Bab 23

“Berani bertaruh?” tantang Deren memecah keheningan di antara dirinya dan Marsa dalam selama perjalanan menuju Jakarta.

Hal itu tentu membuat Marsa mengernyit kebingungan yang dia tunjukkan jelas kepada Deren.

“Maksudku, kita bertaruh saat ini istriku dan suamimu ....” Tiba-tiba perkataan Deren langsung terhenti, karena telapak tangan wanita cantik itu menempel tepat di bibir Deren.

Seketika itu juga wangi parfum yang menyegarkan, hangat, dan mampu membangkitkan gairah, hinggap di indra penciuman lelaki berbadan kekar itu. Kejadian itu juga membuat jantung Deren berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.

“Tutup mulutmu! Aku percaya suamiku tidak akan pernah mengkhianatiku. Theo adalah lelaki yang setia. Kamu bisa saja menuduh istrimu, tapi kamu tidak memiliki bukti apa pun yang menunjukkan kalau suamiku dan istrimu berselingkuh di belakang kita!” tegas Marsa dengan nada yang begitu pelan, mengingat keduanya sedang berada di pesawat.

Deren berusaha keras menetralkan kembali perasaannya setelah mendengar penolakan Marsa tentang tantangan tersebut. Setelah itu, perlahan dia menurunkan telapak tangan wanita itu dan menatapnya dengan instens.

“Aku mendengar suara suamimu memanggil istriku dengan sebutan sayang. Apa itu tidak cukup?” tanya Deren.

“Tidak! Di dunia ini, banyak suara orang yang mirip. Bisa saja, kan, itu laki-laki lain yang kebetulan saja mirip dengan suara Theo? Sudahlah, aku akan melayangkan tuntutan terhadapmu atas pencemaran nama baik kalau kamu terus saja menuduh suamiku!” ancam Marsa yang mulai merasa spaneng karena Deren terus saja menuduh suaminya tanpa bukti.

“Marsa, Marsa, kamu tidak percaya, tidak ingin percaya, atau mengelak dari kenyataan? Apa kamu lupa, kalau saat ini pasangan kita sedang bersama? Apakah menurutmu sebuah kebetulan saja, laki-laki yang memanggil istriku dengan sebutan sayang itu suaranya begitu mirip dengan Theo?” sergah Deren.

Tidak, lelaki itu bukan ingin membunuh rasa percaya dalam hati Marsa, tetapi dia ingin membuktikan, bahwa apa yang dia pikir tentang istrinya itu salah besar. Calista tidaklah sebaik yang terlihat, hingga rasanya akan sangat disayangkan jika orang baik seperti Marsa akan membela wanita licik seperti istrinya itu.

Hati Marsa terasa begitu nyeri, keempat telapak tangan dan kakinya mendadak terasa sangat dingin. Napas mulai memburu, karena jantungnya yang terasa seolah memompa darah ke otak begitu cepat.

Namun, tidak, Marsa tidak ingin menunjukkan hal itu kepada Deren. Dia tidak ingin lelaki itu mengetahui jika hatinya mulai merasa ragu dengan keyakinannya sendiri. Terlebih setelah mengingat kabar dari Alex jika psikolog menemukan sebuah kejanggalan dari kepribadian Calista hingga membuat dokter itu meminta untuk memeriksa kliennya itu sekali lagi.

Wanita itu pun beranjak menuju toilet dengan langkah yang sangat cepat sambil satu telapak tangannya menutupi wajah bagian hidung hingga ke mulut. Di dalam sana, Marsa menatap wajahnya sendiri begitu lekat dengan kedua mata terbuka lebar. Diperhatikannya inci demi inci wajah itu sambil dia tolehkan ke kanan dan kiri.

Tidak ... dia tidak menemukan sebuah kekurangan pun di sana. Wajah itu begitu mulus dan putih, tidak ada cacat maupun bekas jerawat satu pun menghiasinya. Mata indah itu kembali menatap lurus ke depan, ke arah cermin yang memantulkan pantulan wajah cantiknya.

Sedetik kemudian, air mata mulai memenuhi pelupuk mata indah itu seiring kedua tangannya yang saat itu mulai teralihkan ke perut rampingnya. Pelan-pelan pertahanannya mulai runtuh, kesedihan tak bisa lagi terbendung, sekilas ucapan Calista tentang Theo adalah laki-laki normal yang menginginkan anak, dan bisa saja hal itu dia wujudkan melalui sebuah perselingkuhan, terlintas dalam pikiran Marsa.

“Mungkinkah Theo ....” Bahkan Marsa tak sanggup melanjutkan gumamannya sendiri yang menerka-nerka tentang hubungan sang suami dengan model cantik yang tak lain adalah klien sekaligus istri sahabatnya sendiri.

Marsa lantas menggeleng dengan cepat dan tegas. Telapak tangannya mengusap kedua pipi yang sudah basah karena air mata itu. Setelah itu, dia kembali menatap dirinya yang ada di cermin dalam-dalam. Beberapa kali juga dirinya menarik napas panjang dan membuang perlahan.

Come on, Marsa. Percaya kepada omongan orang tanpa bukti, sama saja kamu melukai harga diri Theo. Lagi pula, bukankah tadi Theo sudah mengabari kalau hari ini dia ada Talk Show? Jadi memang bisa saja Calista sedang bersama laki-laki lain, tapi bukan Theo,” gumamnya meyakinkan sekaligus menguatkan hatinya sendiri. “Yeah, Marsa, you’ve to trust your own husband!” lanjutnya.

Wanita itu kemudian menunduk lalu membasuh mukanya di wastafel untuk mengaburkan wajah sedihnya. Setelah memastikan raut wajahnya kembali biasa, dan hati pun bisa dia kendalikan, Marsa kembali ke tempat duduknya.

Namun, saat dirinya sampai di samping kursinya, turbulensi pun terjadi dan membuat tubuh wanita dengan tubuh proporsional itu menjadi tidak seimbang. Seketika Marsa terjatuh dan kepalanya membentur paha Deren.

Turbulensi tersebut terjadi begitu dahsyat, hingga tak sedikit penumpang yang berteriak karena takut jika pesawat akan terjatuh. Akan tetapi, hal itu rupanya tak memengaruhi Deren maupun Marsa. Entah hal kuat apa yang membuat keduanya tak merasakan khawatir sedikit pun, karena sebenarnya ada keresahan yang lebih besar dalam hati masing-masing.

Are you okay?” tanya Deren sembari membantu Marsa untuk bangkit setelah turbulensi itu berhenti.

“Aku baik-baik saja. Terima kasih,” ucap Marsa dengan nada datar tanpa menoleh sedikit pun kepada Deren.

Wanita itu berdiri dan membersihkan bajunya dari debu-debu kecil. “Kalau saja bukan karena ingin membuktikan kalau suamiku tidak bersalah, aku tak akan pernah naik kelas ekonomi,” gumam Marsa yang merasa sedikit kesal entah karena turbulensi atau karena sikap Deren yang dianggapnya keterlaluan.

Deren hanya menggelengkan kepala lalu memberi isyarat dengan menepuk kursi milik Marsa agar wanita itu kembali duduk dan bersikap lebih tenang. Marsa pun menuruti apa yang Deren inginkan, tetapi keduanya kembali terdiam hingga tibalah mereka di kota tujuan, yaitu Jakarta.

Di bandara, Marsa meraih ponsel yang ada di dalam tasnya. Hal itu terlihat jelas dari pantauan Deren.

“Kamu mau ngapain? Mau telepon siapa?” tanya Deren menahan Marsa dengan menutup layar ponsel itu dengan telapak tangannya.

Marsa lantas terkejut dengan sikap itu, lalu menatap Deren dengan mata memicing. “Apa untuk menelepon suamiku sendiri, aku harus meminta izin darimu?” tanya Marsa dengan nada ketus.

“Oh ayolah, Marsa. Berpikirlah dengan cermat. Kita ini ingin memergoki mereka. Kalau kamu menelepon Theo, itu sama saja dengan kita memberitahu mereka. Ini nggak akan bekerja karena pastinya, mereka akan bersikap biasa saja,” cegah Deren membuat Marsa sejenak berpikir.

Wanita itu lantas melemaskan otot lengannya dan menaruh lagi ponsel itu ke dalam tas. “Ya, kamu benar. Tapi ingatlah, kalau tuduhanmu itu tidak terbukti, maka aku nggak akan segan untuk menuntutmu atas dasar pencemaran nama baik!”

“Tapi, kalau kecurigaanku benar, itu artinya kamu harus menggantikan Calista untuk menjadi istriku,” tantang balik Deren dengan nada santainya.

================================

Jangan lupa mampir ke karyaku yang lain yang lagi on going, ya.

Judulnya:
Bukan Salah Cinta
Link: https://www.wattpad.com/story/320936713

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top