Telaga Keruh

‘Kak Aga, Hujan boleh curhat?’

Sederhana sekali, hanya sebaris kalimat. Namun, hatiku benar-benar berdebar dibuatnya. Seharusnya untuk berbagi cerita dengan Kak Aga, aku tak perlu meminta izin. Toh, selama ini memang Kak Aga tempatku berkeluh kesah. Namun kali ini berbeda, aku ingin berbagi masalah hati dengan Kak Aga, bukan lagi masalah pendidikan, intrik kehidupan atau yang sejenisnya seperti biasa.

Aku tersenyum begitu melihat tanda centang biru, itu artinya Kak Aga telah membaca pesanku. Oh ya, kenapa aku harus berkirim pesan? Karena aku sudah kembali ke Surabaya seminggu yang lalu.

Aktivitas perkuliahan memang masih akan dimulai dua minggu lagi, tapi jadwal  libur pesantren jelas berbeda dengan jadwal libur universitas. Dan dalam seminggu kepulanganku ke Surabaya, aku merasa hatiku benar-benar tak baik-baik saja. Tersangkanya tentu saja masih sama, putra ketiga Abah Yai. Lelaki itu selalu tersenyum ketika berpapasan denganku, di mana pun. Senyuman yang selalu berhasil membuat lututku lemas. Apa kubilang? Hatiku sudah jatuh terlalu jauh padanya.

Ponselku bergetar, Kak Aga menelfon. Eh bukan telefon, ini video call. Khas seorang Kak Aga yang tak suka banyak mengetik.

“Assalamualaikum, Kakak kerennya Hujan.” Aku ceria menyapanya.

“Waalaikumsalam, Adek cantiknya Kak Aga.” Kak Aga melambai, balas menyapaku.

“Kak Aga apa kabar?” Aku berbasa-basi, tak lucu jika langsung menceritakan intrik masalah.

“Baik, alhamdulillah. Tapi mendadak gak baik pas liat jilbab kamu yang gak rapi. Benerin dulu itu.” Kak Aga menoleh ke kanan, menghindari layar ponsel.

Aku mengernyitkan dahi, sedikit tak paham dengan maksud Kak Aga. Setelah menunduk, baru lah aku tersadar jika jilbabku sedikit tersingkap. Aku beristighfar pelan dan segera membenahinya. Aku memang tergesa menyambar jilbab dan memakai seadanya ketika Kak Aga menelpon sampai tak menyadari jika kain itu memperlihatkan beberapa helai rambutku. Untunglah, Kak Aga mengingatkan.

Sedekat apapun kami pada anak lelaki Buya itu. Perlu diketahui, aku dan Bulan tetap  berjilbab di hadapan Kak Aga. Tentu saja, aku dan Bulan bukan siapa-siapa Kak Aga jika diurut dari segi nasab. Kami tetap bukan dua orang yang dihalalkan untuk saling melihat aurat. Dan rambut seorang wanita, bukankah itu juga aurat?

“Kak, udah. Maafin Hujan.” Aku kembali bersuara setelah memastikan jilbabku rapi.

“Lain kali sekalian gak usah pake jilbab aja, nanggung kalo gitu.” Kak Aga terkekeh, aku memajukan bibir tanda tak suka.

“Jadi, bagaimana? Mau cerita apa? Kenapa sok-sokan izin segala? Biasanya juga langsung nyerocos aja.” Kak Aga tertawa dengan serentetan kalimatnya.

“Sekarang Kak Aga itu yang nyerocos aja.” Aku mengendikkan bahu, membuat Kak Aga terkekeh.

“Jadi, cerita apa?” Kak Aga merubah mimiknya menjadi serius.

“Ehm... Kak Aga pernah suka sama orang?” Aku berucap lirih, sedikit tak percaya diri sebenarnya.

“Kenapa tanyanya gitu? Kamu lagi suka ama orang?” Aku lupa bahwa yang kuajak berbagi ini lulusan terbaik jurusan psikologi. Tentu saja lelaki ini mudah sekali menebak arah bicara seseorang.

“Kak...”

“Siapa lelaki beruntung itu, Hujan.” Kak Aga menyela sebelum aku sempat melanjutkan ucapan.

“Dewa?” Sungguh! Aku baru akan merangkak di semester dua pada jurusan psikologi. Dan, ekspresi wajah Kak Aga saat ini benar-benar tak mampu kuartikan.
Aku mengalihkan pandangan, takut tertangkap basah oleh Kak Aga jika wajahku sedang memerah. Aku malu.

“Rasa itu fitrah, Hujan. Bagaimana pandainya kita saja dalam mengaplikasikan.” Aku kembali menatap layar posel, mengamati Kak Aga. Dia bijak sekali, itulah yang menyebabkan aku tak pernah mampu membayangkan jika suatu saat kakak terhebatku itu tak lagi ada dalam peredaranku.

“Hujan salah, Kak?” Aku berkata pelan, terkesan hati-hati.

“Tidak ada yang salah. Bukan manusia yang meminta rasa, Allah yang memberi. Malah kita harus bersyukur karena masih diberi perasaan, berarti kita benar-benar manusia.” Kak Aga tersenyum.

“Tapi Gus Dewa putra Abah Yai.” Lirih lagi. Entahlah, suara kerasku pergi kemana.

“Apa masalahnya? Kamu putri Buya. Kalian seimbang, bukan?” Kak Aga terkekeh. Aku memang belum pandai membaca mimik seseorang. Namun, melihat ekspresi Kak Aga kali ini, kenapa seperti ada yang berbeda? Tawa lirih Kak Aga terdengar hambar.

“Tapi Hujan masih kuliah, baru semester dua pula.” Aku kembali berargumentasi.

“Lalu?” Kak Aga mengernyitkan dahi.

“Belum pantas suka-sukaan ama orang. Pacaran dosa, dihalalkan belum berani.” Aku menggaruk pelipis, tak tau harus berekspresi bagaimana.

“Itu tugas kamu. Aplikasikan rasa suka kamu dengan baik. Bertambah semangat dalam belajar dan mengaji misalnya, kan sudah ada penyemangat. Anggap biar cocok bersanding dengan Dewa suatu hari nanti.” Kak Aga yang sempurna, aku masih selalu terpesona dengan setiap kalimatnya.

“Tapi Gus Dewa gak suka aku.” Sampai titik ini, aku menghela nafas pelan. Sebenarnya, inilah pangkal masalahnya. Mana mungkin seorang putra Abah Yai mau melirik santri biasa macam aku? Dia tak tahu aku putri Buya Rasyid, bukan?

“Kabar bahagianya, Dewa punya rasa yang sama dengan kamu, Hujan. Kak Aga bisa membaca itu.” Aku terbelalak, kenapa hatiku menjadi sehangat ini? Kalimat Kak Aga membuat wajahku panas, pasti memerah lagi!

“Tapi, dari mana Kak Aga memastikan?” Aku menolak untuk terlihat tersipu. Aku tak boleh bahagia hanya dengan hipotesis Kak Aga saja.

“Masih ragu dengan lulusan terbaik jurusan psikologi?” Kak Aga mengerlingkan mata, membuatku tertawa.

“Hipotesis tak boleh dijadikan patokan, Kak.” Aku memamerkan rentetan gigi.

“Terserah kamu mau percaya Kakak apa enggak.” Kak Aga berucap santai.

“Hujan percaya Allah. Kalo percaya Kak Aga musyrik.” Aku terkekeh.

“Bener sih.” Kak Aga menjawab singkat.
Benar-benar ada yang berbeda. Bukan Kak Aga jika ia membalas kalimat-kalimatku dengan ucapan singkat macam itu.

“Kak Aga sehat?” Aku ingin abai, tapi aku tak akan pernah bisa. Kak Aga terlihat tak baik-baik saja.

“Sedikit pusing, Kakak matiin video callnya ya? Udah selesai kan ceritanya?” Kak Aga terlihat menggelengkan kepala, meregangkan otot lehernya.

“Eh, ya udah. Kak Aga istirahat aja.” Aku tersenyum.

“Assalamualaikum.” Kak Aga mengucap salam singkat kemudian mematikan sambungan.

Aku menatap layar ponsel. 01:00. Enam puluh detik saja. Ini durasi tercepatku berhubungan via telefon dengan Kak Aga. Biasanya, paling cepat kami berbagi kisah hingga lima menit. Aku seperti melihat Kak Aga yang lain.

Kak Aga tak pernah memutuskan sambungan dengan alasan yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Telefon kami selalu terputus karena aku yang harus mengaji, atau kuliah, atau akan melakukan kegiatan lainnya. Namun tadi, Kak Aga memutus sambungan hanya karena alasan ia sedikit pusing.

Kak Aga bukan malaikat, aku tau itu. Ia bisa sakit, sering malah. Sering mengalami pusing-pusing ringan jika kelelahan. Biasanya Bunda akan menyuruhku dan Bulan mengantar jahe hangat ke kamarnya untuk meredakan pusing itu. Namun, Kak Aga tak pernah mengabaikan aku dan Bulan dalam kondisi apa pun. Kak Aga banyak berbohong pada kami, seolah baik-baik saja jika sedang bersama kami, bagaimana pun keadaan yang sesungguhnya. Aku paham itu, Kak Aga selalu mengesampingkan banyak hal demi kami, aku dan Bulan.

Lalu tadi? Kak Aga mematikan sambungan hanya karena alasan sedikit pusing? Belum lagi salam penutupnya yang berbeda. Bukankah seharusnya Kak Aga mengatakan,

“Assalamualaikum, Hujannya Kak Aga. Baik-baik disana, jaga kesehatan, semangat kuliah dan mengaji. Kakak tutup, ya?”
Kalimat pamungkas tadi benar-benar tak mencerminkan pribadi Kak Aga sama sekali.

Ya Allah, Kak Aganya Hujan kenapa?

*****
~Jangan lupa, jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top