Devotion 24 : Sound of Heart

Malam itu, Airlangga tengah duduk di kursi kebesaran miliknya, sembari mengurus beberapa berkas yang ditinggalkan oleh para statehumans padanya, dia melihat langit malam yang terlihat begitu jernih, dengan bintang bintang kecilnya.

Uh, bukan... rupanya setelah diteliti lagi, bintang kecil yang bertebaran di langit Indonesia sekarang ini adalah lampu yang berasal dari mobil terbang yang melintas bebas di atas langit, bersama dengan gemerlapnya cahaya dari gedung pencakar langit yang seolah tidak ada matinya.

Berbanding terbalik dengan jernihnya langit malam di Indonesia pada malam ini, perasaan pria itu justru kacau balau, dia sedang resah.

Susah memang menjadi seorang presiden yang harus mengatur milyaran manusia yang bermukim baik secara legal ataupun ilegal di negara ini, memang sialan yang jadi pemicu perang dunia beserta yang terlibat, padahal dia tidak ikut, tapi dia ikut terkena getahnya.

Habis koruptor terbitlah pengungsi ilegal, Airlangga stress, mau digenosida seperti yang dilakukan mereka pada bangsanya waktu perang dulu rasanya kejam betul, tapi mau dia kemanakan lagi 750 juta orang yang tidak memiliki data penduduk di negara ini?!

Ah iya, Indonesia mempunyai sisi gelapnya sebagai negara maju, ada sekitar 750 juta jiwa yang tidak punya data penduduk, dan kebanyakan dari mereka berasal dari Asia Timur, Eropa Utara hingga Afrika, untuk sekarang mereka ditampung dan diberi pekerjaan alakadarnya agar bisa melanjutkan kehidupan.

Populasi di Indonesia meledak drastis berkat kehadiran mereka, 1 milyar penduduk ditambah 750 juta jiwa itu sangat banyak, kan? namun itu bukan suatu pertanda yang baik...

Itu baru sebagian yang bisa ditangani dengan baik, bagaimana dengan sebagian lagi yang kini berubah menjadi kriminal dan meresahkan masyarakat? ini membingungkan.

"Tuan Airlangga, dari tadi anda hanya melamun, ada apa gerangan?"

Tanya TNI yang peka dengan jeritan hati atasannya itu, dia tahu dibalik wajah bahagia yang ditampilkan oleh pria muda itu ada beban hidup banyak orang yang harus dihadapi dan ditanggung olehnya sendirian.

"Yah, begitulah..."

Airlangga merebahkan punggungnya yang terasa pegal ke kursi kerjanya, capek sekali rasanya berkutat dengan kertas seharga milyaran rupiah ini.

Bisakah dia resign sekarang?

"Yo! Airlangga!!"

Tanpa izin masuk, Ardinata muncul dari balik pintu, pemuda bersurai biru neon dengan jaket berwarna senada itu membawa secangkir kopi yang dibuat untuk dirinya.

"Tumben kau datang kemari, biasanya sibuk buka situs bokep..."

Ucap Airlangga yang merasa heran karena kedatangan mendadak pemuda ini, lagi pula mengantarkan kopi dan minuman ringan untuknya itu adalah tugasnya Abimanyu!

"Dih, kau pikir kerjaanku cuma nonton yaoi terus? enggak lah! aku kerja juga tau! ini aku bantuin si Abi, katanya dia sakit pinggang, jadinya aku bawain kopi buat kamu!"

Ucap Ardinata yang tidak terima pekerjaan nya diremehkan, meskipun tampangnya meragukan kek gini, dia ini seorang penyelam handal loh!

"Abimanyu sakit pinggang?"

Ardinata mengangguk, dia kemudian meletakkan secangkir kopi yang dia buat dengan cinta dan kasih sayang itu di atas meja milik Airlangga.

"Mungkin tadinya itu tuan mainnya terlalu kasar, makanya sekarang Abimanyu jadi sakit..."

Jawab TNI, yang entah kenapa malah terdengar super duper ambigu di telinga sang fudanshi yang satu ini, main? main apa? terlalu kasar? sampai sakit? apa jangan jangan...

Plak!

Seolah paham betul apa yang sedang dipikirkan oleh Ardinata, pria itu langsung memukul wajahnya dengan sebuah amplop berisi uang.

"Jangan ngawur otakmu, tidur sana! anak kecil ga tidur kemaleman"

Ardinata langsung meraba pipinya yang ditampar pakai uang, ga sakit amat sih, tapi kok ngeselin, ya?

"Dih, ngawur apaan sih?! orang aku gak mikirin apa apa kok!"

"Hilih bentukanmu... aku paham betul apa isi otakmu, kamu pasti mikirin yang macam macam, kan?"

"Enggak kok!"

"Udah, diem kalian!"

Aurora muncul dari balik pintu, sembari membawa beberapa berkas yang sudah dibungkus sebuah map, dia menyerahkan map plastik itu tepat di hadapan Airlangga.

"Ini, ada laporan dari beberapa statehumans tentang data lengkap pengungsi ilegal di wilayah mereka."

"Wah, mereka banyak juga, ya?"

Gumam Ardinata sembari dengan tidak tahu malunya mengobrak abrik data yang sudah disusun rapi itu, emang bangsat ya ni anak :)

Aurora memutar bola matanya.

"Sejak insiden Moskow di tahun 2031, pengungsi di Indonesia sudah banyak, kau darimana saja baru tau?"

"Hush! jangan bahas itu lagi!!"

Airlangga langsung melotot ketika perempuan asal Finlandia itu menyinggung tragedi pembantaian besar besaran warga negara Indonesia yang telah dilakukan pemerintah Russia pada tahun itu.

"Maaf, aku tidak sengaja..."

"Kalau master mendengarnya, bisa bisa traumanya kambuh dia akan mengurung diri lagi! kau harus hati hati dengan ucapanmu!!"

"Iya iya aku paham..."

- Tuhan itu maha pengampun, tetapi orang yang menjadikannya alasan untuk terus mengulangi dosa adalah orang yang tidak akan diampuni -

Indonesia benci peperangan.

Dia benar benar membenci perang, namun perang selalu saja terjadi, tetapi kali ini, dia tidak sedang memikirkan peperangan, pikiran pemuda itu sedang berkelana pada pertemuannya dengan Poland tadi.

Pertemuan singkat yang membuat pikirannya merasa sangat kacau.

"Kau membenci rakyatmu sendiri... bukankah begitu? Indonesia?"

"Yah, tapi aku tidak begitu kaget, kita adalah personifikasi negara, sudah menjadi tugas kita untuk melindungi, menyayangi dan membimbing rakyat kita, sekalipun tingkah laku mereka sangatlah memuakkan..."

"Benar begitu?"

"Kau boleh saja menyangkalku, tapi tidak dengan fakta jika sampai sekarang kau masih tidak ingin menyerahkan kepemimpinan negaramu pada manusia asli, saking bencinya kau pada mereka..."

"Kau menciptakan manusia buatan dengan sisa kehidupanmu, menumbalkan dirimu sendiri untuk menjadi sosok yang lemah dan berlindung dibalik tubuh mereka..."

"Kau takut jika nanti para manusia akan menguasai dirimu lagi?"

Sial, kepala Indonesia rasanya seperti berputar, dunianya seakan terjatuh dari porosnya, yang dikatakan oleh Poland adalah sebuah kebenaran pahit untuk dirinya sendiri.

Indonesia masih sangat takut.

Kebenciannya pada rakyatnya masih ada hingga sekarang, namun seiring berjalannya waktu, dia mencoba menghapus rasa benci itu dari dalam dirinya, namun tetap saja, luka dalam yang tertoreh di pikirannya sudah terlanjur merusak dirinya.

Indonesia menumbalkan sebagian dari hidupnya, untuk menjadikan negaranya sendiri seperti sekarang, siang dan malam dia merasakan takut, takut jika suatu saat dia gagal.

Dia tidak ingin lagi menyerahkan negara ini pada para manusia, sudah cukup baginya disakiti dan dikhianati oleh mereka, Indonesia tak sanggup.

Kau lupa tugasmu sebagai seorang personifikasi negara, Indonesia?

Indonesia tidak ingin melawan takdir, mau bagaimanapun juga, dia adalah personifikasi negara, sudah tugasnya untuk menjadi pembimbing dan dia harus menerima rakyatnya apapun yang terjadi dan seburuk apapun tindakan yang mereka perbuat.

Tapi, apakah dia dapat memberikan ijin untuk anak anaknya ketika dia bahkan tidak punya sedikitpun perasaan yang pasti bagi mereka?

To Be Continued

Tengah memikirkan ending yang bagus, terimakasih sudah membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top