Bab 6
"Kau tampak berbeda sekali akhir akhir ini sayang," puji Theo melihat istrinya memakai gaun tidur tipis berwarna putih. Potongan dada yang rendah serta bagian yang bahkan tidak bisa menutup paha mulus Marsa dengan benar itu membuat Theo tidak berkedip.
Tangan Theo langsung menarik wanita itu ke pelukannya. Menyentuh dengan lembut bagian yang membuat Marsa menggeliat keenakan.
"Aku menginginkan suamiku sendiri apa itu salah?" goda Marsa. Dia menggigit manja bibir sang suami lalu mengecupnya intense.
"Tentu saja tidak. Aku jelas sangat menikmati ini semua. Tidak ada kesalahan dari sesuatu yang menyenangkan seperti ini. Justru hal-hal kecil ini akan membuat keluarga kita semakin harmonis." Theo mulai menciumi tengkuk putih Marsa, tangannya membelai lembut kepala wanita itu, seolah dia begitu berharga dan tidak ingin merusaknya sedikitpun.
"Semoga kali ini kita bisa memiliki anak ya sayang," sekilas gurat kesedihan terpancar dari pelupuk mata wanita berusia 33 tahun itu. Theopun menyadari kesedihan istrinya itu dan menepuk pelan bahunya.
"Amin, kita bisa terus berusaha melakukan ini sampai ada benihku di rahimmu." Sosok tinggi itu memang paling pintar merayu. Kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu bisa membuat Marsa berdebar bahagia. Hingga sejenak dia berfikir dialah istri paling beruntung di dunia. Memiliki suami yang amat menyayanginya dan begitu sabar menunggu bersamanya.
Entah mengapa Marsa tiba-tiba menginginkan hubungan seksualnya kembali menggebu bersama sang suami. Memang beberapa hari telah berlalu sejak pertemuan Marsa dengan keluarga Deren. Hal yang masih membekas di pikiran Marsa saat ini adalah kedekatan Theo -suaminya- dengan anak-anak Deren. Dia sadar bahwa suaminya sangat menyukai nak kecil dan tentu saja dia pastilah menginginkan sosok imut itu menemani hari-harinya.
"Kita nikmati saja sayang, aku memang sangat menginginkan anak tapi aku juga sangat mencintaimu." Kecupan mendarat tepat di kening Marsa. Sepele, tapi dapat menenangkan hati gundah sang istri.
"Aku juga amat mencintaimu sampai-sampai aku tidak tau apakah aku bisa hidup tanpamu."
"Begitu pula denganku."
Malam menggelorapun mereka lalui dengan mesra. Berbeda ketika bersama Calista. Saat bersama Marsa, Theo seperti menahan semuanya. Dia tampak seperti suami yang baik yang menghormati Marsa dan begitu melindunginya. Dia tidak pernah bersikap kasar dan menutut sang istri melakukan lebih seolah apapun yang diberikan Marsa membuatnya bahagia dan cukup. Hal yang bertolak belakang dengan hasrat sejatinya. Dia memang mencintai Marsa, namun nafsunya memilih Calista.
Jam masih menunjukkan pukul tiga pagi, akan tetapi mata Marsa enggan untuk terlelap kembali. Dia hanya menatap nanar keheningan sekitar lalu sering sekali memikirkan hal-hal random saat seorang diri.
"Ya Tuhan, bukankah kami sudah cukup berusaha? Berbagai cara juga sudah kami coba selama ini. Mulai dari menandai masa subur, meningkatkan hubungan intim, konsumsi vitamin dan obat-obatan penunjang kehamilan hingga inseminasi buatanpun telah kami coba, namun tidak satupun membuahkan hasil yang kami inginkan. Kapan aku bisa menjadi istri yang sempurna untuk orang ini? " kata Marsa dalam hati.
Pandangannya menatap lurus ke arah Theo. Suami yang begitu dia cintai. Hingga dia rela melakukan apapun jika Theo memintanya.
Air matanya mulai menetes, sementara sang suami masih tertidur pulas di sampingnya. Mata lelaki itu terpejam dengan damai tanpa beban mirip seperti anak kecil bagi Marsa. Tentu Theo saat ini tidak mungkin terbangun, Marsa sudah tahu jika laki-laki di ampingnya ini akan tertidur sangat lelap paling tidak dua jam setelah dia klimaks.
"Seandainya aku bisa seperti Calista. Gadis itu terkadang memang sangat menyebalkan namun fakta bahwa dia bisa melahirkan dua orang anak dari rahimnya sering kali membuatku iri padanya. Apalagi hububganbya dengan Deren sempurna dan harmonis," keluh Marsa. "Ah, mengapa aku memikirkan rumah tangga orang lain? Membuat hatiku semakin sakit."
Pip Pip Pip
Suara ponsel di atas nakas sebelah tempat tidur, mengagetkan Marsa. Sebuah pesan singkat membuat matanya sedikit terbelalak. Deret nomor itu belum pernah tersimpan di ponselnya. Nomor asing yang entah siapa dan apa motif nya menulis .
pesan ini.
"Marsa, aku butuh bantuanmu. Suamiku benar-benar sudah keterlaluan. Kali ini aku membutuhkanmu sebagai kuasa hukumku. Aku akan membayarmu tinggi jadi tolong menangkan kasusku ya." Begitulah bunyi pesan yang membuat Marsa sedikit memutar otak, siapa? Clien atau kenalan? Malas sekali mengurus pekerjaan saat ini pikir Marsa.
Berakhir tanpa balasan akhirnya si pengirim pesanpun menelpon Marsa saat itu juga. Sebenarnya Marsa enggan mengangkatnya fisamping karena masih diluar jam kerja, sepertinya tidak etis menghubungi orang pada dini hari seperti ini. Berulang kali Marsa mengacuhkan panggilan itu, namun karena menyadari kegigihan sang penelpon Marsapun akhirnya mengambil ponsel dan membawanya menuju balkon.
"Ya, Halo?" jawab Marsa.
"Hai, Sa. Ini aku Calista, istri Deren," sambut suara sendu di seberang sana. Jelas sekali jika orang yang menelepon ini baru dan sedang menangis.
"Lho Calista, kamu ganti nomor? Pantas saja tidak ada namamu di hanphoneku. aku pikir ada client baru. Kamu punya masalah Cal?"
Marsa sendiri tidak paham, Deren dan Calista memiliki masalah? apa itu mungkin. Lihat aja keluarganya penuh dengan kebahagiaan, dua malaikat kecil selalu tertawa riang di sekitar mereka. Keluarga yang sempurna bagi Marsa. Bagaimana bisa mereka tersandung masalah?
"Tolong... Tolong aku, ini benar-benar membuatku sangat bingung, Sa. Please, Bantulah aku, Sa. Sepertinya aku ingin menggugat cerai Deren, aku sudah tidak tahan lagi Sa. Hiks, hiks, hiks." Tangisan Calista semakin menjadi-jadi.
"oke tenanglah Cal, coba tarik nafas dulu. Tenangkan pikiranmu sejenak dan dengarkan aku." Marsa menunggu dengan sabar suara tangis lawan bicaranya itu mereda. "Sudah tenang sekarang? Baiklah dengarkan aku dulu. Temui aku di Smarapura Traditional Resto nanti saat makan siang. Kita bicarakan baik-baik di sana oke. Entah sebagai kawan maupun sebagai pengacara. Aku kan mendengarkanmu dulu dan akan memutuskannya nanti."
"Sayang, kamu dimana?" suara Deren samar-samar terdengar dari ujung panggilan.
"Bukannya itu suara Deren?" Marsa merasa Deren tampak baik-baik saja, nada bicaranya saat memanggil Calista juga normal-normal saja. Sama sekali tidak ada yang salah.
"Eh, Sa. aku tutup ya. Sekali lagi terima kasih banyak ya, Sa."
Telepon pun terputus begitu saja, Marsa sedari tadi sebenarnya masih syok dengan kabar Calista ingin menggugat cerai Deren. Sementara Deren nampak masih baik-baik saja. Apa yang sebenarnya terjadi, tapi keputusannya untuk tidak segera mendengarkan dirasa tepat karena hal seperti itu memang tidak seharusnya dibahas melalui panggilan singkat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top