Bab 4
Tak terasa matahari sudah berputar beberapa kalk dan kembali meninggi di tempat yang seharusnya. Cahaya yang mulai memanas masuk dari celah-celah jendela kaca kediaman dengan nuansa cream hangat. Berkutat dengan sayur dan daging sejak tadi tidak membuat daya tarik lelaki itu menurun. Dengan terampil dia mempersiapkan beberapa masakan rumahan yang nampak jelas tidak kalah dengan masakan hotel bintang lima.
"Sayang sudah selesai belum?" tanya lelaki itu dengan baju casualnya. Masih dengan apron melingkar di pinggang serta spatula di tangan lelaki itu celingukan kesana kemari mencari keberadaan sang istri. Bibirnya tersenyum lega melihat Marsa sedang memoles bibir indahnya dengan lipstrik bernuansa nude, simple dan begitu sederhana.
"Sudah selesai kok. Bagaimana masakannya?" jawab Marsa singkat, dia masih berusaha terlihat tenang, meski sebenarnya sangat gugup. Yah, Marsya memang terkadang besikap begitu jika terlalu senang. Hari ini hari yang dia tunggu, sahabatnya akan datang berkunjung. Sudah lima tahun lebih dia tidak bertemu dengan bestienya itu.
"Hmm, cantik. Please, lain kali jangan cantik-cantik di hadapan laki-laki lain." Theo memeluk Marsa dari belakang memgecup lembut tengkuknya, membuat dada wanita itu berdesir nikmat.
"Ih, sayang. Kita tidak punya waktu melakukan hal-hal seperti ini."
"Ayolah, sedikit saja. Aku hanya mau menghilangkan pewarna itu dari bibirmu saja." Dengan cepat Theo memanggut bibir Marsa, benar saja lipstik yang sedari tadi sibuk dia mix and match kan seketika hilang tanpa bekas. Baju yang dia kenakan sedikit berantakan.
Marsa melayani keinginan sang suami dengan senang hati. Dia sendiri merupakan istri yang baik, dia berusaha melayani apapun keinginan suaminya meski kadang ada perasaan-perasaan aneh yang selalu terbesit di kepalanya. Sudahkan suaminya puas dengannya selama ini, ataukuah lelaki itu masih menginginkan hal yang memang susah diberikan Marsa.
"Ting... Tong..." Bel berbunyi mengagetkan aktivitas pasangan ini.
"Cih, laki-lki itu selalu datang di saat tidak tepat," gumam Theo, dahinya berkerut namun dia masih tetap melingkarkan tangannya di pinggang Marsa.
"Sudahlah sayang. Kita sudah membahas ini dari kemarin." Marsa mulai membenarkan kembali pakaiannya dan memoles wajahnya ala kadarnya. "Lusa mereka tidak jadi datang karena mendadak ada urusan, jadi hari ini mereka sudah meluangkan waktu untuk mampir. Ayolah, bersikap baik ya, please!"
"Iya, aku akan bersikap baik. Nih, bukankah aku udah repot-repot memasak untuk mereka," ujar Theo sembari menunjukkan spatula andalannya. Senyum lebar terpatri indah di wajah Marsa, setelah mengecup pipi sang suami dia bergegas menuju pintu utama untuk menyambut tamu-tamu yang sudah lama dia tunggu.
"Hei, hanya pipi?" teriak Theo.
"Sudahlah Sayang jangan merengek."
"Yah baiklah, pipipun tidak masalah." Theo kembali berjalan menuju dapur, menyelesaikan beberapa masakan dan menatanya ke meja makan.
Suara ceria khas anak-anak mulai menyeruak di rumah Theo dan Marsa. Sesuatu yang sangat diinginkan lelaki itu sejak lama. Namun di usia pernikahannya yang ke sepuluh inipun belum ada tanda-tanda akan kehadiran malaikat-malaikat kecil itu di rumahnya.
"Om, om... Om aru pa?" suara cedal anak berusia tiga tahun membuyarkan lamunan Theo.
Anak lelaki dengan setelan baju bermotif mobil menarik paksa apron di tubuh Theo. Dengan sigap, Theo mematikan kompor dan meletakkan pisau yang sedari tadi dia bawa. Menggantinya dengan tubuh mungil anak lelaki itu.
"Wah, ada jagoan om nih. Mana mama sama ayahmu nak?"
"Ma di epan. Yah uga. Ain mau akan asi." Theo memutar otak untuk mengetahui apa yang anak ini katakan.
"Zayn, kamu di mana?" Suara yang dangat familiar untuk Theo perlahan mendekat. Jantungnya berdesir menginginkan lebih dari si pemilik suara.
"Calista, hai apa kabar? Deren mana?"
"oh, hai. Deren ada di depan bersama Marsa dan Leonard." Kikuk bercampur aneh Calista menjawab pertanyaan Theo seadanya. Wanita berbaju merah itu memandang Theo dari bawah hingga atas, mendapati lelaki yang biasanya terlihat ganas berubah menjadi suami yang sangat hangat. Tawa kecil akhirnya keluar darinya.
"Kamu menertawakan penampilanku?"
"Ah tidak. Itu hanya, hanya saja agak sedikit..."
"Diluar expektasi?"
"Em, bisa dibilang begitu." Kecanggungan diantara keduanya sedikit melunak hingga pandangan mata Calista tertuju pada anak lelakinya yang sangat penurut di gendongan Theo.
"Zayn kok begitu sama om. Ayo nak ayah nyariin tuh." Calista mengambil Zayn dari Theo dan menggendongnya, namun anak itu gesit dan tidak mau digendong sang mama. Dia melompat kecil lalu berlari menuju ruang tamu. Sepersekian menit siluetnya langsung menghilang dari pandangan Theo dan Calista.
"Kenapa kamu hari ini sexy sekali, berani-beraninya menggodaku di rumah ini." Seketika Theo menarik tangan Calista untuk mendekat. Menatap matanya lekat-lekat eolah menyambut gayung yang engaja dilemparkan Calista padanya.
"Kau menginginkannya?" goda Calista.
Tubuh sintal berbalut gaun merah yang melekat ketat, membuat gairah Theo tak terbendung. Dia segera menelusupkan tangan di leher wanita itu, menariknya sedikit kasar san mencumbunya.
"Wow, wow, wow. Aku hanya bercanda Theo. Kamu ga seharusnya melakukan ini padaku. Aku tamu sekarang, dan kau tuan rumahnya. Bagaimana kalau Deren dan Marsa melihatnya." Calista berusaha mendorong tubuh Theo sejauh mungkin dari dirinya dan dia juga kembali merapihkan penampilannya namun gagal, cengkaraman tangan lelaki itu sangat kuat.
"Kau yang memulainya. Pakaian itu bukti yang tidak bisa kau sanggah." Seringai licik menghiasi wajah Theo. Dia benar-benar tahu apa kemauan wanita di hadapannya. Dia langsung sadar bahwa warna merah memang tanda yang mereka buat untuk melambangkan hasrat masing-masing. Jika salah satu memakai pakaian atau asesoris berwarna merah itu menandakan dia menginginkan sesuatu terjadi. Semua sudah hukum dasar yang mereka tetapkan dari bertahun-tahun yang lalu.
"Coba jawab, sejak kapan Deren menyukai warna merah?" Theo tidak henti-hentinya memprovokasi Calista. Tangannya juga sudah mulai menyentuh lembut bagian-bagian sensual dari Calista.
"Ah, itu... Te.. tentu aja se.. sejak hari ini." Wanita itu senang sebenarnya Theo mengetahui niat terselubungnya saat ini. Namun rasa takut akan ketahuan suami dan temannya menjadikan seluruh tindakanny terlihat kikuk.
"Sayang," suara Langkah kaki Marsa terdengar mendekat. Calista segera berjalan menjauh dari Theo. Lelaki itupun segera mengambil kembali pisau dan berusaha terlihat sedang menyiapkan makanan.
"Sayang, mau berapa lama lagi kamu memasak. Lalu jangan meminta Calista menemanimu masak. Dia hari ini tamu bukan asisten chef," canda Marsa. "Yuk, Cal ke depan."
"Iya, baiklah."
"Bukankah hari ini kau menginap? Ayo bertemu lagi kalau semuanya sudah tertidur, kita akan melajukan hal yang menyenangkan nanti," bisik Theo saat Calista berjalan melewatinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top