#3
Setelah telpon dari Sena dan Ejak tadi malam, hampir semalaman Devi tak bisa tidur, pagi ini ia terlihat lelah dan tak henti menghembuskan napas berat, dan berdoa semoga mereka tidak pernah berkomunikasi.
Tiba-tiba matanya berkaca-kaca, teringat wajah bahagia Nanta saat tahu jika Devi hamil, mengingat kembali bagaimana suaminya menciumi perutnya. Tangisnya tiba-tiba pecah, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya, air mata Devi bercucuran dan tersadar saat Livia menyentuh tangannya.
"Bundaaa, bunda sakit?" tanya Livia pelan. Devi membuka tangannya dan mengambil tisu di samping kasurnya.
"Tidak nak, bunda hanya kangen Sena dan Ejak," sahut Devi terpaksa berbohong karena tidak mungkin ia menceritakan masa lalunya pada anak seumuran Sena dan Ejak.
"Saya buatkan teh hangat ya bunda?" tanya Livia da Devi mengangguk.
Livia adalah anak yang ia ambil dari panti asuhan tak jauh dari tempat tinggal Devi. Devi melihat diantara anak-anak yang ada di sana hanya Livia yang selalu terlihat murung dan tak mau bergaul, ternyata ia kehilangan mama, papa dan adik-adiknya pada sebuah kecelakaan tunggal.
Livia tinggal dengan Devi sejak smp, dia adalah anak yang tahu betul bagaimana harus bersikap setelah ada di rumah Devi, bahkan dengan mama Sisilpun, Livia memanggilnya nenek Sisil, sangat akrab, tak jarang mereka terlihat tidur berdua.
"Ini bunda tehnya, segera diminum mumpung hangat," Livia mendekatkan teh hangat ke bibir Devi, setelah selesai diletakkannya sisa teh di meja dekat tempat tidur Devi.
"Bunda, Livia ke kampus dulu ya, nanti saya akan ke toko roti bentar trus balik lagi ke sini," ujar Livia pamit.
"Bukannya sudah libur nak?" tanya Devi dengan suara sengau, bekas tangisnya masih tersisa.
"Kampus Livia baru sekarang UAS bunda, kalau mas Sena sama mas Ejak sudah duluan," ujar Livia bangkit dan mencium punggung tangan Devi lalu melangkah ke luar.
****
"Bunda gimana kabarnya, kata Livia bunda sakit ya?" terlihat Sena menelpon Devi saat istirahat siang, masih dengan baju kokinya ia berada di basement, terlihat mengangguk-angguk dan tanpa sengaja menabrak seseorang.
"Maaf pak," ujar Sena membungkuk.
"Ah nggak papa, kamu kan mahasiswa yang berpraktik ya, yang kembar kan, kamu kakaknya atau adiknya?" tanya pemilik suara berat namun terdengar lembut ditelinga Sena.
"Iya pak, saya kakaknya," ujar Sena tetap dalam posisi menunduk.
"Menelpon pacarmu?"
Sena mendongak dan tersenyum
"Ah tidak pak, saya dan adik saya berpikir untuk membahagiakan bunda dulu, beliau bunda yang hebat, membesarkan kami berdua sendiri, sudah saatnya kami membalas jerih payah bunda, maaf pak permisi, saya akan ke pantry dulu," ujar Sena pamit pada Nanta.
Nanta menatap punggung remaja jangkung yang menjauh meninggalkannya. Sejak awal perkenalan dengan mahasiswa yang berpraktik, wajah kembar keduanya menarik perhatian Nanta, mata kedua anak itu mengingatkan Ananta pada seseorang tapi ia masih ragu.
****
"Selgy, coba bawa biodata semua mahasiswa dari Bali yang sedang berpraktik di hotel ini, segera ya, bapak tunggu di ruang kerja bapak," Ananta menelpon sekretarisnya.
****
Ananta memeriksa berulang-ulang mengapa biodata si kembar tidak ada ia cepat menelpon Selgy lagi.
"Kok bisa tidak lengkap, akan saya hentikan kerja samanya jika tidak becus ngurus administrasinya," ujar Nanta tak sabar. Selgy kaget mendengar suara bosnya yang tidak biasa bersuara keras. Selgy segera menelpon bagian umum. Tak lama kemudian Selgy masuk ke ruang kerja Nanta lagi dan berkabar bahwa biodata mahasiswa yang dicari oleh Nanta masih dicari dibagian umum.
Nanta memejamkan matanya, dua puluh tahun berlalu namun mata dan bibir Devi tidak mungkin ia lupakan, dan mata serta bibir itu ada pada kedua anak kembar yang dalam dua hari ini sering ia amati.
****
Keesokan harinya Selgy masuk ke ruangan Nanta, mengatakan sudah menghubungi kampus dan biodata si kembar akan segera dikirim lagi.
Nanta mendengus kesal, tidak biasanya ia tak sabaran. Tapi sejak bapaknya meninggal, Nanta memang sedikit temperamental.
Nanta menyandarkan kepalanya pada kursi, kejadian itu seolah berulang, ia mengingat kembali bagaimana Panji yang menelponnya dan menceritakan semua kejadian yang menimpa istrinya, segera ia pulang, namun yang ia dapatkan malah ibunya yang mencecarnya dengan fitnah keji perihal istrinya dan Panji. Nanta mengamuk yang mengakibatkan penyakit jantung bapaknya kumat, meski sempat masuk icu tiga hari namun akhirnya bapaknya meninggal.
Sifat Nanta berubah menjadi mengerikan, suka mengamuk dan merusak segala sesuatu yang ada di dekatnya, tenggelam dalam minuman keras yang hampir merenggut nyawanya, beruntung Nanta masih terselamatkan, meski pendidikan magisternya akhirnya terbengkalai dan usaha hotel keluarganya sempat terpuruk, tiga hotel sudah diambil alih kepemilikannya oleh sanak keluarga Ananta, tersisa dua hotel masih bertahan yang sampai sekarang dikelola oleh Nanta setelah dua tahun ia terpuruk.
Berusaha bangkit kembali, menata hati dan kehidupannya, menjadi dingin pada ibu, saudara perempuannya dan wanita yang mencoba mendekatinya.
Nanta hidup sendiri, terpisah dari ibu dan saudaranya.
Tiap sore Nanta selalu mengamati kedua anak kembar itu, terutama si adik, Nanta seolah melihat dirinya ada pada anak itu, tapi ia tidak dapat memastikan sebelum ia melihat biodata lengkap keduanya.
****
Langkah Nanta mendadak terhenti, saat salah satu dari kembar itu terdengar menelpon seseorang saat ia akan masuk ke mobilnya di depan loby.
"Apaaa bunda masuk rumah sakit, sakit apaaa, segitu rindunya bunda sama kita, bundaaa, bunda kayak bukan bunda Devi yang Ejak kenal deh, bunda biasanya kuat," suara Ejak terhenti saat Sena menarik ponsel dari telinga adiknya dan ganti dia yang berbicara dengan bundanya.
Kaki Nanta mendadak kaku, benarkah, benarkah Deviananya, Nanta memegang dadanya dengan tangan kanannya dan tangan kirinya menahan badannya pada mobil, Ejak yang melihat kejadian ini segera berlari dan memegang badan pemilik hotel tempatnya berpraktik.
"Bapak, bapak sakit?" tanya Ejak dan Nanta hanya menggeleng, melambaikan tangan pada sopirnya dan perlahan Ejak menuntun Nanta masuk ke mobilnya. Tak lama mobil melaju meninggalkan derunya di depan Ejak dan Sena yang ada di belakangnya.
****
Nanta dituntun masuk ke rumahnya oleh sopirnya, didudukkan di sofa dan ponsel berbunyi nyaring dari dalam tasnya. Nanta meraih ponsel yang ternyata dari sekretarisnya, berkabar bahwa biodata si kembar sudah sampai via email.
Nanta menyuruh sekretarisnya mengirim biodata si kembar pada email pribadinya. Dan menyuruh sopirnya segera meninggalkannya sendiri.
Tak lama terkirim dan terdengar notifikasi email yang masuk, dengan tangan bergetar Nanta hati-hati membaca biodata Anta Sena, dadanya mendadak perih saat nama keluarganya tertera di belakang nama Anta Sena, lalu nama orang tua yang hanya tertera nama ibunya. Nanta merasa tidak perlu membaca biodata Anta Reja toh hasilnya akan sama saja, sama perihnya saat ia baca.
"Terima kasih, masih memakaikan nama keluargaku pada anak-anak kita," bisik Nanta parau, air matanya meleleh, ia memejamkan mata dan menangis sambil memegang dadanya.
****
Hmmm authornya jadi baper 😥
12 Juni '19 (15.12)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top