Dewa Melebur Bersama Hujan
“Bening, ikut aku ke perpustakaan pesantren yuk.” Aku menoleh sejenak menatap Fina, kemudian kembali fokus pada layar laptop di hadapanku.
“Aku lagi ngerjain makalah, Fin. Ajak yang lain aja sana. Ima, Mita, atau kalo gak Laila tuh.”
“Ima ama Mita lagi keluar, Ning. Laila? Plis deh, gak usah pura-pura amnesia. Mana asik ngajakin anak itu ke perpustakaan pesantren? Adanya dia heboh gegara liatin santri putra yang jaga meja peminjaman buku. Bikin tugas aku gak kelar-kelar.” Fina mengguncang bahuku, membuatku menghela nafas berat.
“Ini aku lagi ngetik makalah, Fina Cantik. Udah nyaman ama posisinya, males pindah posisi.” Aku mengerucutkan bibir. Aku memang tak suka merubah posisi jika sedang mengerjakan sesuatu. Bagiku, ketika aku merubah posisi saat melakukan sebuah pekerjaan, itu akan membuyarkan konsentrasi.
“Bening, ayolah. Buku tentang Akhlak Tasawwuf yang jadi referensi makalah aku cuma ada di perpustakaan pesantren. Besok presentasi, makalah belom kelar, kurang satu referensi. Kamu gak kasian ke aku?” Fina memanyunkan bibir, tatapannya memelas. Aku paling tak tega dengan tatapan seperti itu.
“Oke aku temenin, tapi janji satu hal. Kalo aku belum selesai ngetik, gak boleh ajakin balik ke kamar. Aku gak bisa ganti posisi lagi sampek makalah ini bener-bener kelar, Fin. Atau kalo gak, kamu sekalian ngetik makalah di perpustakaan aja.” Aku mengajukan persyaratan. Sungguh, rasanya tak nyaman jika harus berganti posisi berulang kali dalam sekali kerja.
Fina mengangguk antusias. Aku segera merapikan laptop dan beberapa buku, memasukkannya ke dalam tas laptop. Gadis kelahiran Lamongan itu semangat menarik lenganku, membuatku sedikit terhuyung. Aku meliriknya sebal, meski kemudian tetap melanjutkan langkah untuk mengikutinya.
*****
“Fin, aku duduk di meja biasanya. Kalo kamu udah nemu bukunya, langsung nyusul aja.” Aku mendahului langkah Fina begitu memasuki perpustakaan. Fina terlihat mengangguk, kemudian mulai fokus dengan komputer mesin pencarian buku.
Aku melangkah menuju tempat favoritku, meja bundar yang terletak di sebelah jendela. Aku suka tempat itu, jendelanya yang menghadap langsung dengan kebun buah hasil kerja bakti santri setiap Ahad menimbulkan suasana syahdu. Aku mulai mengeluarkan laptop dan beberapa buku referensi, mulai fokus mengetik makalah.
Beberapa menit sudah, dan belum ada tanda-tanda Fina akan menyusulku di meja ini. Mungkin, buku yang akan ia jadikan referensi untuk makalah Akhlak Tasawwuf itu benar-benar susah ditemukan. Aku meregangkan otot sejenak, pegal rasanya duduk di hadapan laptop selama bermenit-menit tanpa merubah posisi.
“Hai, assalamualaikum, Bening. Suka ke perpustakaan pesantren juga ternyata.” Aku menoleh, dan seketika terbelalak mendapati seseorang yang baru saja menyapaku.
“Eh, waalaikumsalam, Gus Dewa.” Aku mengangguk canggung. Sungguh, sudah berulang kali aku berada di sekelilingnya. Namun, canggung yang kurasakan bahkan tak pernah berkurang sedikit pun kadarnya.
“Lagi nyari referensi, apa cuma pengen baca-baca aja?” Gus Dewa benar-benar tak menyadari kecanggunganku. Ia justru menarik kursi dan duduk di meja yang sama, menghadap ke arahku.
“Nemenin temen nyari referensi, Gus.” Aku menggeser laptop, sengaja membuat sekat antara aku dan putra Abah Yai itu.
Perpustakaan pesantren berada di tengah-tengah asrama santri putra dan putri. Perpustakaan ini diperuntukkan bagi seluruh santri, tak memandang laki-laki atau perempuan. Kami para santri dibiarkan untuk berbaur, semacam perpustakaan umum lainnya. Maka wajar jika aku bisa bertemu dengan Gus Dewa di tempat ini. Oh tapi ayolah, ini Gus Dewa. Lihatlah, beberapa mata santriwati terlihat mencuri pandang ke arahku dan putra Abah Yai yang sedang duduk dengan santainya di hadapanku ini.
“Oh, lagi ngetik tugas ya? Tugas apa?” Aku menunduk, menghindari kontak mata dengan Gus Dewa.
“Filsafat Ilmu, Gus. Makalah.”
“Kamu gak suka aku di sini ya? Keliatan aneh gitu ekspresinya.” Aku kembali mendongak, bukan untuk menatap Gus Dewa, tapi untuk mengedarkan pandangan. Dan ya, masih banyak mata yang melirik ke arahku.
“Gak enak diliat santri lain, Gus.” Aku menjawab singkat.
“Aku juga manusia, Bening. Santri juga seperti yang lainnya. Kenapa harus merasa tak enak? Lagipula, perpustakaan ini memang dirancang untuk umum, bukan?” Gus Dewa terkekeh pelan. Kekehannya yang halus tepat mengenai jantungku, membuatnya berdetak tak beraturan. Detak apa ini?
“Eh, tapi Gus Dewa putra....”
“Putra Abah Yai? Putra Abah Yai juga manusia, Bening. Sama seperti yang lainnya.” Gus Dewa memotong ucapanku dan kembali terkekeh. Aku menunduk semakin dalam. Sungguh, aku tak nyaman dengan jantung yang terus berdetak secepat ini. Sebenarnya apa yang sedang kurasakan?
“Jadi? Kita bisa berteman, bukan?” Gus Dewa kembali bersuara. Aku mengangguk pelan. Eh, tunggu dulu, kenapa bisa aku mengangguk? Berteman dengan Gus Dewa? Aku tak sedang mengigau bukan?
“Teman boleh mengobrol bersama tanpa rasa canggung kan? Berjanjilah untuk tidak canggung denganku, Bening. Mari berteman seperti umumnya, aku bukan orang hebat yang harus kau hormati semacam itu.” Lagi-lagi lelaki putra Abah Yai itu terkekeh. Entah sejak kapan, namun mendengar ia memanggil namaku, mendengar suara kekehannya yang halus, membuat jantungku benar-benar tak terkontrol.
“Bening, aku udah dapet bukunya. Kamu udah selesai ngetiknya? Eh, Gus Dewa.” Fina datang tepat waktu. Aku menghembuskan nafas lega.
“Belum, tapi kita pulang sekarang aja. Ada buku referensi yang ketinggalan di kamar.” Aku bangkit, mengemasi barang dengan cepat. Fina terlihat menunduk, mungkin sungkan melihat Gus Dewa di dekatnya.
“Saya duluan, Gus. Assalamualaikum.” Aku segera menyeret lengan Fina begitu usai membereskan laptop dan beberapa buku.
“Waalaikumsalam, semangat mengerjakan makalahnya, Bening.” Aku hanya mengangguk sekilas dan segera berlalu. Ia kembali menyebut namaku, dan lihatlah! Jantungku masih terus saja berdetak tak karuan. Sebenarnya ada apa ini?
*****
‘Assalamualaikum, Bening.’
Aku mengernyitkan kening membaca sebuah pesan yang baru saja masuk di aplikasi hijauku. Nomor siapa ini? Bening? Berarti orang ini adalah teman kuliah atau teman pesantren, hanya mereka yang memanggilku Bening, bukan?
‘Waalaikumsalam, maaf ini siapa?’ aku membalas singkat.
“Bening, kamu sering banget ya keliatan ngobrol ama Gus Dewa. Ada urusan apa?” Aku menoleh, menatap Laila dengan tatapan mengintimidasi. Darimana gadis itu tau jika aku mengobrol dengan Gus Dewa? Bukankah hanya Fina satu-satunya anggota kamar yang sedang bersamaku saat aku dan Gus Dewa mengobrol di perpustakaan beberapa hari lalu?
“Mbak-mbak pesantren banyak yang ngomongin kamu. Emang kapan sih ngobrolnya ama Gus Dewa? Kok aku gak pernah ngeliat ya?” Laila memamerkan rentetan gigi putihnya, membuatku jengah.
“Suka ngikut gosip ya? Seneng sahabatnya sendiri digosipin?” Aku memanyunkan bibir. Laila terkekeh.
“Bukan apa-apa sih, Ning. Cuma gak enak aja ama omongan orang, kan? Gus Dewa kan putra Abah Yai.” Mita berjalan mendekatiku, kemudian duduk di sebelahku.
“Gus Dewa yang ngajakin aku ngobrol. Masak iya, sana ngajak aku ngomong terus aku tinggal pergi. Lebih gak sopan kan jadinya?” Aku menjawab seadanya, toh memang seperti itu kejadiannya.
“Tapi kenapa ya, Ning? Kata mbak-mbak yang udah lama nyantri nih, Gus Dewa itu lempeng banget loh kalo ama santri putri. Kok sekarang jadi gampang ngakrabin gitu ama kamu?” Mita terlihat bingung. Aku mengendikkan bahu, mana paham dengan sejarah kelempengan Gus Dewa? Aku tak pernah peduli pada hal-hal semacam itu.
“Bening kan cantik, Mit. Wajar lah.” Ima yang sedang membaca novel mendongak, menatapku jenaka. Kubalas tatapannya dengan wajah galak.
“Risa cantik, Gia juga, Mbak Fariha apa lagi, top cantiknya. Banyak santri cantik di sini, Ima. Kenapa yang disapa cuma Bening hayo?” Mita menatap Ima dengan ekspresi berfikir. Aku jengah mendengar obrolan mereka, memilih bangkit dari duduk lesehan di lantai dan berjalan menuju ranjang.
“Apa jangan-jangan, Gus Dewa jatuh hati ama Bening?” Aku mendadak terpaku mendengar ucapan Laila, urung melangkah menuju ranjang. Dan jantungku, Ya Allah, ada apa dengan detaknya? Kenapa kembali tak beraturan?
“Ya gak mungkinlah, kita tinggal di sini baru mau genap satu semester, La. Mana ada jatuh hati yang secepet itu. Tanpa tau latar belakang seseorang yang dijatuhi hati, tanpa pertemuan yang sering, tanpa intensitas obrolan yang berkualitas. Proses jatuh hati tak ada yang sesederhana itu.” Mita menjawab pertanyaan konyol Laila. Konyol? Jika pertanyaan itu konyol, lalu mengapa jantungku berdetak tak karuan? Tak masuk akal bukan?
“Bisa aja sih, Mit. Orang yang baru sekali tatap aja udah bisa langsung jatuh cinta kok.” Laila masih bersikeras.
“Itu cuma ada di film, La. Please deh, gak usah drama.” Mita mendengus sebal.
Aku tak lagi peduli dengan obrolan mereka, kali ini aku jauh lebih peduli pada keadaan jantungku. Gus Dewa, lelaki itu membuatku memiliki suasana hati yang tak pernah kurasakan pada siapa pun. Jantung yang berdebar tak beraturan, tangan yang mendingin seketika, dan keadaan hati yang tak baik-baik saja. Sebenarnya perasaan apa ini?
Pertama kali menatap lelaki itu beberapa bulan lalu, aku memang sudah terpesona. Bukan karena tampan atau keilmuannya, tapi karena sesuatu yang bahkan aku tak tau apa sebabnya. Aku belum mengenalnya saat itu, mana mungkin paham dengan keilmuannya. Tampan? Iya, tapi Kak Aga terlihat jauh lebih tampan di mataku. Ah, mengapa perasaanku se-ambigu ini?
Drtt.. drrtt....
Aku melirik ponselku yang bergetar, balasan pesan dari nomor asing tadi.
‘Aku teman baru kamu, Dewa Faishal Abdillah.’
Lelaki ini, lelaki yang baru saja menjadi topik obrolan di kamarku. Tanganku membeku seketika. Jantungku? Jangan tanyakan, ia sudah berdetak tak normal sejak beberapa menit yang lalu. Kenapa lelaki ini ada di mana-mana? Bahkan di dunia maya sekali pun.
*****
~Jangan lupa! Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top