Telaga Rasa

Telaga

Aku menatap sebuah undangan berwarna coklat di atas meja. Menimbang-nimbang diri, akankah menghadiri undangan itu atau tidak. Menghadiri undangan itu tak sesederhana datang, mengucapkan selamat, dan melantunkan doa pada kedua mempelai. Ini lebih dari itu.

Aku kembali menatap undangan itu.


Dewa Faishal Abdillah

dan

Bidayatul Mujtahidah

Dewa menikah. Adik tingkatku semasa kuliah itu mendahuluiku. Tapi, bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah jika aku menghadiri pernikahannya, maka aku akan bertemu dengan Rain. Dan, itu sungguh tak masuk dalam perhitunganku.

Aku meninggalkan Malang untuk menjauhi Rain. Aku tak ingin berharap terlalu jauh pada gadis itu dan semakin sulit menghilangkan rasaku nantinya. Aku juga tak ingin Rain bertemu denganku, lalu bertanya banyak hal yang membuatku kesulitan menjawab. Namun, rasanya tak sopan jika tak menghadiri undangan Dewa. Lagipula, dalam hadits riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim dijelaskan bahwasannya, Idza du’iya ahadukum ilaal walimati falya’tiha. Apabila kalian diundang dalam acara walimah, maka datanglah!

Hadits ini mengandung perintah bagi seorang Muslim untuk menghadiri walimah apabila memang diundang. Bukankah dalam teori ushul fiqh, bahasa perintah (amr) ketika terdapat dalam sebuah dalil, maka terdapat dua kemungkinan arti, yaitu perintah wajib atau sunah? Para ulama’ fiqih lantas merumuskan bahwa menghadiri acara walimah adalah wajib untuk walimatul ‘urs (undangan pernikahan), dan sunah untuk walimah yang lain seperti walimah aqiqah, khitan, haji, atau yang lainnya. Aku pernah mempelajari ilmu ini dalam kitab Fathul Wahhab karya Syaikh Zakariya Al-Anshori juz 2.

Selain itu, Syaikh Yahya bin Syaraf An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim Li An-Nawawi juz 18 juga mengatakan,

‘Adapun uzur yang menggugurkan kewajiban atau kesunahan mendatangi walimah di antaranya adalah, suguhan yang tidak jelas kehalalannya, undangan walimah yang hanya dikhususkan untuk orang kaya, terdapat orang yang tersakiti jika ia hadir, terdapat orang yang tidak layak baginya untuk bersama dengannya, diundang karena khawatir perilaku buruk dari dirinya, diundang karena mengharap sebuah jabatan darinya, dan diundang agar ia berkenan membantu dalam hal kebatilan.’

Setelah mengingat alasan-alasan itu, aku merasa tak memiliki satu pun uzur yang dapat menggugurkan kewajibanku untuk menghadiri walimah Dewa. Jika aku tetap bersikeras tak menghadiri walimah, lantas pertanggungjawaban apa yang akan kuberikan pada Allah di akhirat kelak atas ilmu-ilmu yang telah kuperoleh namun tak kuamalkan itu?

Maka, aku memutuskan untuk tetap menghadiri walimah Dewa meski sebentar. Aku akan serapi mungkin menjaga gerak tubuh agar tak sampai berjumpa dengan Rain. Sungguh, aku ingin sekali menemui gadis itu meski hanya untuk memandang wajahnya. Namun, kukira hatiku belum terlalu kuat untuk dapat menatap Rain dengan perasaan baik-baik saja. Maka, kumohon dengan sangat dalam doa, semoga Allah menghindarkan aku dari bertemu seorang Rain di walimah Dewa, esok pagi.

*****

“Aga, udah lama nunggu? Maaf ya. Eh, lama gak ketemu kok tambah gagah kau.” Aku menoleh mendapati seseorang menepuk bahuku. Sedetik kemudian, senyumku terkembang.

“Yudis! Baru datang kau? Aku udah satu jam nunggu di sini.” Dia Yudistira, kawan semasa kuliah yang juga satu organisasi denganku dan Dewa. Aku memang janjian dengan lelaki itu untuk menghadiri walimah adik tingkatku ini. Satu jam menunggu, akhirnya bapak satu anak itu hadir juga dengan istri dan anaknya.

“Maaflah. Kau tahu, nunggu perempuan pakai make up buat kondangan itu setara sama waktu ngecor jalan kampung buat para lelaki.” Yudis tertawa sembari meringis, pinggangnya dicubit kuat oleh perempuan di sampingnya. Aku yang melihat itu hanya ikut tertawa.

“Eh, kenalkan, ini istriku Yusti. Ini anakku Yanuar.” Aku hanya mengangguk sembari memperkenalkan diri sebagai kawan kuliah Yudis, kemudian mencubit pelan pipi Yanuar yang kini tengah digendong ayahnya itu.

“Kesampaian punya keluarga Y kau ya.” Aku terkekeh. Dulu, Yudis selalu mengulang-ulang ucapan bahwa ia ingin memiliki keluarga dengan inisial nama yang sama semua. Beberapa tahun setelahnya, hal itu benar-benar terjadi. Ah, ucapan memang doa, bukan? Itulah mengapa kita perlu sangat berhati-hati dengan lisan.

“Nah, iya dong. Makanya, kau kalo punya keinginan, sering-sering aja disebut kayak aku dulu. Kalo sering disebut kan Allah jadi bener-bener yakin kalo kita emang serius banget pengen itu.” Yudis memberi petuah yang kubenarkan. Iya, ketika menginginkan sesuatu, kita memang seharusnya mengulang-ulang doa. Bagaimana Allah akan mengabulkan jika kita sendiri saja tak yakin pada doa itu. Iya, bukan?

“Siap, Guru, akan saya praktikkan petuahmu.” Aku memperagakan posisi hormat, membuat Yudis dan istrinya tertawa.

“Eh, ayo masuk sekarang. Si Dewa udah akad dari tadi loh.” Aku mendadak tersadar jika sudah terlalu lama menunggu di masjid, sementara dari dalam aula pesantren, suara solawat pengiring pengantin telah berbunyi.

“Eh, iya. Ayo masuk.” Yudis mengangguk, kemudian mengikutiku masuk area dalam pesantren.

“Gila, gini ya kalo nikahannya anak Kyai, berasa hina aku pake celana. Kau kok kemarin gak bilangin aku suruh pake sarung aja sih, Ga.” Yudis menatap takjub pada pesta pernikahan Dewa yang menurutku sudah biasa ini. Tamu laki-laki yang datang memang rata-rata memakai sarung dan baju koko, meski ada beberapa yang juga memakai celana termasuk Yudis.

“Kukira kau udah paham kalo kondangan ke pesantren pake kostum apa.” Aku tertawa semestara Yudis merengut.

“Aku belum pernah kondangan ke pesantren, baru kali ini. Kukira ya sama aja.” Yudis masih terlihat canggung ketika kaki kami memasuki ruangan aula pesantren yang kini disulap bak kerajaan.

“Ya udah, malah jadi pengalaman, kan?” Aku lagi-lagi tertawa.

“Iya, buat pengalaman juga kalo besok kondangan ke nikahan kau di Malang.” Aku hanya tersenyum untuk menanggapi kalimat Yudis. Semua teman memang mengenaliku sebagai orang Malang, putra Buya Rasyid. Dan, aku sedang tak tertarik untuk menjelaskan banyak hal pada Yudis saat ini.

“Pa, sanaa.” Yanuar tiba-tiba menunjuk sesuatu sembari menarik-narik baju Yudis. Batita gembul itu meminta ayahnya untuk menghampiri sesuatu yang ia tunjuk.

“Wah, Ga. Yanuar minta ke sana. Kau temuilah Dewa dulu ya, nanti kususul.” Aku hanya mengangguk melihat Yudis dan istrinya yang tengah sibuk menenangkan Yanuar. Bocah dua tahun itu sudah tak sabar ingin sampai di tempat yang ia tunjuk.

Setelah Yudis dan istrinya pergi, aku segera membaur bersama tamu undangan yang lain. Ada beberapa pengasuh pesantren di Jawa Timur yang kukenali sebab aku sering diajak Buya mengunjungi pesantren-pesantren di Jawa Timur. Beliau-beliau yang juga mengenaliku menyapa sejenak, bertanya mengapa aku tak datang bersama Buya. Aku hanya menjawab seadanya, memberikan alasan paling masuk akal versiku, kemudian pamit menjauh. Aku tak ingin berlama-lama, sebab selain tak pantas mengobrol bersama para Kyai dengan keadaan berdiri seperti ini, aku juga tak ingin ada banyak pertanyaan yang membuatku semakin kesulitan menjawab.

Aku berjalan menuju depan, berniat menemui kedua mempelai. Seperti tekadku kemarin, aku tak ingin berlama-lama di walimah Dewa. Namun, sebelum sampai di depan, mendadak ponselku berbunyi. Nama Yudis tertera di sana. Aku segera mengangkat panggilan, kemudian berjalan menepi demi mencari tempat yang agak sepi.

“Assalamualaikum, kenapa, Dis?”

“Waalaikumsalam. Kau di mana, Ga? Kau naik motor kan ya ke sini? Aku boleh minjem motornya? Yanuar nangis minta keliling, mobilku gak bisa keluar, parkirannya penuh.” 

“Boleh, kau di mana? Biar kuantar kontak motorku.” Aku mengapit ponsel dengan pundak, kemudian merogok kantong baju dengan kedua tangan, mencari kontak motor.

“Aku di masjid depan tadi. Kau bawa ke sini ya.”

“Iya.” Aku membalikkan badan, ingin keluar aula untuk menemui Yudis. Namun, mendadak aku terpaku. Di depan sana, seseorang yang sungguh tak ingin kulihat saat ini tengah menatapku dengan tatapan sayu. Bibirnya berbisik lirih menyebut namaku. Aku yang tersadar segera mengucap istighfar dan berlalu keluar ruangan. Aku tak ingin lebih lama berada dalam satu atmosfer dengannya.

Dia Raina Putri Bening. Aku setengah mati mengenalnya. Aku pandai membaca ekspresinya. Dan, tatapan sayunya tadi mendadak membuatku merasa bersalah. Aku paham jika ia ingin menumpahkan banyak hal padaku, meminta solusi atas perasaan yang selalu ia anggap salah, seperti biasanya. Sayangnya, aku sedang tak bisa. Sungguh! Aku juga ingin menemuinya, memberikan petuah, mendengar sebutan ‘Abang Hebatnya Hujan’ dari bibirnya. Namun, sekali lagi kukatakan, aku tak bisa! Aku tak bisa terus berada di hidupnya sebagai abang, sementara perasaanku menolak anggapan itu. Aku ingin lebih dan itu dosa.

Buya telah menganggapku putra, beliau menyayangiku dengan tulus dan penuh cinta. Lantas, bagaimana mungkin aku membalas kebaikan beliau dengan memiliki rasa pada putrinya? Bukankah beliau pun telah mewanti-wanti agar aku tak terlalu dekat dengan Rain? Mengantisipasi jika sulungnya itu jatuh hati padaku? Sayangnya, justru malah aku yang terlebih dulu jatuh hati, sejak bertahun-tahun yang lalu.

Aku segera meninggalkan aula tempat walimah Dewa digelar. Selain karena harus menemui Yudis, aku juga harus terlebih dulu menata hati. Aku belum bersalaman dan mengucapkan doa pada Dewa, bukan? Tak menutup kemungkinan aku akan kembali bertemu Rain, mengingat gadis itu yang menjadi pengiring pengantin di acara ini. Aku harus lebih dulu menata hati, sebelum kembali menatap wajah sendu dari gadis yang namanya masih saja menghuni hati sampai detik ini.

Ah, lihatlah! Adik tingkatku saja sudah menggenapkan hidup, sementara aku yang lebih tua darinya justru masih kerepotan menata rasa. Duh, Raina Putri Bening, tak bisakah kita permudah saja segala hal yang berkaitan dengan rasa? Tak bisakah kita terlahir kembali sebagai dua orang biasa yang merangkai cinta dengan perspektif sederhana? Tak bisakah cukup namaku saja yang kau sebut sebagai masa depan dan menjadi referensimu dalam doa? Tak bisakah Buya membatalkan segala janjinya perihal menggenapkanmu dengan seseorang pilihannya? Sungguh tak bisakah, Hujannya Telaga?

*****
Tarik napas, kemudian hembuskan.
Hai, assalamualaikum. Apa kabar? Berapa abad ya Naya gak muncul? Maaf sekali, dunia offline dan segala tetek bengeknya emang lagi butuh perhatian lebih.
Ada yang rindu Naya? Atau sekadar rindu Rain dan Aga?

Setelah puluhan teror dari wattpad, DM, inbox, japri WA, kolom komentar, dan lain sebagainya. Akhirnya Naya punya kesempatan buat nulis satu part, bi qouli alhamdulillah.

Ah, gak mau banyak-banyak komentar.
Semoga kita semua diberi kesehatan. Semoga semesta lekas baikan.
Bumi sakit, kita harus sehat ❤️. Sehat-sehat ya, Kalian 😘.

Jangan lupa, tetap jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 💞.

Salam cinta,

Naya
Semoga part ini ngebuat kalian suka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top