu terus berfokus pada lebatnya hutan ini. 

Langkah mereka terhenti tepat di depan sungai yang lebar dengan arus deras. Nathan mengambil tambang di tasnya. "Aku yang akan menyebrang pertama, sisanya berpegangan pada tali ini." Nathan merupakan perenang yang sangat handal. Ia mengikat tambang itu di tubuhnya, lalu mulai menyusuri derasnya arus sungai yang juga belum diketahui kedalamannya.

Anggota Kopassus dan Dharma menyebrang secara bergantian. Setibanya Nathan, Septa, Guntur, dan Uchul di tepi lain sungai ini. Tara mulai berjalan hingga sampai ke tengah sungai, diikuti oleh Gatot dan Dahlan di belakang.

Mata Tara tebuka lebar, ia mencium bau mesiu. "Musuh menyadari keberadaan kita!" teriaknya tepat sebelum ketika ledakan terjadi di dalam sungai. Hingga membuat arus semakin kuat dan memutuskan tambang milik Nathan. Beruntung Tara tak terluka, tetapi beda halnya dengan Gatot yang berada tepat di belakangnya. Orang itu sepertinya terluka dan tak mampu menahan arus sungai, hingga dirinya terseret.

"Gatot!" teriak Dahlan yang berada tak jauh dari Tara.

Namun, seseorang terjun ke sungai dan mengejar gatot dengan cepat. "Siapa yang nyebur?" tanya Nathan.

"Tirta! Dia ngejar Gatot," balas Tara.

Dahlan melepaskan pegangannya dan ikut terseret arus. Sontak Tara melepaskan pegangannya dan mengejar Dahlan.

Kini hanya Septa, Nathan, Guntur, dan Uchul yang berhasil menyebrang. Sementara Rendi tertinggal di tepi yang lain. Rendi menyadari sesuatu, bocah dengan selimut yang berjalan di belakang kini tak ada di tempat.

"Satu anggota hilang!" teriak Rendi. "Saya akan kembali untuk mencarinya."

Melihat Rendi yang berlari kembali untuk mencari Kei. Kini Nathan dan anggota yang berhasil menyebrang kini melanjutkan perjalanan. Mereka berharap semua akan baik-baik saja.

* * *

Di sisi lain, Tirta berhasil meraih Gatot, ia mendapatkan luka yang cukup serius di bagian kaki. Melihat postur tubuh mereka berdua, tak mungkin Tirta mampu menggotong Gatot yang berukuran jauh lebih besar darinya. Tirta hanya menepikan Gatot dan melakukan pertolongan pertama dengan apa yang ia bisa.

* * *

Sementara Tara dan Dahlan berhasil menyebrang, tetapi mereka terpisah dari kelompok karena Dahlan sempat terseret arus.

"Ah, kau berhasil mengejarku, terimakasih," ucap Dahlan.

"Dalam keadaan seperti ini, setidaknya kita tidak boleh sendirian," balas Tara. "Sepertinya kita berdua harus menyusuri hutan misterius ini."

"Ya, kau benar." Dahlan berjalan, sementara Tara mengikutinya.

"Secepatnya kita harus menemui rekan-rekanmu," ucap Tara.

"Entahlah, Gatot terbawa arus. Sementara Rendi tertinggal. Kita akan menyusul Nathan secepatnya. Jika kita berjalan terus, mungkin kita akan bertemu dengan mereka.

"Bukan, bukan," balas Tara. "Maksudku--rekan-rekanmu yang bersembunyi itu ...."

Dahlan menyeringai, ia mengambil pistol yang berada di dalam kantongnya lalu berbalik ke belakang untuk menembak kepala Tara.

Matanya terbelalak, menatap Tara yang sudah tak berada di belakangnya. Dahlan mencari keberadaan Tara, tetapi tak ia temukan sosoknya.

"Sejak kapan kau tahu?" tanya Dahlan sambil berfokus mencari Tara.

"Sejak awal, Tirta menyuruhku waspada. Dia bilang jika kau itu tak beraroma. Dalam artian, misterius. Tak seperti manusia pada normalnya, kau tak pernah bergumam dalam hati. Mencurigakan, seperti kau tahu tentang kemampuan salah satu dari kami dan berusaha menutupi aromamu."

"Kau bilang ada total lima regu yang sudah melewati jalan yang kita susuri, tetapi jalur kita masih banyak ranting dan tanaman liar yang menutupi, seolah belum pernah terjamah oleh manusia. Tentu saja mereka tak pernah sampai sejauh kita, kan?" lanjut Tara.

"Karena ketika mereka melewati tabir ghaib. Lokasi mereka akan langsung diketahui oleh musuh, dan tentu saja musuh akan menghabisi mereka secepatnya."

"Kau tahu bahwa salah satu dari kami dapat membaca pikiran dan isi hati. Kau butuh waktu untuk berpikir untuk melaporkan kami yang telah masuk tanpa terdeteksi tabir ghaib, karena mata suratma milik Uchul, bukan? Dan lagi, aku melihatmu membuka mata ketika menyebrangi alam suratma."

"Tentu saja kau berusaha membunuhku dengan peledak, tetapi aku bergerak lebih cepat, sehingga ledakan itu lebih berdampak pada anggota Kopassus ketimbang diriku."

"Jangan kau pikir, kau bisa lolos dengan mudah."

Dahlan terkekeh mendengar semua ucapan Tara. "Hahaha kalian hebat juga karena bisa sampai sejauh ini."

"Tapi bocah, tetaplah bocah. Apa yang bisa kau lakukan padaku, hah?! Bahkan kau hanya bisa bersembunyi!"

Tara yang jarang tertawa kini ia terbahak-bahak seperti orang gila. "Andai saja kau tahu, kau sedang berurusan dengan siapa."

"Hahaha berusaha menggertak?" seru Dahlan.

"Aku sengaja memisahkan diri dari rekanku. Karena mereka juga tak tahu, siapa sebenarnya aku ini loh." Tara menyeringai dari balik pohon.

Kini pria itu melepaskan hawa membunuhnya yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun. Hewan-hewan belari menjauhinya. Burung-burung terbang menjauh dari area di sekitarnya. Sontak membuat seluruh anggota gabungan yang berpisah-pisah merasakan sensasi membunuh yang luar biasa.

"Aura mengerikan apa ini?" tutur Septa membuka matanya lebar-lebar.

Bahkan Kei yang tertidur, kini terbangun dari tidurnya karena aura membunuh yang sangat pekat.

Hawa membunuh ini bukan serta merta asal-asalan dikeluarkan oleh Tara. Pertama, mungkin unitnya akan segera menghampiri area ini, mengingat ada aura yang mencekam datang dari tempatnya berdiri. Kedua, ini merupakan peringatan pada musuh, bahwa sesuatu yang berbahaya telah masuk ke dalam hutan tanpa sepengetahuan mereka.

Dahlan gemetar. Ia mengarahkan pistolnya pada Tara yang baru saja keluar dari balik salah satu pohon. Ia menembaki Tara, tetapi Tara tak butuh menghindar. Karena gemetar, seluruh tembakan Dahlan yang mengarah pada Tara meleset.

Tara mengambil dua bilah pisau dari balik jaketnya. Ia memainkan pisau itu dengan cara memutar-mutarnya. Perlahan Tara berjalan ke arah Dahlan.

"Kau pernah mendengar organisasi gelap bernama Peti Hitam?" tanya Tara.

Dahlan hanya mengangguk sambil berusaha mengisi peluru pistolnya.

"Dan pernah dengar tentang keluarga Wijayakusuma?" Tara menyeringai kembali. "Selamat, kau beruntung karena bisa bertemu dengan keduanya sekaligus."

Tara berlari dengan cepat ke arah Dahlan dengan liur yang berjatuhan dari mulutnya. Bunuh, bunuh, bunuh, bunuh.

Ketika hendak mencabut nyawa Dahlan, tiba-tiba saja ada makhluk berjubah putih yang menghalangi Tara. "Makhluk apa itu?!" Makhluk itu melesatkan cakaran ke arah Tara, tetapi beruntung Tara masih mampu menghindarinya.

"Lari, lari, lari." Dahlan beranjak dan berlari masuk semakin jauh ke dalam hutan.

"Bajingan tengik! Jangan kabur!" teriak Tara. Ia berusaha mengejar, tetapi puluhan makhluk aneh itu menghadangnya dan mengepungnya dari berbagai arah.

Bukan hanya manusia, hawa membunuh Tara mengusik penghuni asli hutan itu. Makhluk-makhluk aneh dengan jubah berwarna putih kusam. Beberapa besar, tetapi beberapa juga kurus. Yang jelas warna kulit mereka pucat dengan kuku-kuku yang panjang.

* * *

Di sisi lain, bukan hanya Tara yang melihat makhluk itu. Tirta juga menadapati satu di antaranya sedang berdiri di hadapannya. Wujudnya seperti manusia, tetapi lebih pucat, dan wajanya tertutup jubah putih.

"Temanmu butuh pertolongan, ikuti aku jika kau ingin temanmu selamat," tuturnya pada Tirta.

Tirta hendak berdiri, tetapi Gatot mencengkeram pergelangan kakinya. Tirta menoleh ke arah Gatot.

"Jangan ...," bisik Gatot yang menyuruh Tirta untuk mendekatkan telinganya ke arah Gatot. Tirta mengikuti sarannya, ia menundukkan tubuhnya.

"Itu adalah penunggu hutan ini. Mereka tidak jahat, tetapi juga tidak baik. Jika kita mengikutinya, kita tak akan bisa kembali lagi ...," bisik Gatot.

.

.

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top