LANANG (2) Pria Paling Menggemaskan

Satu hal yang baru gue ketahui setelah berkunjung untuk ke sekian kalinya ke rumah Pak Dewa adalah ... TERNYATA DIA PINTAR MASAK!

Bermula dari gue yang mengajaknya pergi makan sedangkan kondisi di luar sedang diguyur hujan. Yang semata-mata membikin dia menawarkan, "Daripada makan di luar, lebih baik saya aja yang masak. Kamu suka makan apa?"

Gue ketawa karena berpikir Pak Dewa sedang bercanda. "Gue suka tempe pedas asin, Pak. Dioseng pake kecap."

Kepalanya manggut-manggut. "Yang kering atau basah?"

"Yang mana aja gue suka, kok."

"Baiklah. Kalau begitu, kamu tunggu dulu di sini, ya."

Kemudian Pak Dewa mulai melangkah menuju ke area dapurnya, meninggalkan gue yang cuma terkikik usil karena mengira telah berhasil melakukan kerja sama membuat lelucon. Tetapi nggak disangka-sangka, suara yang sering gue dapati dari arah dapur di rumah sendiri mendadak terdengar. Bikin gue spontan memasang indra pendengaran, memastikan bahwa bebunyian yang tertangkap kini bukanlah sekadar khayalan. Sayangnya, makin didengar itu suara malah terasa makin nyata.

"Pak Dewa!" sahut gue memanggil sembari lekas menyusulnya. Lalu seketika dibuat terpana saat melihat meja dapur di sini udah dipenuhi berbagai macam bumbu serta peralatan memasak.

Mulai dari bawang-bawangan, percabean, talenan, pisau, bahkan segala macam bahan perasa. Ya ampun. Gue kebanyakan rebahan di depan ruang tamu dan bolak-balik masuk kamar Pak Dewa selagi dimanjakan olehnya sampe nggak menyadari adanya semua bahan memasak di ruangan ini.

"Pak Dewa bisa masak?" tanya gue masih nggak percaya selagi tertegun memandangi gerakan tangannya yang amat cekatan mengirisi bawang merah di atas talenan.

Pria berkacamata ini mengangguk seraya melirik gue sekilas. "Iya. Bagaimana dengan kamu?"

"Bisa, dikit-dikit. Asal dibantu bumbu instan."

Dia tersenyum. "Makanan apa yang bisa kamu masak?"

"Ayam goreng. Telor ceplok dan dadar. Mie. Sama sayur rebus."

"Nggak kamu tumis?"

Kepala gue sigap menggeleng lantaran tau betul bahwa menumis membutuhkan keterampilan mengaras-iris bumbu. "Gue nggak ahli main-main sama pisau, Pak. Payah tangan gue."

Jawaban gue bikin Pak Dewa mengulurkan tangan. "Mau saya ajari?"

"Nggak usah, Pak!" Tangannya gue dorong menjauh, selepas itu gue menopang dagu di sisi meja. "Biar gue kebagian nonton aja."

"Padahal bumbu tumis juga bisa kamu ulek atau blender, 'kan."

Gue nyengir diberitahukan hal yang udah sering Ibu katakan juga. "Males, Pak. Tinggal beli yang udah jadi lebih praktis."

Mendengar respons gue, pria manis ini hanya tersenyum memaklumi. Dengan gue yang lanjut memperhatikannya yang sekarang sedang memotong-motong tempe menjadi bentuk dadu. Kira-kira ukurannya sebesar kuku jempol tangan gue. Sementara cabai merah, cabai hijau, bawang hingga jahe-jahean telah selesai dicincang semua.

Jahe atau bukan sih itu? Atau malah kunyit? Nggak tau, deh. Males gue pikirin.

Sewaktu Pak Dewa mulai menggoreng bawang beserta kawanannya, memenuhi dapur dengan aroma sedap dari masakan yang tengah dia buat, seketika gue jadi semakin terpesona.

"Gue nggak tau bahwa ternyata Bapak bisa masak," celetuk gue yang bikin Pak Dewa mengernyit heran.

"Tapi sekarang kamu sudah tau."

Gue menegakkan badan untuk lalu berjalan menghampiri, berdiri di samping Pak Dewa di dekat kompor. "Sejak kapan Bapak bisa masak?"

"Sejak saya kecil. Ketika dapur di rumah saya ini masih berupa tungku dari tanah liat."

"Kecilnya itu umur berapa?"

"Saat saya sudah duduk di bangku SD, pokoknya."

"Siapa yang ngajarin Pak Dewa masak?"

Tanya gue selanjutnya menghentikan gerakan mengaduk di wajan sesaat, sebelum Pak Dewa menjawab lirih, "Tentu aja Kakek dan Nenek sayalah, Lanang. Selain mereka, saya toh nggak memiliki siapa-siapa lagi."

Waduh, bener juga. Ya Allah. Gue bener-bener nggak peka.

Spontan, gue pun menyentuh punggungnya sambil berbisik, "Sekarang Bapak punya gue."

"Iya, saya tau," balas Pak Dewa yang lantas memasukkan potongan-potongan tempe ke wajan kemudian terus diaduk-aduk.

Gue iseng-iseng merebut spatula dari tangan Pak Dewa untuk gantian membantu mengaduk masakan yang api kompornya segera dikecilkan. "Pak Dewa sendiri, paling suka makan apa?" terus gue bertanya.

"Kebanyakan makanan berkuah, sih. Seperti soto ayam, sayur sup, empal dan semacamnya," jawabnya bersamaan dengan menumpahkan kecap ke dalam masakan, disusul sedikit air yang telah disiapkan.

"Sayur lodeh gitu, suka nggak?"

"Iya, saya suka."

"Gue juga suka sama Pak Dewa," gombal gue disertai cengiran yang seketika bikin Pak Dewa mendelik jengah. Alhasil gue tertawa. Pasrah aja ketika spatula di tangan gue direbut untuk lalu diletakkan ke sisi kompor. "Bapak sering masak?"

"Tergantung keinginan dan daya tahan tubuh saya aja. Jika sedang nggak terlalu capek, saya memasak. Kalau sempat itu juga. Karena saya juga 'kan orang sibuk." Pak Dewa menjelaskan sambil menambahkan bermacam-macam penyedap rasa ke tempe oseng racikannya.

"Pak Dewa hebat, ya."

Pujian dari gue membuat Pak Dewa kebingungan. "Hebat bagaimana, maksud kamu?"

"Pak Dewa bisa hidup dengan begitu mandiri. Bahkan sampe sekarang," ungkap gue menjelaskan dan memberinya senyuman lebar. "Gue jadi bangga bisa jadi pacar Bapak."

Mendapati kalimat gue, wajahnya terlihat agak tersipu. Setelah itu, dia turut tersenyum dan membalas, "Terima kasih, Lanang."

. . .

Oseng tempe pedas asin teruntuk cowok ganteng ini udah siap disantap. Bersama dengan sayur sawi putih dan telur dadar yang juga dimasak oleh Pak Dewa. Yang begitu gue mencipipi rasanya, gue serta-merta melenguh keenakan sambil mengacungkan jempol.

"Masakan Pak Dewa enak!"

Inilah yang gue maksud mengenai Pak Dewa yang rupanya pintar masak. Aroma dan rasa makanan hasil racikannya betul-betul sesuai dengan selera gue. Suka, nih. Makin dibuat cinta gue sama dia.

"Terima kasih," ucap Pak Dewa menanggapi seraya mulai menyeruput kuah sayur.

"Makanan ini lebih enak malah dari masakan buatan Ibu."

Mendadak Pak Dewa tersedak sesudah mendengar pujian lainnya dari gue. "Jangan bohong!"

Masa anak ganteng ini dikira bohong, sih?

"Eh, gue serius, Pak!" tandas gue meyakinkannya sembari memperhatikan tempe berwarna gelap di dalam mangkuk. "Masakan Ibu seringnya kebanyakan gula sama kecap. Tapi masakan Pak Dewa buat gue ini rasanya ... pas!" Sekali lagi, acungan jempol gue berikan yang untungnya berhasil memunculkan senyuman senang di bibir pria tercinta gue ini.

"Syukurlah jika kamu suka."

Gue mengangguk. "Tapi Bapak gak usah khawatir, soalnya gue tetep lebih suka Pak Dewa, kok."

Lontaran gombalan gue berhasil mendatangkan momen tersedak kedua pada Pak Dewa yang sontak membentak, "Lanang!"

"Maaf, Pak!" Gue mengkeret, lantas lebih memilih lanjut menghabiskan makanan.

Setelah selesai menyantap habis semua menu di meja, terus membereskan bekas makan kami. Di ambang pintu dapur saat ini, gue menunggu Pak Dewa yang tengah mencuci piring dengan bosan. Mana dia nyuci piringnya sambil membelakangi posisi gue lagi. Jadi, jangan salahin gue jikalau fokus gue malah terarah ke bagian belakang badan dia. Ke pantatnya.

Kepengin gue remas dan tubruk banget rasanya. Gemes.

Kemudian, diam-diam gue melangkah mendekati pacar gue ini. Berdiri di belakangnya, menyusupkan kedua tangan gue secara hati-hati yang lalu gue lingkarkan ke perut Pak Dewa yang seketika menghentikan kegiatan mencuci piringnya.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" Dapat gue rasakan sentuhan dingin dan licin dari tangan Pak Dewa ke pergelangan gue.

"Gemes gue, Pak. Pengen meluk!" ujar gue dan semakin mengeratkan pelukan.

Dia menggeleng-geleng masygul. "Bisa-bisanya ada anak muda yang gemas kepada sosok pria seusia saya."

"Bapak emang ngegemesin, kok!" komentar gue sambil mendaratkan ciuman ke tengkuk Pak Dewa yang serta-merta membikin tubuhnya agak terlonjak. "Saking gemesnya, jadinya gue ngaceng sekarang," bisik gue menggoda lalu menempelkan ereksi gue lebih dekat ke bokongnya.

"Lanang, hentikan!" Sedapatnya Pak Dewa menghindari tubrukan ngaceng gue. "Saya belum selesai."

"Nanti lagi aja dilanjutinnya, Pak. Mendingan kita ciuman!" pinta gue udah nggak tahan yang lekas membalik paksa badannya.

"Lan--hmmph!" protes Pak Dewa gue bungkam dengan ciuman. Tanpa ragu memasukkan lidah gue ke mulutnya yang spontan dikulum yang semata-mata menjadikan nafsu gue kian meningkat.

Jemari gue meraba ke bawah selagi mulai mengalihkan ciuman ke dekat daun telinganya. "Mulut Pak Dewa rasa tempe."

Tiba-tiba aja Pak Dewa menyemburkan tawa heboh sampe air liurnya terasa mengenai pipi gue.

Melihatnya, jelas aja gue keheranan. "Kok Bapak malah ketawa?" tanya gue merasa nggak terima. Sebab bukannya berhasil bikin Pak Dewa bergairah, gue justru memunculkan tawa nggak berkesudahan padanya. Tumben-tumbenan.

Pak Dewa merespons gue masih sembari tertawa. "Karena kamu terlalu konyol, Lanang!" Lantas dia menepuk-nepuk pipi gue. "Sudah, sana. Saya mau lanjut cuci piring!" usirnya dan mendorong tubuh gue menjauh.

"Habis itu lanjut ciuman sama gue ya, Pak?"

"Iya, iya. Suka-suka kamu aja."

"Asik! Gue tunggu!" sorak gue penuh antusias, kemudian mulai berjalan meninggalkan dapur. "Cepetan ya, Pak!"

"Merengek sekali lagi, lebih baik kamu pulang!"

"Baik, Pak! Pacar ganteng Pak Dewa ini akan menunggu dengan sabar!" kata gue patuh lalu berakhir duduk di kursi rotan yang berada di dekat pintu masuk dapur.

Apa pun akan gue lakukan demi sosok Pak Dewa yang paling menggemaskan. Termasuk menahan hawa nafsu untuk bercinta. Demi kebaikan kami bersama.

___Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top