Bab 7
Matahari sudah meninggi, kamar yang semula gelap mulai kembali terang karena pancaran sinar mentari itu berhasil menelusup melalui celah-celah tirai hingga berhasil menyilaukan mata wanita cantik yang baru saja terlelap.
Perlahan Marsa membuka mata, beberapa kali mengerjap hingga akhirnya mata indah itu benar-benar terbuka sempurna. Dia terperanjat saat mrengingat beberapa jam lalu Calista meneleponnya dengan nada sedih dan ketakutan.
Pesan jika istri sahabatnya itu membutuhkan bantuannya kembali terlintas. “Apa itu hanya mimpi?” gumamnya yang setelah itu, Marsa langsung mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghela napas.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan masuklah seorang laki-laki mengenakan kaos berwarna hitam polos dan celana pendek selutut berwarna krem. Di tangannya, dia membawa sebuah nampan berisi dua piring nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya dan dua gelas air.
“Selamat pagi, Cintaku,” sapa lelaki yang tak lain adalah Theo.
Gurat senyum selalu tercetak jelas di wajah lelaki itu. Tak pernah sekali pun Theo memasang wajah muram apalagi marah di hadapan Marsa. Tentu itu membuat sang istri merasa beruntung memilikinya.
Theo meletakkan makanan itu di meja yang ada di kamar mereka. Kemudian dengan mesra menghampiri Marsa dan mengulurkan tangan agar wanita itu bersedia di gandeng menuju sofa kecil yang ada di sana untuk sarapan bersama.
Keduanya menyantap sarapan itu sambil mengobrol santai. Walaupun begitu, Marsa tak bisa menyembunyikan keresahan hatinya soal buah hati, wajahnya terlihat muram. Ditambah, soal Calista yang menghubunginya dini hari tadi terasa nyata dan tidak.
“Hei, apa kamu masih memikirkan soal anak?” tanya Theo yang menyadari sang istri tidak ceria seperti biasanya.
“Apa kamu bahagia dengan pernikahan ini?” Alih-alih menjawab, Marsa justru balik melontarkan pertanyaan yang membuat Theo mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar.
Theo menatap lekat wajah sang istri yang saat itu juga tengah menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Tangannya lantas meraih dan menggenggam erat tangan wanita itu.
“Kalau aku nggak bahagia, nggak mungkin aku akan bertahan sampai saat ini,” ungkap Theo penuh keyakinan.
“Apa kamu tidak ingin menikahi wanita lain untuk bisa memiliki seorang anak?” tanya Marsa lagi.
Deg ....
Tiba-tiba dada Theo terasa nyeri, seperti sedang ada yang meremas jantungnya.
“Ke-kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Theo.
Marsa beranjak setelah berhasil melepaskan genggaman sang suami. Tangan wanita itu langsung terlipat di depan dada sambil berjalan ke arah jendela dan memandang taman kecil yang berhias beberapa bunga kesukaannya tepat di samping kamarnya.
Theo hanya bisa memandang punggung wanita yang sudah sepuluh tahun dia nikahi. Perasaan bersalah seketika menyeruak, tetapi untuk menghentikan apa yang sudah dia mulai dengan Calista, tidak bisa dia hentikan begitu saja.
“Dokter mengatakan kalau kita subur, tapi kenapa Tuhan tak kunjung memberikan kita anak? Apa Tuhan sedang menghukum kita atas dosa yang nggak kita sadari?” gumam Marsa tetapi terdengar jelas di telinga sang suami.
Theo makin merasa bersalah setelah mendengar pertanyaan yang tak mungkin bisa dia jawab. Dia pun mendekati sang istri, mengelus pundak hingga lengan wanita itu.
“Sssttt ... jangan berkata seperti itu. Semua orang memiliki ujiannya masing-masing. Kita diberi ujian ini, itu artinya Tuhan tahu kalau kita sanggup melewatinya. Sudsh, ya, jangan dipikirkan lagi. Aku juga nggak mempermasalahkan hal ini,” ucap Theo berusaha menenangkan hati Marsa.
Marsa membalikkan badan hingga kini keduanya saling berhadapan dan kembali beradu pandang. “Apa kamu nggak akan selingkuh?” tanya Marsa yang membuat jantung Theo seolah akan melompat keluar.
Walaupun begitu, lelaki itu dengan sekuat tenaga tetap bersikap tenang dan tak ingin menunjukkan kegugupannya sedikit pun.
Sedetik kemudian, Theo pun terbahak. “Selingkuh? Untuk apa? Hanya untuk bisa punya anak? Ayolah, Sayang, percaya padaku. Aku tidak akan melakukan hal itu,” pungkas Theo berharap sang istri tidak akan membahas lagi tentang perselingkuhan.
Marsa tersenyum mendengar pernyataan itu. “Baiklah, aku percaya. Tapi, misalnya suatu saat nanti keinginan itu ada, aku harap kamu jujur padaku daripada harus diam-diam. Setidaknya aku akan lebih mengikhlaskan hubungan kita,” ujar Marsa sambil mengelus pundak sang suami.
“Sudahlah, jangan bahas hal ini. Nggak baik.” Theo merengkuh tubuh sang istri ke dalam dekapannya seraya menciumi kepala wanita berdarah batak itu.
Marsa tiba-tiba melepaskan pelukan itu tatkala dirinya teringat tentang Calista. “Oh ya, Sayang. Tadi pagi entah antara sadar atau nggak, aku tuh ngerasa kaya Calista menghubungi aku dan meminta bantuanku menangani kasusnya dengan Deren.”
Theo mengernyit, matanya langsung fokus menatap Marsa. Kedua tangan terlipat di depan dada. “Calista ada masalah dengan Deren? Masalah apa sampai dia memintamu menangani kasusnya?” tanya Theo penasaran.
Marsa menggeleng pelan. “Entahlah. Aku aja ngga yakin itu nyata atau mimpi,” jawabnya yang juga ragu dengan pernyataannya sendiri.
“Kenapa nggak kamu cek aja ponselmu? Iya, kan?” usul Theo yang diiakan oleh Marsa.
Langkah kaki Marsa dengan cepat menuju nakas untuk mengambil benda pipih nan canggih miliknya. Dibukanya kunci layar itu, lalu menekan aplikasi berbalas pesan.
“Beneran ada,” ucap Marsa sambil menunjukkan sebuah pesan dari nomor baru. Pesan tersebut berada di paling atas, hingga tak butuh waktu lama untuk Marsa menemukannya.
Theo membaca pesan itu dengan heran sambil mengira-ngira masalah yang sedang wanita keduanya itu hadapi.
Apa ini ada kaitannya dengan hubunganku dengan Calista? Apa Deren menyadari itu, lalu ingin menceraikan Calista? tanya Theo dalam batinnya.
“Sayang, kenapa bengong gitu? Lagi mikirin apa?” tanya Marsa karena Theo hanya terdiam dengan mata tak berkedip menatap layar ponsel.
“Ah ... nggak, aku nggak bengong. Aku hanya memikirkan masalah yang lagi mereka hadapi. Apa mungkin ada masalah yang kita nggak tahu karena mereka begitu pintar menyimpannya? Setelah itu, mereka nggak sanggup, terus mau cerai?” Theo mencoba mengungkapkan spekulasi yang muncul dalam pikirannya.
Marsa dengan cepat menutup mulut sang suami dengan telapak tangannya. “Jangan bicara macam-macam. Ingat, ucapan adalah doa. Kamu nggak mau, kan, rumah tangga mereka hancur?”
“Astaga, sorry, sorry. Ya udah, sebaiknya kamu coba temui Calista hari ini, tanyakan apa yang sebenarnya terjadi,” usul Theo yang diangguki langsung oleh Marsa.
Marsa langsung menggulir layar ponselnya, mencari nomor sang asisten dan melakukan panggilan padanya.
“Aku akan menelepon Rere dulu, mau kasih tahu kalau hari ini mungkin aku telat ke kantor. Biar dia bisa handle beberapa urusan dengan klien yang lain. Setelah itu, baru aku akan menghubungi Calista dan mengajaknya bertemu,” ucap Marsa yang kemudian sedikit menjauh dari sang suami.
Setelah itu, Marsa bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sayangnya, di saat wanita itu tengah diburu dengan beberapa jadwal, sang suami selalu berhasil membuatnya memenuhi keinginan lelaki itu, walaupun di dalam kamar mandi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top