#5


Nanta kaget saat melihat Ejak di pintu dengan wajah masih menyisakan air di wajah dan rambutnya bekas berwudu.

"Ini Jak, maaf, tadi berbunyi dan bapak ambil," Ananta memberikan ponsel Ejak, dan berlalu dengan cepat.
Enjak menerima ponselnya dan melanjutkan berbicara dengan bundanya.

Iya bunda maaf Ejak baru selesai sholat

Oh iya iya sayang sudah dulu ya maaf bunda ganggu

Nggak papa bun, tadi pak Nanta yang nerima telepon dari bunda

Haaah apaaa, iya dah sayang, bunda tutup ya

****

Devi menghela napas berat, bagaimana mungkin Nanta menerima telepon darinya, bagaimana mungkin ia bisa leluasa memegang hal-hal yang bersifat pribadi dari anaknya.

Jika dipikir lagi memang perpisahan mereka bukan kehendak mereka, tapi jika berhubungan dengan Nanta, ia kawatir anak-anaknya akan celaka, ia ingat bagaimana perlakuan ibu mertua dan adik iparnya pada dirinya, bagaimana mulut pedas mereka menyakiti jiwa dan raganya, Devi tidak ingin anak-anaknya mengalami itu semua, cukup dirinya saja yang merasakan derita batin.

****

Deviana, bagaimana caraku menjelaskan pada anak-anak kita bahwa kita sebenarnya tak pernah bercerai, kita terpisah karena keadaan, aku ingin bersama kalian tapi bagaimana caranya, bagaimana aku memulai.

Ananta menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, memejamkan matanya dan membuka mata saat pintu di ruangannya ada yang mengetuk. Terlihat wajah Sena menyembul dibalik pintu dengan baju kokinya.

"Bapak memanggil saya?" tanyanya.
"Yah, duduklah," sahut Nanta.

Sena duduk dan menatap wajah Nanta yang terlihat lelah.

"Gini, hampir satu minggu kamu di sini, bapak perhatikan kerjamu bagus, jika berminat nanti setelah kamu lulus, kamu bisa bekerja di sini, adikmu pun jika mau, setelah lulus suru menghadap bapak," ujar Nanta dan mulai mengembang senyumnya saat melihat wajah bahagia di depannya.

"Bener Pak, boleh saya kerja di sini kalau nanti saya lulus?" tanya Sena terlihat senang dan Nanta mengangguk sambil tersenyum.

"Aduh makasih banyak ya Pak, nanti setelah pulang saya mau kasi tahu si Ejak, sekali lagi makasih ya Pak," Sena meraih tangan Nanta dan mencium punggung tangannya, mata Nanta mendadak memerah menahan tangis bahagia akhirnya anaknya mencium takzim punggung tangannya.

Sena kaget melihat mata laki-laki gagah di depannya penuh air mata.

"Maaf, bapak menangis?"tanya Sena kawatir.
"Bapak teringat anak bapak Sena, seandainya ada, dia sudah seusiamu," suara Nanta terdengar tercekat.

"Memangnya anak bapak meninggal?" tanya Sena lagi. Nanta menggeleng.
"Dia ada di tempat tak terjangkau, jauh, bersama istri bapak?" jawab Nanta mengerjabkan matanya.

"Ya datangi saja Pak, bapak kan orang tuanya mereka pasti juga kangen," ujar Sena tiba-tiba sedih mengingat dirinya yang tak pernah tahu wajah ayahnya.

"Bapak takut, takut menghadapi kenyataan, takut mereka menolak bapak," sahut Sena pelan.

"Saya antar pak, saya bisa membantu bapak jika mereka tidak percaya," ujar Sena yang membuat Nanta semakin merasa sakit dadanya.

"Bapak tidak tahu di mana mereka tinggal," sahut Nanta lagi.

"Waduh ya repot pak kalau gitu," sahut Sena terlihat melorot bahunya.

"Tapi yang kapan hari bapak sudah dapat alamatnya cuman jauh Sena, bapak nggak gitu tahu daerah sana," ujar Nanta hati-hati.

"Naaaah itu dia pak, saya bantu cari, kan bapak sudah bantu saya nyediakan lapangan pekerjaan, saya akan membalas mempertemukan bapak sama anak dan istri bapak, itung-itung nanam kebaikan pak, siapa tahu Allah kasihan ke saya sama Ejak trus kami dipertemukan juga dengan ayah kami, kasihan bunda yang terus sendiri sejak dulu, nggak mau tiap ada laki-laki yang deketin, padahal bagi kami nggak masalah jika beliau menikah lagi," ujar Sena dan Nanta setengah berteriak berkata.

"Jangan Sena, jangan boleh bunda kamu nikah lagi."

Sena kaget dan menatap wajah Nanta yang tak kalah kaget.

"Memang kenapa Pak?" tanya Sena.

"Ah nggak, anu, apa, kasihan ayah kamu jika sewaktu-waktu kembali dan menemukan bunda kamu sudah menikah lagi," sahut Nanta kemudian dan merasa lega saat Sena hanya mengangguk, lalu pamit ke luar ruangan Nanta.

Nanta menghela napas lega setelah Sena ke luar ruangannya, menatap kembali foto pernikahannya yang berpigura cantik di meja kerjanya, menatap senyum bahagia dirinya dan istrinya.

Lalu perlahan ia menarik album foto dari laci mejanya, menatap satu persatu moment membahagiakan, mulai dari akad nikah hingga resepsi pernikahan sangat sederhana yang dilangsungkan di rumahnya.

Nanta menyentuh wajah istrinya dalam foto dengan jari telunjuknya teringat wajah istrinya yang selalu memerah tiap kali ia cium.

Dua puluh tahun jauh dari istrinya ia sering membayangkan wajah serta harum tubuh Devi yang seolah tak bisa lepas dari hidungnya, meski sempat mencoba beberapa kali menjalin hubungan serius, namun yang terjadi ia selalu mendesahkan nama Devi, dan hubungannya akan menjadi dingin setelahnya, Nanta menggeleng perlahan, perpisahan yang tak mereka inginkan, mungkin itu penyebabnya.

Rasa cintanya yang sangat besar pada Devi membuat Nanta selalu gagal membina hubungan serius dengan wanita manapun.

****

Dua minggu berlalu, Ananta melihat perkembangan yang pesat pada Sena, ia meminta senior chef di hotelnya untuk membimbing Sena secara langsung, sementara Ejak yang lebih pendiam memang lebih mahir dalam urusan manajemen.

Ananta akan membayar dua puluh tahun berlalu pada anak-anaknya, meski misalnya suatu saat nanti ada kesempatan bertemu dan mereka tahu ia ayahnya lalu akhirnya mereka membencinya, setidaknya ia sudah mencoba berbagai cara agar mereka hidup lebih nyaman.

****

"Bapak memanggil saya?" tanya Ejak setelah mengetuk pintu ruangan Nanta.

"Yah, masuklah Jak," sahut Nanta memakai jasnya kembali setelah sempat ia buka karena sholat.

"Sudah selesai pekerjaanmu?" tanya Nanta.

"Tinggal sedikit Pak, bantuin mbak Esti," sahut Ejak.

"Eeemm misalnya ada kesempatan setelah selesai selesai S 1 mu lalu ada yang menawarkan ke S 2 mau nggak kamu Jak?" tanya Nanta.

"Mau banget Pak, tapi saya kasihan bunda, karena saya kan pengennya S 2 tidak di Denpasar tapi ya namanya laki-laki pengen cari pengalaman Pak,pengen di Jawa atau ya ke luar negeri lah, ke Singapura atau ke Aussie, bunda ngijinin, janji malah akan di sekolahkan sesuai keinginan saya, cuman ya itu bunda jadi kesepian ntar, cuman ditinggal ke Jogja aja bunda sakit, apa lagi ditinggal lama dan jauh," ujar Ejak pelan.

"Emang sekarang bunda kamu bener-bener sendiri?" tanya Nanta.

"Ada Livia, adik angkat kami, bukan adik angkat sih, bunda ngambil dari panti asuhan, tapi sudah kayak adik bagi saya dan Sena, kalau dulu ada nenek Sisil yang menampung bunda saat pertama di Ubud, tapi nenek sudah meninggal," ujar Ejak menjelaskan pada Nanta.

"Nenek Sisil, siapa dia?" tanya Nanta lagi.

"Wanita keturunan Italia yang kata bunda kayak dewa penolong bunda, wanita yang menolong bunda saat pertama sampai di Ubud, menampung, menganggap bunda seperti anaknya, mendampingi bunda saat lahir dan bagi saya, Sena dan Livia, nenek Sisil sudah seperti nenek sendiri," jawab Ejak sambil terlihat kaget karena tiba-tiba mata orang didepannya menjadi berkaca-kaca dan Nanta menghela napas berat menatap Ejak yang menatapnya dengan wajah sedih.

"Bapak nggak papa?" tanya Ejak pelan.
"Nggak papa Jak, bapak hanya ikut sedih mendengar ceritamu," jawab Nanta mengusap matanya perlahan dengan sapu tangan.

"Sena bilang jika bapak menawarkan pekerjaan di sini saat kamu lulus nanti?" tanya Nanta.

"Iya abang sudah bilang, tapi saya kayaknya nggak akan kerja dulu pak, saya lebih memilih melanjutkan kuliah ke S 2 dan bunda setuju sejak awal," jawan Ejak, Nanta menghembuskan napas dengan berat.

"Misalnya bapak yang nyekolahkan kamu ke S 2 mau?" tanya Nanta lagi.

"Nggak pak terima kasih, bunda sudah ada dana untuk itu, bunda kan punya usaha dua toko roti, meski tidak besar tapi progresnya sangat bagus, mungkin kami akan membuka cabang ketiga, trus eeeemm bunda novelis loh pak, cuman pake nama pena senja, lumayan juga penghasilan bunda sebagai penulis karena karya bunda selalu best seller, bunda sering juga jadi narasumber kalau ada pelatihan menulis, cuman selalu nggak mau jika ada penawaran ke Jogja entah kenapa," ujar Ejak panjang lebar dengan suara pelan dan sekali-sekali menunduk.

Yah dia menghindari keluargaku nak, atau bahkan mungkin menghindariku, terlalu menyakitkan kenangannya di kota ini.

"Pak kalau nggak ada yang mau dibicarakan lagi saya mau melajutkan pekerjaan kasihan mbak Esti, saya kadung janji,".ujar Ejak pamit.

"Yah, silakan, kapan-kapan bapak paggil lagi," ujar Nanta, melihat Ejak mengangguk hormat dan ke luar dari ruangannya.

****

"Tumben belum pulang Sena, kan sudah ada Chef Adi yang menggantikanmu?" tanya Nanta saat melewati loby.

"Ah iya, ini baru telponan sama bunda Pak, nanya Ejak ditelpon gak bisa, Ejaknya lagi ke jalan-jalan sama teman-teman, mumpung malam minggu katanya Pak," ujar Sena memasukkan ponsel ke dalam tas ranselnya.

"Ikut bapak yok Sena, bapak pengen ngopi, kita cari cafe yang enak suasananya," ajak Nanta.

"Di sini saja Pak, kopinya enak," Sena balik mengajak Nanta.

"Aaah bapak pengen cari suasana lain, ayolah," ajak Nanta.

****

Berdua mereka menyusuri Jogja di malam hari dan berhenti di sebuah cafe yang banyak terlihat anak muda.

"Temanku merekomendasikan tempat ini, katanya sih enak," ujar Nanta.

"Tapi bagiku yang lebih penting lagi bukan sekedar rasa, tapi suasananya juga," ujar Nanta lagi sambil menuju sebuah gazebo di pinggir kolam kecil yang terletak di sudut, mereka berjalan beriringan setelah memesan kopi dan makanan ringan.

"Mengapa bapak tidak menikah lagi, bapak masih terlihat tampan dan gagah, dari pada sendiri terus kayak gini Pak?" tanya Sena sambil tersenyum.

"Bapak tidak pernah berhasil membina hubungan dengan baik, wajah istri bapak selalu terbayang, bapak bukan orang suci, bapak pernah beberapa kali berhubungan dan berusaha serius namun tiap kali kami eeemmm yaaa begitulah Sena, tanpa sadar nama istri bapak yang bapak sebut, dan wanita yang behubungan dengan bapak tersinggung dan marah, ada juga yang tak peduli tetap saja mau berhubungan dengan bapak tapi bapak yang merasa tak nyaman saja," ujar Nanta menghela napas berat.

"Wah, istimewa sekali istri bapak, kayak apa sih pak wajahnya, bapak punya fotonya?" tanya Sena dan Nanta tersentak.

"Tidak ada di dompet bapak, bapak letakkan di rumah, foto pengantin kami," sahut Nanta.

"Bapak kayak bunda saya, beliau ingat terus sama ayah, yang sekalipun ayah nggak pernah menghidupi kami tapi bunda tidak pernah ngejelekin ayah, waktu kecil kami sering tanya ayah karena kami malu sering diejek, bunda nggak jawab, lama-lama kami berenti nanya eh setelah kami dewasa buda malah sering nyeritain ayah sama kami, yang lucu si Ejak, dia kan pendiem nggak banyak omong, waktu sd kls 6 dia bawa akte kelahiran kami kemana-mana, hanya pengen ngebuktikan kalo kami lahir dari pernikahan sah dan bukan anak haram," seketika Nanta tersedak saat ia menyesap kopinya, Sena sempat bingung dan melesat membeli air mineral.

"Bapak nggak papa?" tanya Sena kawatir setelah kembali dan membawa sebotol air mineral.

****

14 Juni '19 (13.10)

Mohon maaf readers part selanjutnya sudah saya hapus, jika masih ingin mengikuti part selanjutnya silakan klik link dreame ini:

https://m.dreame.com/novel/ohAcSjfZIjw4y6BEUXgQAw==.html

Di sana juga akan ada ekstra part dari cerita ini 😘

Nat yang melahirkan dan Ejak yang kebingungan 😅😅

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top