Bab 20
Setengah hari berputar begitu cepat, Calista sudah menjalani serangkaian tes fisik dan psikologis di rumah sakit yang ditunjuk Marsa. Wanita ity menjalani ketiga tes dengan santai, sesekali dia menjawab dengan memanipulasi fakta yang ada. Apabila dokter menanyakan dimama dia mendapat semua luka-luka ini dia pastilah akan menjawab dengan pasti bahwabseluruh luka ini dia terima dari suamimya. Lelaki yang sering memperlakukannua dengan kasar dan semena-mena.
"Bagaimana bu Calista, anda baik-baik saja?" tanya Alex setelah melihat raut wajah sendu Calista. Wanita itu keluar dari ruang pemeriksaan dengan mata yang sedikit bengkak dan merah. Alex menyimpulkan bahwa pemeriksaan kali ini pasti angat berat untul clientnya itu.
Calista hanya tersenyum sesekali menyeka air mata yang keluar dari pipinya. Alex yang melohat hal itu langsung memberikan sapu tangannya. Namun di tolak dengan baik oleh Calista.
"Saya akan mengantar Anda terlebih dahulu bu Calista," kata Alex membarengi langkah Calista. Gadis itu hanya mengangguk setuju. Sementara wanita yang sedari tadi di samping Alex sudah tidak tampak lagi. Beberapa kali calista menolehkan kepalanya untuk mencari keberadaannya namun nihil. Gadis itu bak menghilang ditelan bumi. Setiap koridor tidak nampak keberadaannya.
"Oh iya, kita tidak menunggu temanmu?" mata Calista masih mencari sosok yang dia maksud itu. Alex mengikuti arah pandangan Calista lalu menatap wanita itu dengan baik, ia paham siapa yang salah edang dicari wanita cantik di depannya itu.
"Tidak perlu bu, dia akan berada di sini lebih lama. Kami sudah sepakat bahwa dia akan menunggu hasil pemeriksaan anda. Sepertinya akan memakan waktu sedikit lama sehingga lebih baik Anda pulang dan beristirahat dulu, biar Naya yang mengurus semuanya." jelas Alex panjang lebar. Calista hanya terdiam sejenak, dia juga tidak mau menunggu di rumah sakit, membosankan sekali pastinya menunggu lama. Mending tidur di rumah.
"Kalau begitu saya akan pulang sendiri saja, kebetulan teman saya ada yang bekerja di sekitar sini. saya akan menemuinya dulu sebelum pulang," jawab Calista. Sebenarnya dia berpikir akan menghubungi Theo dan meminta lelaki itu untuk menjemputnya. Ia berjalan menjauhi Alex lalu Beberapa kali ia menekan nomer ponsel Theo namun tidak ada balasan. Kecemasan mulai nampak dari wajahnya. Dia tidak membawa uang sepeserpun hari ini karena tasnya tertinggal. Tapi dia juga enggan untuk meminta bantuan Alex, karena dia malu telah menolaknya tadi.
"Kemana sih dia?" keluh Calista setelah percobaan ke sekian kalinya.
"Mungkin kenalan Anda sedang ada janji dengan orang lain bu." sambung Alex. Ternyata lelaki itu masih berdiri di sana menunggu Calista.
“Tidak usah sungkan bu Calista, semua ini sudah di rencanakan bu Marsa. Kami hanya mengikuti perintah beliau aja." sekali lagi alex menawarkan bantuan dengan ramah.
"Ah, saya akan naik bus way saja," pikir Calista, dia masih segan meminta sesuatu yang tadi sudah dia tolak.
"Tidak ada rute busway yang mengarah ke rumah bu Marsa. Asal Anda tahu lokasi tempat itu agak jauh di piggiran jalan raya,” sambung Alex mengingatkan bahwa dirinya adalah satu-satunya yang bisa membawa client pentingnya itu tiba di rumah tanpa tersesat.
“Iya juga sih. Baiklah kalau begitu, maaf merepotkani?” kata Calista.
Mereka berdua pun berjalan menuju pintu depan. Di depan sudah terparkir rapi mobil Xpander sport kesayangan Alex, mobil berwarna metalic itu sangat bersih dan terawat. Mobil yang berbeda dari yang tadi membawanya ke rumah sakit.
Di perjalanan Calista memikirkan bagaimana hasil tes yang ia jalani tadi. Dia berharap semua hasilnya memuaskannya karena semua itu dia butuhkan untuk melawan deren di persidangan.
Dilain tempat Naya sedang berbincang dengan dokter di rumah sakit. Dokter Setyo menjelaskan detail dari pemeriksaan yang telah dijalani Calista. Untuk bukti-bukti kekerasan fisik yang diterima cliennya itu sudah pasti aman namun ada sesuatu yang aneh dari hasil tes psikologi Calista.
Menurut dokter ia perlu memeriksanya lebih lanjut. Bila diijinkan, Dokter Setyo akan membuatkan jadwal temu satu kali lagi. Naya hanya mengangguk setuju, bila hal itu diperlukan dia akan menerimanya dengan senang hati. semakin banyak bukti semakin baik.
"Iya, Alex aku sudah berbicara dengan dokter. Iya, mungkin karena tekanan atau faktor lain. Iya baiklah. Tolong sampaikan ke bu Calista bahwa satu minggu lagi ada jadwal periksa kembali." Naya menghela napas panjang setelah selesai menghubungi Alex.
"Aku masih merasa ada yang salah dengan bu Calista." Naya berjalan santai menuju cafetaria rumah sakit, dengan setumpuk berkas yang baru saja dia terima dari pihak rumah sakit.
Ia langsung memesan semangkuk bakso dengan es jeruk sebagai pendampingnya lalu berjalan menuju meja tidak jauh dari tempat dia memesan makanan. Diletakkannya dokumen itu lalu mulai dia buka san baca satu persatu.
Televisi besar di tengah ruangan menyita perhatiannya. Disana ada seorang yang dia kenal sedang diwawancarai.
"Wah pak Theo seterkenal itu ya. Bangga juga nih punya kenalan seleb. Eh, bukan seleb juga sih tapi apa ya namanya content creator viral.' batin Naya sambil senyam senyum sendiri.
"Wah Theo itu sexy sekali ya," kata salah satu perawat disana.
"Iya, beruntung sekali istrinya pasti,"sahut rekan kerja disebelahnya.
Naya semakin merasa bangga, karena wanita yang mereka bilang beruntung itu adalah atasannya yang dia hormati. Gadis itu krmbali menajamkan pendengarannya, berharap ada pujian-pujian bagus yang ia dengar lagi.
"Tapi apa kau yakin lelaki itu setia?" celetuk seorang karyawan yang sedang meneguk secangkir kopi.
"Jangan Hoaxs deh," jawab seseorang yang lain.
'Idih pasti mereka haters, memang ya orang terkenal pasti banyak haters nya." gumam Naya, namun tingkat keponya membuatnya tetap fokus pada pembicaraan dua orang itu.
"Aku serius. istriku saksinya. Dia bersama model ini." lelaki itu nampak menyodorkan majalah dengan sebuah foto seorang wanita namun Naya tidak bisa melihat bagaimana wajahnya.
"Benakah, apa kau yakin orang itu model terkenal yang baru naik daun itu. Siapa namanya?"
"Calista," lelaki itu kembali berkelakar.
Mata Naya langsung membulat tak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia tidak salah dengarkan yang mereka bicarakan itu Theo dan calista. Wanita yang baru saja bersamanya. Naya menepis kabar itu, dan menganggapnya hanya sekedar celotehan heters.
"Aku yakin, beberapa kali istriku melihatnya bersama lelaki kaya itu masuk ke hotel tempat istriku bekerja."
"Mungkin rapat atau membahas endorsment kali."
Naya manggut-manggut mendengarnya. Sebenarnya gadis itu sedikit curiga dengan Calista tapi dia sendiri tidak punya kuasa untuk menjudge orang tanpa bukti. apa lagi menyalahkan hanya karena omongan orang. Sama sekali bukan ciri khas pengacara. Mereka bisa membela harus dengan bukti bukan penilaian objektif semata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top