Hujan Luruh
Aku merentangkan kedua lengan, kemudian menggerakkan tubuh ke arah kiri dan kanan, meregangkan otot-otot punggung yang entah mengapa sering terasa pegal. Usai meregangkan otot, aku meletakkan kitab di atas rak dan merebahkan tubuh di atas kasur. Tiga hari ini, badanku terasa kurang nyaman. Barangkali, aku kelelahan karena membantu banyak hal di ndalem selama acara pernikahan Gus Dewa. Ah, aku memang butuh sedikit istirahat.
Rasanya baru beberapa menit saja mengatupkan mata ketika pundakku digerak-gerakkan oleh seseorang.
“Bening, bangun. Kamu dapet panggilan ke ndalem.” Setengah sadar aku membuka mata, ternyata Sabrina yang membangunkanku.
“Ada apa, Sab?” Aku mengucek mata, kemudian bangkit dari posisi rebahku. Namun, baru setengah duduk, aku merasa kepalaku pusing sekali. Aku seketika memegang tangan Sabrina untuk menguatkan tubuh.
“Eh, kamu kenapa, Ning?” Sabrina reflek menangkap tubuhku yang hampir oleng. Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia justru memberiku pertanyaan balik.
“Sedikit pusing, efek tidur cuma bentar kayaknya, gakpapa kok.” Aku tersenyum simpul untuk menenangkan wajah khawatir Sabrina.
“Jadi, ada apa?” Aku kembali bertanya maksud Sabrina membangunkanku. Suara Sabrina ketika menggerakkan lenganku tadi tak dapat kutangkap dengan baik.
“Tadi aku ketemu Cak Ghofur, kata dia kamu dipanggil ke ndalem sama Ummi. Tapi, badan kamu anget gini. Biar aku bilangin ke Cak Ghofur aja kalo kamu lagi gak enak badan ya.” Sabrina menjawab pertanyaanku dengan ekspresi yang masih terlihat khawatir.
“Eh, jangan. Kan, Cak Ghofur dapet utusan dari ndalem. Aku gakpapa kok, serius! Ini cuma efek tidur sebentar, jadi agak pusing.” Aku menggeleng. Sungkan rasanya menolak panggilan ndalem meski sejujurnya kepalaku benar-benar pusing. Bagaimana pun keadaannya, aku tak boleh menolak undangan dari Ummi, bukan? Itu termasuk salah satu adab murid kepada gurunya. Lagipula, banyak orang yang ingin dipanggil oleh ndalem, merasakan suasana teduh dengan duduk di sekeliling Ummi dan Abah. Lantas, ketika banyak orang ingin berada di posisiku, mengapa aku justru menolak kesempatan ini?
“Seriusan loh, Ning. Kamu keliatan pucat gitu.” Sabrina masih menatapku dengan khawatir.
“Sabrina, aku gakpapa. Udah ah, aku mau cuci muka dulu terus langsung ke ndalem. Oh ya, ntar kalo Khanza udah di kamar bilangin, jilbab abu-abuku yang mau dia pinjem ada di loker baris dua, tinggal ambil aja.” Sabrina mengacungkan kedua jempolnya sembari mengangguk usai menerima pesanku. Di pesantren, saling meminjam barang memang hal yang lumrah. Aku juga sesekali melakukannya. Meminjam laptop ketika harus mengerjakan tugas sementara laptopku eror, meminjam jilbab warna senada dengan gamis yang aku pakai, atau meminjam barang lainnya.
Aku bangkit dari ranjang, kemudian menyambar jilbab yang kusampirkan di pintu loker. Aku harus segera ke ndalem sebab panggilan dari Cak Ghofur sepertinya sudah terlewat sejak beberapa menit yang lalu.
*****
“Assalamualaikum, Ning. Maaf agak lama, tadi ketiduran. Ummi wonten nopo nggeh nimbali kulo?” (Ummi ada apa ya manggil saya?) Aku masuk ke ndalem dan segera mencium tangan Ning Ana, kebetulan beliau yang ada di ruang tamu.
“Waalaikumsalam. Aku juga kurang tau, Ning, ayo masuk aja. Ummi udah nunggu.” Ning Ana menjawab salamku sembari tersenyum, kemudian menuntunku masuk ke dalam meski sebenarnya aku paham Ummi sedang berada di mana. Terlalu sering dipanggil ke ndalem membuat aku hafal dengan desain ruangan serta tempat favorit Ummi.
“Eh, Nduk, udah dateng? Sini duduk di samping Ummi.” Wajah Ummi terlihat semringah ketika melihat kehadiranku. Jujur, sebenarnya aku sedikit sungkan dengan keramahan Ummi. Beliau terlihat begitu menyayangiku padahal statusku hanya santri. Ah, Ummi memang sosok ibu yang menenangkan. Mendadak, aku rindu Bunda.
“Ngapunten radi dangu nggeh, Mi.” (Maaf agak lama ya, Mi) Aku mencium tangan Ummi, kemudian duduk di tempat yang beliau tunjukkan.
“Gakpapa, santai saja. Ummi juga gak mengharuskan kamu buru-buru. Ini loh, Ummi cuma mau ngajak makan bareng.” Sementara Ummi tersenyum ramah, aku justru melongo. Jadi, sekadar diajak makan bersama? Untuk apa Ummi mengajakku? Aku bukan anggota keluarga atau tamu agung ndalem.
“Eh, Ning Rain udah dateng.” Aku menoleh dan mendapati Ning Bida berjalan ke arahku dan Ummi sembari tersenyum. Begitu perempuan cantik itu berada di dekatku, seketika kuraih tangannya dan kami bersalaman.
“Eh, Ning Rain sakit? Kok tangannya anget? Eh, wajahnya juga pucet.” Usai bersalaman, Ning Bida mendadak menatapku dengan raut khawatir. Perempuan di hadapanku ini tak hanya cantik dan cerdas, namun juga sangat perhatian. Sungguh paket yang komplit dan sempurna. Aku semakin kerdil saja jika dibandingkan dengan putri Kyai Hamdan ini. Ah, mengapa pula aku membanding-bandingkan diriku sendiri?
“Mboten, Ning. Kulo sehat.” (Tidak, saya) Aku tersenyum. Kepalaku memang pusing, namun aku masih bisa mentoleransinya.
“Loh iya, Ummi kok ya baru sadar kalo wajah kamu pucet. Kamu sakit to, Nduk?” Kali ini Ummi ikut menatapku dengan raut khawatir. Sungguh! Tak nyaman rasanya mendapat perhatian sedetail ini dari Ummi dan Ning Bida.
“Mboten, Ummi. Kulo sehat.” Aku lagi-lagi tersenyum untuk menenangkan kedua manusia hebat yang kini tengah menatapku dengan raut khawatir.
“Ya udah, ayo ke ruang makan. Kita makan terus kamu istirahat. Kamu kecapekan paling, Nduk.” Aku merasa semakin sungkan sebab perhatian Ummi kurasa begitu berlebihan. Entah hanya kepadaku atau beliau memang sebaik itu pada seluruh santri, yang jelas saat ini aku begitu merasa diistimewakan.
“Enggeh, Mi.” (Iya) Aku seketika berdiri ketika Ummi mulai berdiri, kemudian menuntun beliau. Ummi sudah sedikit sepuh dan kesulitan untuk berjalan tanpa dituntun. Wajar, putra-putri beliau telah menikah semua. Beliau juga sudah memiliki beberapa cucu.
“Nduk Bida, panggil suamimu. Ayo kita makan bareng-bareng.” Ummi menoleh ke arah Ning Bida dan disahuti anggukan serta jawaban ‘enggeh’ dari perempuan cantik itu. Entah mengapa hatiku mendadak terusik.
Suami? Ah iya, Gus Dewa telah menjadi suami Ning Bida, sejak beberapa hari yang lalu. Aku siapa? Bukan siapa-siapa! Mengapa pula aku harus berada di tempat ini? Aku di sini sebagai siapa? Mana ada seorang santri yang ikut makan bersama keluarga kyainya?
“Nduk, kenapa kok ngelamun?” Suara Ummi membuatku tersentak. Ah, apa pula yang sedang kulakukan? Bisa-bisanya aku menuntun Ummi dengan keadaan melamun dan memikirkan yang tidak-tidak.
“Astaghfirullah, ngapunten, Ummi.” (Maaf) Aku tersenyum canggung, sementara seorang berwajah teduh yang kini kutuntun itu terkekeh.
“Kamu itu udah keliatan pucet, sekarang malah ngelamun. Kamu lagi ada masalah?” Ummi menatapku sembari mengernyitkan dahi.
“Mboten, Ummi.” Aku menggeleng pelan.
“Ya sudah, ayo duduk. Mbak Fathimah, tolong ambilkan Ummi nasi sama lauk ya, sedikit saja. Kamu ngambil nasi sama lauk sendiri sana, Nduk. Jangan malu-malu, anggap rumah sendiri.” Aku memegang lengan Ummi dan membantu beliau untuk duduk, kemudian berjalan dengan lutut untuk menyusul Mbak Fathimah di dapur ndalem.
Ruang makan di ndalem memang diatur lesehan, tanpa kursi dan meja makan. Di rumahku juga begitu. Kukira, rata-rata rumah kyai memang tak ada yang menggunakan kursi di ruang makan. Hal itu mengisyaratkan sikap tawadhu’ serta menjelaskan bahwa dalam strata manusia, tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, semua sama rata. Selain itu, makan dengan duduk di lantai juga merupakan adab makan yang diajarkan oleh Rasulullah, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam haditsnya,
Maa akala rasulullahi sallallahu alaihi wa sallam alaa khiwanin wa laa fii sukkurjatin. Rasulullah tidak makan di atas meja dan tidak pula di atas sukkurjah.
“Kok cuma dikit, Ning?” Aku menoleh dan mendapati Mbak Fathimah yang menatap porsi makanku sembari mengernyitkan dahi. Mbak Fathimah ini khodimah ndalem bagian dapur. Ia beruntung karena diberi kepercayaan oleh Abah dan Ummi untuk mengolah berbagai masakan yang kemudian masuk ke tubuh seluruh anggota keluarga.
“Gakpapa, Mbak. Udah kenyang aku.” Aku tersenyum simpul. Mbak Fathimah hanya mengangguk kemudian berjalan mendahuluiku sembari membawakan piring Ummi.
“Mas Dewa ajeng dahar kaliyan nopo? Kersane kulo pendetke.” (Mas Dewa mau makan sama apa? Biar aku ambilkan).
“Terserah kamu aja, Dek. Asal ngambilmu dengan sepenuh hati dan cinta, apa pun tak makan.”
“Kamu itu gombalin istrinya mbok ya tau waktu to, Wa. Kalo kamu bilang kayak gitu pas mau diambilin makan ya Bida bingung mau ngambilin kamu apa.”
“Ummi jangan iri gitu ah.”
Aku baru akan keluar dari dapur dan menuju ruang makan ketika mendengar obrolan serta tawa Ummi, Ning Bida dan Gus Dewa. Langkahku mendadak terhenti. Entah mengapa obrolan hangat mereka justru membekukan hatiku. Omong kosong apa yang Gus Dewa ucapkan padaku beberapa minggu lalu?
‘Aku sengaja pergi, tapi nyatanya tak merubah apa pun. Jika dengan kalimatmu saja aku masing ingat, apalagi denganmu? Aku benar-benar payah dalam hal melupakan.’
Aku tersenyum miris. Hatiku payah sekali karena begitu mudahnya percaya pada ucapan lelaki itu. Lihatlah, di dalam sana ia tengah menatap Ning Bida dengan tatapan penuh cinta. Jadi, tangisku selama pesta pernikahan mereka beberapa hari lalu itu untuk apa? Mengapa mendadak aku merasa dibodohi oleh perasaan?
‘Astaghfirullah, astaghfirullah, astahfirullah.’
Aku terus menggumam istighfar di dalam hati. Entah setan mana yang tengah menguasai diriku. Wajar Gus Dewa bersikap romantis pada Ning Bida, Ning cantik itu istrinya. Aku lah yang seharusnya bersadar diri sebab bukan siapa-siapa.
‘Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah.’
Aku masih terus menggumamkan istighfar. Kali ini bukan untuk mengistighfari prasangkaku saja, namun juga mengistighfari kepalaku yang mendadak terasa berputar-putar. Aku segera memegang pintu dapur sebab kurasa pandanganku mengabur. Aku ingin meletakkan piring yang kubawa, kemudian memijat pelan kepala. Sayangnya, sebelum keinginan sederhanaku itu terwujud, pandanganku mendadak gelap, ruang dengarku menangkap suara barang pecah dan beberapa pekikan,
“Ning Rain,”
“Nduk,”
“Bening,”
Dan aku tak paham apa yang terjadi.
*****
Selamat pagi, shobahul khoir, good morning 💞.
Selamat menikmati hari penuh rahmat yang ke 14 🤗.
Eh, mau tanya dong.
Kalo Dewa Hujan di atas Telaga dijadikan buku biar kalian bebas peluk-peluk Aga, siapa aja yang mau ngelist PO dari sekarang? Hehe.
Boleh baca wattpad, tapi tetep baca Qur'an ya.
Jangan lupa,
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar ❣️.
Salam cinta,
Naya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top