DEWA (3) Pemuda Kebanggaan

Lanang:
PAK DEWA!!!
GW BERHASIL JADI JUARA 1 LAGI
ALHAMDULILLAH ANAK GANTENG MASIH BISA JADI JUARA 💪
Nanti kasih gw hadiah ya, Pak
Kalo bisa yg spesial & plus2 😋

Akan saya persiapkan

Lanang:
Gw mau main ke rumah Pak Dewa. Boleh?

Saya masih sibuk.

Lanang:
Gk apa2
Gw mau ke rumah Pak Dewa pokoknya
Numpang tidur kek, ngapain kek
Di rumah juga gk ada siapa2

Kamu 'kan ada rumah sendiri, Lanang.


Lanang:
Tapi gw maunya ke rumah Pak Dewa 😟

Tak ada gunanya melarang anak ini, huh. Mau bagaimana lagi.

Ya sudah.
Suka-suka kamu aja.

Lanang:
Hehe 😝😝😝

Aku menelan senyumku mati-matian hanya karena tidak ingin sampai dianggap tidak waras oleh orang-orang di sekitar, sebab saat ini aku masih berada di kantor bersama dengan para guru lain yang memiliki kesibukannya masing-masing. Termasuk aku yang baru sempat memegang kembali ponsel setelah sebelumnya membagikan rapor bagi anak-anak di kelas 11 IPA B. Kelas yang menjadikan aku selaku wali.

"Pak Dewa, apa setelah ini mau ikut kami pergi makan bersama?"

Suara dari Pak Wilman yang mendadak mengatakan ajakan sontak membuat aku mendongak, sedikit merasa bingung dan kaget menatapnya yang juga tampak tengah mengharapkan respons dariku.

Terlebih dulu aku membetulkan posisi duduk sebelum memintanya mengulang, "Hah? Maaf, Pak. Bagaimana?"

Pak Handoko turut muncul di samping Pak Wilman untuk bantu menjelaskan, "Mari, kita makan keluar sama-sama, Pak. Hitung-hitung melepas penat karena tugas di penghujung semester pertama telah kita selesaikan. Apalagi saya lihat Pak Dewa sudah bekerja dengan sangat ekstra, saya pikir ini saatnya bagi Pak Dewa bersantai."

"Betul, Pak. Jangan bekerja terlalu lama begitu. Tubuh Pak Dewa pasti lelah," timpal Pak Wilman yang disahuti anggukkan beberapa guru lain.

Mereka yang selalu begitu perhatian dan peduli padaku. Akan tetapi, jika aku menyanggupi ajakan mereka, bagaimana dengan Lanang? Apalagi jika dia sudah berada di rumahku. Seumpama aku betul pergi bersama para staf guru, aku khawatir Lanang akan sendirian terlalu lama di rumahku nantinya.

Akhirnya, seperti selalu, aku membuat alasan yang tak sepenuhnya dusta, "Aduh, Pak. Mohon maaf sekali, tapi ..." Meja berisi satu rapor aku lirik sambil memasang senyum kikuk. "Pekerjaan saya belum selesai di sini. Karena ada satu murid yang absen, jadi rapornya harus diambil oleh wali murid. Dan kebetulan beliau belum datang, pun meminta saya menunggu. Jadi ... maaf sekali," ucapku sungguh merasa tidak enak pada mereka, tapi tidak begitu kecewa juga.

Hal bernama berkumpul bersama di keramaian memang bukan sesuatu yang menyenangkan aku toh.

Pak Wilman menghembuskan napas, seakan memaklumi jawabanku. Tapi beliau juga berkomentar, "Padahal Pak Dewa bisa menyerahkan rapor itu kapan-kapan lagi."

"Kalau itu yang Pak Dewa mau, saya tidak akan memaksa." Pak Handoko tersenyum. "Ya sudah, Pak. Kalau begitu, kami duluan. Jika Pak Dewa mau menyusul, nanti saya akan mengirimkan alamatnya."

Aku sangat menghargai pengertian beliau. "Baik, Pak. Terima kasih. Selamat bersenang-senang."

Mereka semua berpamitan padaku. Satu per satu keluar dari kantor ini. Menjadikan suasana ruangan berisikan lebih dari 10 kursi ini berubah sepi seketika. Hanya menyisakan diriku serta office boy yang tengah bersih-bersih.

Ponsel kembali aku lirik kemudian. Kali ini, tak ada alasan bagiku untuk menahan senyum mendapati pesan yang Lanang kirimkan.

Lanang:
Semangat kerjanya, Pak Dewa 😘

Dia sungguh pemuda yang pengertian.

.

Jendela depan rumah terbuka. Tapi gordennya entah sedang raib ke mana. Tidak biasanya aku melihat jendelaku terbuka tanpa gorden yang turut nampak. Apakah Lanang melipatnya ke atas atau bagaimana?

Sepatu Lanang diletakkan di rak sepatu di bawah jendela ini. Disusul dengan sepatu yang baru aku lepas yang kutaruh tepat di sisi kosong di dekat sepatunya. Aku menarik napas, dan mengernyit ketika membaui aroma wangi yang tercium dari dalam rumah yang pintunya agak membuka. Seperti ... bau cairan pembersih lantai? Atau ini bau pewangi pakaian yang mungkin saja tetanggaku gunakan, ya?

"Tapi siapa juga yang ingin menjemur pakaian di jam segini, dengan suasana semendung ini," gumamku jadi bertanya-tanya sendiri.

Akhirnya, aku mulai membuka pintu selagi mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam!" Lanang membalas salam dengan heboh sembari sekonyong-konyong melompat dari balik daun pintu, menyambut kedatanganku. "Akhirnya Pak Dewa pulang. Sini, tasnya biar gue taruh." Pemuda ini merebut tas dari tanganku masih dengan senyum ceria yang tersungging di wajahnya, sementara aku dibuat tertegun atas apa yang kini terpampang di depan mata. Atas apa yang telah terjadi di dalam sini. "Oh, iya. Pak Dewa pasti lapar, 'kan? Tuh, udah gue bikinin telur dadar sama sayur bening. Tapi--"

"Lanang?" Aku menahan Lanang yang semula ingin berbalik pergi, menatap padanya tak percaya dengan sorot mata yang nanar.

"Iya? Kenapa, Pak?"

Aku tidak langsung menjawab tanya itu. Kini, kedua mataku sibuk menyisir setiap sudut ruangan di dalam rumah yang sejauh ini mampu aku lihat. Bagaimana debu di rak buku, lemari, telivisi hingga lantai yang sedang aku pijak telah hilang sepenuhnya. Lap kaki, kain penutup meja hingga gorden-gorden yang ternyata sudah diganti. Letak sofa yang ditata ulang dengan posisi yang membuat ruangan terasa lebih luas. Dengan makanan yang ajaibnya sudah saja tersaji di meja. Bahkan buku-buku milikku yang selalu tampak berantakan, semuanya pun telah dirapikan.  Paling mengejutkanku, adalah bagaimana sarang laba-laba yang sering kali memumpuk di sudut dinding dan plafon, tak lagi terlihat satu baris pun.

Rumah ini ... sungguhkah ini adalah rumahku sendiri? Apa yang sudah terjadi di sini?

Kali ini aku memfokuskan pandanganku pada Lanang kembali. "Apa yang ... kamu lakukan?" tanyaku dengan suara yang nyaris tercekat saking merasa tak menyangka. "Kenapa rumah saya--"

"Oh, iya. Maaf kalo gue lancang ngacak-ngacak rumah Bapak," tukas Lanang, tampak menunjukkan ekspresi tidak enak dengan senyum yang dikulum ke dalam. "Karena gue tau Pak Dewa selalu sibuk, makanya gue inisiatif untuk bantu ngebersihin rumah Pak Dewa. Asal ngelap-ngelap doang, sih. Sama ngerapiin dikit," jelasnya yang semata-mata membuat kedua mataku terasa panas.

Aku melirik sekali lagi ke meja, dan menunjuk dengan jemari yang agak gemetaran. "Dan kamu juga ... menyiapkan makanan untuk saya," kataku lirih.

Sepertinya, aku tidak akan mampu menahan dorongan kesedihan ini lebih lama lagi. Apa yang dilakukan Lanang untukku sangat amat ... luar biasa.

"Iya, Pak. Tapi rasanya--loh, Pak Dewa?" Lanang buru-buru menghampiri aku yang sudah saja menumpahkan air mata. "Kok Bapak nangis?" Ada nada khawatir pada suaranya yang menjadikan tangisku kian tak terbendung.

Aku menghela napas panjang, memegangi tangan Lanang yang menyentuh basah di pipiku laun seraya memberinya gelengan kepala nanar. "M-maaf, saya ... saya hanya merasa ... maaf, Lanang." Aku menjatuhkan kepala ke bahu pemuda ini. Membiarkan tangisku tumpah dengan seluruh tubuh yang terasa melemas seketika diakibatkan perasaan yang tak keruan. "Sudah lama sekali sejak ada seseorang yang menyambut kepulangan saya dengan balasan salam dan makanan yang telah disiapkan. Terakhir saya merasakan yang seperti ini adalah ketika Nenek saya masih hidup. Itulah kenapa ... saya terharu," ungkapku dibarengi isak tangis, parau.

Tadi, saat aku melihat ada makanan yang tersaji di meja, sekilas bayangan Nenek yang sedang duduk menunggu aku muncul. Memberikan senyumnya yang hangat selagi memanggil namaku, meminta aku segera duduk untuk menyantap makanan bersama.

Oh. Betapa aku sungguh merindukan suasana seperti ini. Dan semua ini bisa terjadi berkat tindakan di luar dugaan sesosok pemuda yang kini tengah berulang-ulang mengelus bagian belakang rambutku, lembut. Berusaha menenangkan perasaan sedihku.

Aku menarik diri dan tersenyum pada Lanang. "Terima kasih, karena kamu sudah mau repot-repot melakukan ini semua. Saya sangat senang, Lanang. Terima kasih," ucapku yang lalu mencopot kacamata karena sekarang jadi basah.

"Iya, Pak. Tapi Pak Dewa jangan nangis, dong," bisik Lanang yang bantu mengusap jejak air mata yang tersisa di wajahku.

Tawa tertahan menyembur dari mulutku. Merasa geli terhadap situasiku sendiri saat ini. "Maaf. Saya jadi kelihatan cengeng, ya. Karena sejujurnya, suasana seperti ini sedikit mengingatkan saya pada Kakek dan Nenek saya, sih. Mungkin memang saya ... terlalu merindukan mereka," ujarku memberitahu Lanang yang hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Nggak apa-apa kok, Pak. Wajar kalo Pak Dewa kangen sama mereka. Gue juga kadang masih suka kangen sama Kakek, kok."

Dia sungguh tahu bagaimana harus menyuarakan respons yang mana turut membuat perasaanku lebih baik.

Kacamata aku pakai kembali. "Padahal saya yang seharusnya memberi kamu sesuatu, tapi malah kamu yang menyuguhkan kejutan macam ini untuk saya. Saya berhutang banyak pada kamu, Anak Muda."

Kalimatku memunculkan cengiran malu-malu di bibir Lanang. "Ini bukan apa-apa kok, Pak."

Aku jadi gemas sendiri pada bocah ini. Andai aku tidak cukup malu untuk berinisiatif menciumnya.

Aku menepuk-nepuk bahunya. "Bagi saya, ini adalah sesuatu yang besar. Karena kamu adalah orang pertama yang pernah melakukan sesuatu seperti ini untuk saya. Sejak saya resmi tinggal seorang diri."

Kedua matanya mendelik. "Yang bener? Emangnya Mbak Zana nggak pernah?"

Kenapa dia mendadak malah membawa-bawa nama Zana dalam persoalan ini?

Gelengan kepala aku berikan. "Belum. Dia pernah membantu saya melewati masa sulit pada awal masa kepergian Nenek. Tapi caranya berbeda dari cara kamu. Walau saya tahu Zana berkali-kali ingin melakukan hal seperti ini juga, tapi saya nggak mengizinkan karena jelas itu cuma akan memancing pandangan buruk dari tetangga. Bagaimanapun dia bukan istri saya, 'kan."

Penjelasanku membikin Lanang manggut-manggut. "Berarti ada untungnya juga jadi pacar cowok Pak Dewa, ya. Mereka yang tau gue sering bolak-balik ke sini palingan cuma mikir bahwa gue murid Bapak yang minta ditemenin belajar," celetuknya yang aku hadiahi tatapan sok sinis.

"Murid yang lancang, tepatnya. Karena bahkan saat saya belum pulang, kamu sudah aja masuk kemari."

Dia nyengir. "Gue bilang sama mereka bahwa gue pengin bantu ngangkatin jemuran Pak Dewa. Soalnya mendung."

"Tapi hari ini saya nggak menjemur baju."

"Namanya juga alasan bohong, Pak."

Aku spontan tertawa. "Dasar kamu ini."

Pemuda yang sungguh menggemaskan memang.

"Ya sudah. Ayo, sekarang kita makan."

Ketika aku hendak melangkah, gantian kali ini Lanang yang menahan dengan cara memegangi tanganku. Alhasil, aku kembali menoleh padanya dengan pandangan penuh tanya.

Sedikit ragu-ragu, Lanang bertanya, "Pak Dewa nggak mau ngasih gue sesuatu dulu? Sebagai bonus ucapan terima kasih?"

"Sesuatu apa?"

Bukannya langsung menjawab, Lanang justru senyam-senyum yang serta-merta membuat aku memicingkan mata. Menduga-duga apa yang sedang dipikirkan pemuda dengan isi otaknya yang liar ini.

"Jangan hanya senyum-senyum begitu, Anak Muda!" tegurku seraya menepuk pipinya. "Cepat kamu bilang, maunya apa?"

"Gue mau dicium Pak Dewa, sih."

Permintaan yang sangat mudah ditebak dan sederhana sekali.

Jadi aku bertanya sekali lagi untuk memancingnya, "Kamu yakin? Mau itu aja?"

Mendengarnya, kedua mata Lanang tidak bisa menyembunyikan binar antusiasnya. "Jadi, boleh minta lebih, nih?"

Aku menaikkan sebelum alis disertai senyuman. "Kenapa, nggak?"

Lanang sigap menarik aku ke pelukannya dengan girang. "Gue sayang Pak Dewa!" soraknya saking senang dan lalu menatapku. "Boleh minta sekarang, nggak?"

Aku balas menatapnya penuh sorot memuja selagi mengusap-usap sisi wajahnya. "Seenggaknya, kita makan dan mandi dulu. Kamu setuju?"

"Setuju!" sahutnya yang kemudian menjatuhkan ciuman singkat ke bibirku dan membuat aku terkekeh geli.

"Dan ngomong-ngomong, selamat untuk kamu, Lanang. Karena kamu sudah berhasil menjadi juara satu di semester pertama ini. Saya harap, kamu bisa terus mempertahankan prestasi kamu, ya. Dan saya sungguh bangga, karena bisa mengenal ..." Aku meneguk ludah, bersiap meralat susunan kalimatku. "Maksud saya, saya sungguh bangga karena bisa memiliki sosok kekasih seperti kamu. Pemuda yang paling saya sayangi," ungkapku dengan agak tersipu, belum terbiasa dengan hal seperti ini. Akan tetapi dorongan tentang ingin membuat Lanang bahagia jauh lebih besar dari canggung yang membelenggu aku.

Terbukti, sewaktu senyum ceria Lanang terbit, aku pun turut tertular aura gembira yang dipancarkannya.

"Makasih banyak, Pak Dewa." Sekali lagi bibirku dikecupnya. "Gue juga bangga bisa jadi pacar Pak Dewa!"

Sebuah kebanggaan bisa dicintai oleh pemuda yang paling aku banggakan di dunia ini. Aku beruntung memilikinya.

___Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top