Bab 3
Pagi itu Marsa begitu sibuk di dapur. Seperti biasa, saat akhir pekan wanita itu akan lebih fokus untuk memanjakan sang suami dengan berbagai macam masakan enak. Kecuali dirinya memang sedang menangani beberapa kasus yang mengharuskan dirinya melupakan family time bersama sang suami.
Sudah pukul delapa pagi, tetapi Theo belum juga menampakkan batang hidungnya, padahal semua makanan kesukaan lelaki itu sudah siap tersaji di meja makan. Tak pelak hal itu membuat Marsa merasa cemas, karena sudah kebiasaan lelaki itu, jika menginap di luar, dia akan tetap sarapan di rumah.
Marsa hendak mengambil ponsel yang ada di kamarnya, berniat menghubungi Theo untuk menanyakan keberadaan lelaki itu. Namun, belum sempat dirinya membuka pintu kamar, tiba-tiba Theo langsung menghujaninya dengan pelukan erat dan ciuman yang bertubi-tubi di pipi mulus sang istri.
Marsa yang merasa kegelian, cepat-cepat meminta sang suami untuk menghentikan aksinya. Sayangnya, Theo tak mau mendengar hal itu, dan tetap saja menciumi seluruh wajah hingga leher jenjang wanita cantik berdarah batak itu.
“Bahkan, tidak ada pasal yang bisa menjeratku karena mencium istriku sendiri. Bukan begitu, Bu Pengacara?” tanya Theo yang kini sudah berada tepat di hadapan Marsa dengan tatapan hangat nan penuh cinta.
“Oh ya? Suami yang memperkosa istrinya saja bisa dikenai pasal, loh!” ucap Marsa yang bersikap seolah tak tahu hukum.
“Itu unsur paksaan. Kalau kamu, tanpa dipaksa pun, pasti mau, kan, melayaniku? Kan kamu sangat mencintaiku, jadi tidak mungkin menolakku, iya, kan?” tanya Theo lagi.
Marsa hanya tersenyum, setelah itu dia layangkan sebuah kecupan hangat di bibir sang suami. “Kamu memang benar. Aku memang sangat mencintaimu dan tidak akan menolakmu, asalkan kamu nggak selingkuh di belakangku. Kalau selingkuh ....”
Marsa sengaja menggantung kalimatnya, tetapi Theo sudah terlanjur memasang wajah tegang. Sungguh, dalam hati lelaki itu sangat takut bila sang istri sampai tahu perselingkuhannya dengan Calista.
“Kamu kenapa jadi tegang gitu, sih? Kamu nggak lagi selingkuh di belakangku, kan? Kamu nggak mungkin nginep berdua di hotel dengan wanita lain semalam, kan?” tanya Marsa yang tentu saja itu hanya candaan, karena dia yakin betul jika sang suami tidak akan pernah mengkhianatinya. Apalagi Theo tidak pernah menunjukkan tanda-tanda perselingkuhan.
“Ya, ya nggaklah. Aku nggak mungkin selingkuh. Mana bisa aku selingkuh, sedangkan istriku di rumah jauh lebih cantik dan seksi daripada wanita-wanita di luar sana,” ungkap Theo yang tentu saja itu bohong.
Marsa pun akhirnya tertawa mendengar penuturan Theo. “Itu terlalu lebay, Sayang. Ya udah, kamu ganti baju aja dulu, setelah itu kita sarapan bareng. Aku udah siapin makanan spesial untuk kamu.”
Theo pun menuruti apa yang Marsa katakan, sedangkan wanita itu kembali ke dapur untuk memastikan jika tidak ada yang kurang di meja makan. Tak lupa, wanita yang suka membaca itu juga menyajikan sebuah puding cokelat sebagai pencuci mulut nantinya.
Usai mengganti pakaian dan memastikan semua pakaian yang dia kenakan saat bercinta dengan Calista sudah dia masukkan ke mesin cuci, Theo pun langsung menemui Marsa di meja makan untuk sarapan bersama.
Marsa dengan sangat telaten melayani Theo, menyajikan nasi dan lauk ke piring untuk sang suami. Wanita itu juga menuangkan air ke gelas yang ada di depan Theo.
“Makan yang banyak, kalau bisa habiskan semuanya,” ucap Marsa seraya menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri.
Theo hendak menyahuti perkataan Marsa, tetapi dering panggilan masuk dari ponsel wanita itu, menghentikan niatnya.
Marsa langsung meraih ponsel itu untuk melihat panggilan tersebut. “Dari Deren, tunggu bentar, ya,” ucap Marsa yang langsung beranjak menjauh dari meja makan. Sedangkan Theo langsung tersedak saat mendengar nama Deren disebut oleh sang istri.
Pikiran Theo langsung kacau, berbagai spekulasi muncul dalam benaknya, terutama kemungkinan jika lelaki itu telah mengetahui perselingkuhan sang istri dengan Theo. Gimana kalau sampai Deren tahu dan bilang semua itu ke Marsa? Apa yang harus aku lakukan sekarang? gumam Theo dalam hatinya.
Tak berselang lama Marsa kembali ke meja makan dengan wajah semringah. Dia lantas duduk dan meletakkan ponsel di samping piringnya.
“Deren sama istrinya akan ke sini hari ini. Jadi, setelah ini tolong bantuin aku masak lagi, ya,” pinta Marsa dengan nada yang begitu manis tanpa menatap sedikit pun kepada sang suami.
Wajah Theo makin menegang. Perasaannya campur aduk. Antara senang karena akan bertemu dengan Calista, dan khawatir yang makin menjadi.
“Ekhm ... me-mereka a-ada di Jakarta?” tanya Theo pura-pura tidak mengetahui hal itu, tetapi tetap saja lelaki itu tidak bisa menyembunyikan sepenuhnya ketegangan yang dia rasakan.
“Iya, tadi dia ngabarin kalau sebenarnya dari kemarin mereka udah di sini. Mereka akan ke sini saat jam makan siang nanti. Rencananya sih, aku akan mengajak mereka menginap di sini daripada tinggal di hotel. Menurut kamu gimana?” tanya Marsa lagi dengan antusias karena mengetahui rekan lamanya tengah berada di kota tempat tinggalnya.
“Ya, kalau mereka bersedia, boleh aja. Tapi ingat, jangan memaksa. Oke,” putus Theo
seraya tetap menyantap makanan walau saat mengunyah, makanan itu tiba-tiba terasa hambar. “Aku kayanya udahan, deh. Udah kenyang banget. Aku ke kamar duluan, ya.”
Marsa mengerutkan wajah melihat tingkah sang suami. Tidak seperti biasanya lelaki bahkan menyisakan separuh makanan di piringnya.
“Ta—” Belum sempat Marsa menahan Theo, lelaki itu sudah menghilang dari hadapannya. Wanita itu mencebikkan bibir sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Ada apa dengan Theo? Tidak biasanya dia seperti itu. Atau jangan-jangan ....
Mata Marsa tiba-tiba membulat sempurna di saat suapan terakhir baru saja masuk ke dalam mulutnya. Sejurus kemudian, dia langsung menelan paksa makanan itu dan membereskan semua yang ada di meja makan agar bisa segera menghampiri Theo ke kamar.
Langkah yang begitu cepat Marsa lakukan untuk menuju kamar yang sudah bertahun-tahun menjadi saksi bisu gairah cintanya dengan sang suami. Namun sayang, saat wanita itu hendak membuka pintu, ternyata Theo telah menguncinya dari dalam.
Ketukan pintu dengan keras dan sedikit kasar Marsa lakukan tetapi, sang suami tak juga membuka pintu itu.
“Sayang, are you oke?” teriak Marsa dengan tangan tetap berusaha menggedor dan menarik gagang pintu ke atas dan bawah.
“Iya, iya, tunggu ....” Terdengar suara Theo dari dalam yang tentunya membuat hati Marsa sedikit lebih lega.
Setelah itu, Theo pun membuka pintu dengan selembar kain handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya hingga ke lutut.
“Kamu nggak pa-pa, kan? Kamu baik-baik aja?” tanya Marsa dengan wajah khawatirnya.
“Aku nggak pa-pa. Tapi mungkin lagi capek aja. Makanya tadi nggak aku habisin makanannya. Maaf, ya, aku udah buat cemas. Aku baru aja mandi biar lebih segar.”
“Mandi ... lagi?” tanya Marsa penasaran.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top