Telaga Bening

“Bening, pas hari pertama kuliah, kamu berangkat bareng Gus Dewa ya? Ya Allah, Bening. Kok bisa sih?” Aku terbelalak, reflek melompat dari ranjangku menuju ranjang Ima dan segera membungkam mulutnya dengan tangan.

“Kamu tau dari mana?” Aku berbisik lirih. Sungguh, kejadian itu sudah tiga minggu berlalu. Lagipula, saat itu telah kupastikan tak ada satu pun santri yang melihat.

“Gosip udah nyebar kali, Ning. Makanya ini aku tanya, kok bisa sih?” Ima menarik tanganku yang membungkam mulutnya.

“Gosip apaan sih? Gak ajak-ajak ih.” Laila yang baru saja memasuki kamar ikut menaiki ranjang Ima. Fina dan Mita yang berada di belakangnya mengikuti tingkah gadis itu.

“Gak ada gosip, dosa.” Aku mendengkus sebal, berjalan kembali menuju ranjangku.

“Biasanya gimana? Ayolah, Bening. Daripada kita nebak-nebak ujungnya suuzon, kan mendingan tau kebenarannya langsung.” Ima mulai merayu. Laila, Mita dan Fina mengernyitkan dahi, aku tau mereka tak paham apa yang sedang Ima bicarakan. Oh ya, kami  tinggal berlima di dalam kamar Zainab 3. Seharusnya berenam, tapi satu ranjang di atasku masih kosong, belum ada santri baru lagi yang masuk.

“Ini bahas apaan sih?” Fina menatap Ima bingung.

“Bentar deh, kayaknya aku tau. Gosip Bening yang berangkat kuliah dianterin Gus Dewa, bukan?” Laila menatapku. Aku reflek melotot.

“Bukan dianterin ya, cuma ditebengin.” Aku memutar bola mata, jengah dengan gosip ini.

“Sama aja sih, apa bedanya coba?” Mita mengendikkan bahu, Laila, fina dan Ima mengangguk setuju.

“Ditebengin, berarti aku ketemu Gus Dewa terus kebetulan satu tujuan abis itu sekalian diajak bareng. Kalo dianterin, berarti Gus Dewa niat berangkat dari rumah cuma buat anterin aku ke kampus.” Aku membela diri. Jelas saja dua hal tersebut berbeda pengertian. Mereka berempat mengangguk, terlihat paham.

“Kok bisa sih, Ning?” Lagi-lagi pertanyaan yang sama dari Ima. Ah ya, Ning disini berarti Bening. Bukan Ning Rain seperti panggilan ketika aku berada di Malang.

“Aku hampir telat, nungguin angkutan gak dateng-dateng. Kebetulan Gus Dewa lewat, katanya dia mau ke kampus kita. Nawarin, aku tolak eh malah dipaksa. Ya udah, aku ngikut, lagian keburu telat juga. Pas itu kan kuliah perdana kita.” Aku menjelaskan, menghentikan kesalahan pahaman mereka.

“Dia? Beliau, Bening. Gus Dewa putra Abah Yai.” Laila mengingatkan sembari memukul lenganku. Aku meringis pelan kemudian terkekeh.

“Ah ya, maksudnya beliau.” Aku segera membenahi sebutan untuk Gus Dewa. Sedikit terkekeh dalam hati, aku selalu menggunakan kata ganti dia jika sedang membicarakan Gus Dewa pada Kak Aga, bukan beliau.

Maafkan Rain, Gus.

“Kapan ya kita bisa ngalamin kebetulan semacam itu? Mbak-mbak yang udah lama jadi santri pada nyinyir kalo liat kamu, Ning. Kamu gak nyadar?” Laila menatapku, Fina, Mita dan Ima bergantian. Aku mengedikkan bahu cuek.

“Gak sih, ngapain juga dipikirin. Kata Kak Aga, setiap orang membacamu dengan pemahaman dan pengalaman yang berbeda. Maka, jangan risaukan omongan orang.” Aku mengutip kalimat Kak Aga. Berbohong jika kukatakan aku tak menyadari kenyinyiran para mbak-mbak pesantren.  Aku sadar aku jadi sorotan, tapi aku tak paham dengan alasan nyinyir mereka. Jadi, kuputuskan untuk mengabaikan saja, mengikuti nasehat Kak Aga.

“Kak Aga keren banget sih, cocok jadi motivator.” Mita memuji Kak Aga. Aku mengangguk, menyetujui jika Kak Aga keren. Dan satu lagi, Kak Aga memang motivator, motivator pribadiku.

“Lulusan terbaik Jurusan Psikologi UIN Malang, cocok sih kalo keren.” Aku bergumam lirih. Keempat temanku terbelalak.

“Beneran lulusan terbaik? Jurusan Psikologi? Wah, hebat.” Fina semangat mengguncang bahuku. Aku mengangguk yakin.

“Kamu ambil jurusan Psikologi, ikut-ikutan Kak Aga?” Aku kembali mengangguk untuk menjawab pertanyaan Laila.

Sebelumnya, aku tak minat menjadi mahasiswa. Maka, ketika Bunda memaksa agar aku berkuliah, aku mendadak pusing menentukan jurusan. Seperti biasa, Kak Aga menjadi tempat penampungan kebimbanganku. Ia tak memaksaku untuk mengikuti jejaknya dalam bidang psikologi, tapi cerita-cerita Kak Aga membuatku tergiur. Jadilah aku mengambil jurusan yang sama dengan Kak Aga, berharap menjadi sehebat Kak Aga untuk beberapa tahun yang akan datang.

“Kak Aga sebenernya siapa kamu sih, Ning? Katanya bukan Kakak kandung, tapi kok deket banget?” Mita mencolek pipiku, menghentikan lamunanku tentang Kak Aga.

“Sepupu?” Kali ini Ima yang bertanya.

“Bukan.” Aku menjawab singkat.

“Terus?” keempat kawanku itu bahkan serempak mengeluarkan pertanyaan yang sama.

“Pokoknya kakak aku. Udah sih, kenapa jadi kepoin Kak Aga?” Aku mengambil buku pengantar psikologi, pura-pura sibuk membaca untuk mengalihkan pertanyaan mereka berempat tentang Kak Aga.

Bukan apa-apa, aku hanya takut tak bisa menjawab. Aku memang memahami sifat Kak Aga dengan baik seperti Kak Aga yang memahami sifatku. Tapi untuk kehidupannya, aku benar-benar buta. Aku tak tau sedikitpun tentang Kak Aga, asal usulnya, bahkan nama panjangnya sekalipun. Katakanlah aku payah, tapi Buya dan Bunda juga tak pernah mengungkit kehidupan pribadi Kak Aga. Jika kedua orang yang menghidupi Kak Aga saja bersikap demikian, lalu apa aku berhak untuk mengetahui kehidupan pribadi Kak Aga?

“Jadi, kalian gak ada hubungan darah sama sekali?” Lagi-lagi aku menggeleng dengan pertanyaan Mita.

“Boleh dong nikah.” Suara Laila membuat aku tersedak mendadak.

Oh ayolah, tentu saja aku boleh menikah dengan Kak Aga. Kami tak ada ikatan darah apapun, tapi aku tak pernah berfikir sejauh itu.

“Kak Aga kakak aku, mana ada nikah.” Aku memandang Laila dengan tatapan kesal.

“Kan bisa aja, Bening. Emang kamu gak pernah punya feeling-feeling gimana gitu ke Kak Aga?” Kali ini Ima ikut menyetujui pemikiran konyol Laila.

Feeling apaan?” Aku mengernyitkan dahi.

“Getar-getar gak jelas gitu kalo lagi deket Kak Aga, atau perasaan menghangat tiba-tiba. Itu tanda-tanda jatuh cinta loh, Ning.” Aku terbahak seketika dengan ucapan Ima.

“Kalo aku deg-degan tiap deket Kak Aga, mungkin jantung aku udah berhenti dari dulu. Plis deh, aku deket ama Kak Aga dari SD.” Aku mengibaskan tangan. Pembahasan ini benar-benar tak penting.

“Kan bisa aja, Ning. Kalian gak ada ikatan darah loh.” Ima masih keukeuh dengan ucapannya.

“Penting ya bahas ginian? Udah sih.” Aku memutar bola mata jengah.

“Kalo perasaan takut kehilangan, ada gak?” Pertanyaan Fina membuatku mematung seketika.

Perasaan takut kehilangan, tentu saja ada. Kak Aga telah menyertai hariku sejak aku masih berlarian di pesantren Buya tanpa jilbab. Jika harus kehilangan Kak Aga, tentu saja aku takut. Siapa yang akan kujadikan teman berbagi? Tak ada lagi tempat menampung segala gundahku, tak ada yang mengurus segala kebutuhan akademikku, tak ada yang mengantarku bepergian kemana pun. Dan yang terpenting, tak ada lagi seseorang yang bisa memahamiku dengan baik.

Kak Aga tak boleh pergi. Ia harus tetap ada dalam lingkaran rotasi kehidupanku, sampai kapan pun, dalam keadaan apapun. Kak Aga segalanya bagiku, tapi sebagai Abang, bukan yang lain. Jadi rasa takut kehilangan itu ada, tapi murni rasa dari seorang adik yang takut kehilangan kakaknya. Sama seperti aku yang takut kehilangan Buya, Bunda dan Bulan.

“Bening, perasaan itu ada?” Fina kembali bersuara, membuat aku tergagap.

“Ada, perasaan takut kehilangan dari seorang adik untuk kakaknya.” Aku menjawab cepat.

“Semoga benar-benar seperti itu sampai kapan pun.” Fina tersenyum singkat. Aku mengangguk.

Ya, semoga benar-benar seperti itu sampai kapan pun. Kak Aga Abangku, Abangnya Hujan. Dan sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Semoga saja.

*****
~Jangan lupa, jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top