Setenang Telaga

Aku tersenyum sumringah mendengar lantunan azan subuh, tergesa menyambar sajadah yang tersampir di atas kursi rias.

Aku benar-benar rindu suasana ini, berjamaah subuh bersama para santri yang akan diimami oleh Buya, mendengar lantunan pujian usai azan yang khas, dan terakhir, yang paling kurindukan adalah mendengar adzan merdu yang keluar dari bibir Kak Aga. Iya, Kak Aga pemegang kendali subuh di pesantren Buya. Membangunkan para santri, menghidupkan lampu masjid, lalu mengumandangkan a zan subuh.

“Sudah bangun, Rain? Mau ikut jamaah di masjid?” Bunda menyambutku dengan senyumnya yang cantik begitu aku keluar kamar.

“Iya dong, Bunda. Udah lama gak ikut jamaah subuh sama Buya.” Bunda mengangguk, lalu menggamit tanganku, berjalan beriringan menuju masjid.

“Bulan? Kok gak ikut jamaah?” Aku mengernyitkan dahi begitu menyadari Bunda hanya menggandeng tanganku, tak ada Bulan di sisi satunya.

“Dia dapat haid pertamanya semalam, sudah dewasa dia sekarang.” Bunda tersenyum lebar. Aku ikut bahagia, bungsunya Bunda sudah besar.

Bunda memang ibu rumah tangga, tapi beliau benar-benar sibuk. Pengontrol utama madrasah Buya, pemegang kendali koperasi pesantren, masih memiliki tanggungan mengajar beberapa kitab di pesantren pula. Bunda terlampau sibuk. Namun, dengan seluruh kesibukan itu, Bunda tak pernah lalai pada kodratnya sebagai seorang ibu. Beliau merawat aku dan Bulan dengan baik, tak pernah absen menanyakan kabarku, rajin menyiapkan keperluan sekolah Bulan, selalu hafal dengan kebiasaan-kebiasaan kecil kami. Aku dan Bulan benar-benar putri Bunda, bukan putri mbak-mbak santri yang mengabdi pada Bunda. Bunda selalu enggan menyerahkan urusan keperluanku, Bulan dan Buya pada orang lain. Beliau benar-benar panutan terbaikku.

Kami berdua melangkah menuju masjid, menduduki shof pertama. Buya terlihat duduk dengan tenang di tempat pengimaman sembari memutar tasbih, menunggu para santri berkumpul. Aku tersenyum melihat keluarga ini, Buya dan Bunda yang tak pernah lepas dari zikir, Bulan si remaja baru yang tak pernah lalai dalam beribadah, dan Kak Aga yang terlalu sempurna di mataku. Aku mensyukuri semuanya, mensyukuri banyak hal yang ada. Malang dan seluruh cinta yang ada di dalamnya.

*****

“Ciye yang sekarang udah besar. Ciye ciye.” Aku mencolek lengan Bulan yang tengkurap, ia sedang kesakitan menerima haid pertamanya.

“Ning Rain gak usah jail, diem sih. Perut Bulan sakit banget ini.” Bulan menyentak tanganku, menoleh sebentar untuk memamerkan wajah sebal. Aku terbahak menatapnya.

“Aduh, yang jadi galak. Lagi nikmatin haid pertama, Buk?” Aku kembali menggoda, senang rasanya menjaili remaja ini.

“Gak ada nikmat-nikmatnya sama sekali, Ning. Sakit. Bulan sedih, gak suka ih.” Bulan cemberut, matanya berkaca-kaca. Aku tersenyum tulus, mengusap rambut hitamnya. Aku paham rasanya, perut yang benar-benar tak bersahabat ketika datang bulan periode pertama.

Beberapa wanita memang ada yang tak mengalami rasa sakit ketika datang bulan. Namun pada umumnya, wanita yang sedang mengalami masa luruhnya sel telur yang tak dibuahi itu memang merasakan kesakitan. Dan aku serta Bunda selalu mengalami rasa sakit itu, kini malah ditambah Bulan. Jadilah kami menuruni gen Bunda dalam hal kesakitan ketika sedang datang bulan.

“Ini Ning Rain bawain air hangat dalam botol. Gelindingin di perut kamu pelan-pelan kayak gini, insya Allah sakitnya bakal lumayan berkurang.” Aku menyuruh Bulan berbalik dari tengkurapnya, kemudian mengggelindingkan air hangat di dalam botol ke perut gadis yang sedang manyun itu.

“Enakan, Ning. Ning Rain kalo lagi haid kayak gini juga?” Bulan mengambil alih botol dari tanganku, kemudian melakukan hal sama seperti yang kulakukan tadi.

“Iya, dan selalu pake air hangat gini buat ngurangin rasa sakitnya.” Aku tersenyum, Bulan terlihat mengangguk.

“Bulannya Bunda udah besar. Udah gak boleh sembarangan lagi bergaul ama lawan jenis, termasuk Kak Aga. Sekarang udah besar, harus pandai-pandai jaga diri.” Aku mengusap kepala Bulan pelan.

“Masak ama Kak Aga juga gak boleh deket-deketan lagi, Ning?” Gadis remaja itu terlihat cemberut, membuatku terkekeh.

“Ya boleh, cuma dibatasi. Gak boleh sedeket dulu, mukul-mukul Kak Aga, cium tangan Kak Aga, meluk-meluk Kak Aga. Kan bukan mahrom lagi sekarang.” Aku memberinya penjelasan.

“Tapi Bulan kan masih kecil, kenapa gak boleh sih? Haid bikin ribet ih, Bulan gak suka.” Dia masih cemberut.

“Eh, gak boleh bilang gitu. Haid itu kodrat dari Allah. Bulan kan jadi bisa libur sholat dulu.” Aku menghiburnya, membuat dia terkekeh.

“Yaudah, Ning keluar dulu. Itu tadi Ning bawain teh hangat juga. Eh, ada buku risalah haid juga sih, nanti dibaca. Bulan wajib paham segala sesuatu tentang haid, kan udah besar sekarang.” Aku mengacak rambut Bulan sebelum beranjak. Remaja itu terlihat mengacungkan kedua jempolnya, ia hobi membaca apapun sepertiku, membaca buku tentang haid bukan masalah besar untuknya.

Aku berjalan keluar kamar Bulan, melangkahkan kaki keluar rumah, ingin mengunjungi perpustakaan pesantren. Siapa tau ada novel baru di sana.

“Hujan, mau kemana?” Aku telonjak kaget, Kak Aga ada di belakangku.

“Kak Aga bikin aku kaget.” Aku mendengkus sebal, Kak Aga justru terkekeh.

“Iya, maaf. Mau kemana?” Kak Aga mengulang pertanyaannya.

“Ke perpustakaan, siapa tau gitu ada novel baru.”

“Wah, padahal Kakak pengen ajak kamu jalan-jalan. Tapi kalo mau ke perpustakaan yaudah, gak jadi.” Kak Aga mengendikkan bahu, sengaja memancingku untuk tak berteriak heboh menerima ajakannya.

“Ih, aku pilih jalan-jalan aja sih, Kak. Ayo, jalan-jalan kemana?” Aku jelas lebih memilih pergi bersama Kak Aga. Dalam pilihan apapun, segala sesuatu yang ada Kak Aganya selalu menjadi pilihan pertamaku.

“Rahasia, nanti pasti tau.” Kak Aga tersenyum kecil melihat keantusiasanku.

“Eh, tapi kan Bulan lagi sakit. Kalo cuma berdua mana boleh ama Bunda? Aku juga gak mau kalo cuma berdua.” Aku memajukan bibir, manyun.

“Sesakit apa sih si Bulan? Bilang aja mau diajak jalan-jalan Kak Aga, pasti sakitnya hilang.” Kak Aga tertawa percaya diri.
Aku ikut tertawa. Benar, aku dan Bulan sama. Kami sama-sama menjadikan Kak Aga pilihan pertama dalam setiap momen. Kak Aga kakak terhebat kami, kakak terkeren. Wajar jika kami berdua sama-sama memprioritaskannya. Dan rasanya menjadi adil, karena Kak Aga juga memprioritaskan kami dalam segala hal.

“Yaudah, aku ajak Bulan dulu. Dia pasti mau.” Kak Aga tersenyum dan mengangguk. Aku segera berbalik arah, semangat berlari menuju kamar Bulan kembali.

Baiklah, mari kita lihat. Kak Aga akan membawaku dan Bulan kemana. Ke mana pun, kami berdua selalu menyukai berpergian bersama Kak Aga. Kenapa? Karena sejauh ini, Kak Aga belum pernah mengecewakan kami sama sekali.

*****
~Jangan lupa! Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top