Bab 2
Calista tiba di sebuah apartemen mewah yang sengaja disewanya untuk hunian sementara, selama dirinya dan Deren juga kedua jagoan kecilnya berada di Jakarta. Wanita itu masih berdiam diri sejenak di depan pintu unit yang dia huni untuk membuang kegugupannya saat bertemu Deren nantinya.
Setelah dirasa perasaannya bisa dia kendalikan, Calista pun masuk dan menghidupkan beberapa lampu karena suasana di ruangan itu cukup gelap. Dia yakin jika Deren dan kedua anaknya sudah tertidur pulas yang membuatnya sedikit merasa lega.
Namun, Calista tiba-tiba terkejut hingga kedua kakinya terasa lemas saat suara bariton milik sang suami terdengar jelas di telinganya. Wanita itu menggembungkan pipi dan membuang napasnya dengan kasar.
“Bisa nggak, nggak ngagetin gitu?” tanya Calista dengan ketus yang kemudian pergi begitu saja dari hadapan Deren hendak menuju kamarnya.
“Aku tanya, kamu dari mana aja selarut ini baru pulang?” Deren melayangkan pertanyaan yang sama seperti saat dirinya membuat sang istri terkejut.
Lagi-lagi Calista tidak menggubris pertanyaan tersebut dan memilih melanjutkan langkahnya ke kamar. Hal itu tentu saja membuat Deren mulai geram.
Laki-laki itu langsung mempercepat langkahnya dan menarik lengan sang istri. Akan tetapi, dengan kasar Calista menghempaskan tangan Deren dan menatap lelaki yang memiliki lesung pipi itu dengan tajam.
“Apa, sih? Kasar banget,” ujar Calista dengan mengernyitkan wajah dan memegangi tangan yang sebelumnya dipegang dengan sedikit oleh Deren.
“Oke, aku minta maaf. Tapi, tolong dong jawab pertanyaanku. Kamu minta aku nggak terlalu curigaan, tapi sikapmu yang seperti inilah yang makin membuat aku curiga,” terang Deren yang sekuat tenaga menahan emosinya.
Bagaimana Deren tidak emosi? Sejak hamil anak keduanya, sikap Calista berubah drastis. Wanita itu seolah enggan untuk disentuh, bahkan cenderung malas di rumah saat Deren sedang ada di rumah. Selalu saja ada alasan untuk wanita itu agar bisa menghindari Deren.
Calista mengembuskan napas kasar. “Apa aku perlu menjawab pertanyaan yang udah jelas kamu tahu apa jawabannya?”
“Lagi ada acara sama agency di restoran Oke, aku tahu. Tapi, tadi aku nyamperin kamu ke restoran yang kamu bilang tadi, tapi menejermu bilang kalau kamu udah balik dari tadi. Aku telepon juga nggak kamu angkat-angkat,” ucap Deren yang justru terdengar seperti sedang menginterogasi Calista.
“Jadi kamu nggak percaya aku, terus kamu mutusin untuk mata-matain aku? Gitu? Aku nggak percaya, ya, kamu bisa ngelakuin hal ini hanya karena rasa cemburu buta kamu ini? Udahlah, males berdebat sama kamu. Aku jelasin juga kamu nggak akan ngerti. Aku capek, mau tidur!” pungkas Calista yang langsung beranjak ke kamarnya.
Hati wanita itu sebenarnya takut jika Deren sampai mengetahui hubungannya dengan Theo, karena jelas hal itu akan berdampak pada karir modelingnya. Itulah mengapa, Calista selalu menyudutkan sikap Deren yang posesif saat mereka sedang berdebat tentang kecurigaan sang suami terhadapnya.
Calista langsung masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya di bawah shower. Bukan hanya untuk menghilangkan penat, hal itu dia lakukan juga untuk menyamarkan aroma tubuh Theo yang mungkin saja masih melekat di tubuhnya. Sayangnya, wanita dengan tinggi 178 sentimeter itu rupanya lupa mengunci pintu kamar mandi, hingga Deren dengan mudahnya bisa masuk dan mengejutkan Calista yang sedang menutup mata, dengan sebuah pelukan hangat.
“Ka-kamu mau ngapain?” tanya Calista dengan gugup saat tubuhnya yang tanpa terbalut sehelai benang pun disentuh oleh Deren.
“Sudah lama kita nggak meluangkan waktu berdua seperti ini. Adanya selalu berantem. Kayanya sekarang kita harus lebih sering seperti ini biar nggak berantem-berantem lagi,” ucap Deren yang kini juga sudah basah kuyup.
Sayangnya, saat lelaki itu mencium pundak sang istri, indra penciumannya menangkap aroma parfum maskulin yang tentu saja bukan darinya. Namun, sebisa mungkin Deren berpikir positif, mengingat dunia modeling tidak hanya berinteraksi dengan sesama wanita. Tak jarang ada klien yang mungkin saja memeluk walau sekadar tanda sapa untuk sang model.
Sejujurnya Calista sangat lelah setelah pertempurannya dengan Theo yang belum genap satu jam yang lalu berakhir. Namun, untuk menolak Deren pun dia tak kuasa, karena tidak ingin lelaki itu makin mencurigainya jika Calista terlalu sering menolaknya. Terpaksa, malam itu Calista harus melayani apa yang Deren inginkan.
Kalau saja wanita itu bisa membandingkan, Theo jauh lebih memuaskan hasratnya dibanding dengan Deren yang tak pernah berfantasi liar saat mereka bercinta. Terlebih, sang suami tak pernah membuat dirinya benar-benar puas. Pasalnya, lelaki itu selalu saja mencapai klimaks dan menghentikan permainannya tanpa mau memedulikan, apakah dirinya sudah mencapai hal yang sama atau belum.
Benar saja, malam itu kembali terjadi, Deren lagi-lagi menghentikan permainannya saat dia sendiri sudah tuntas dengan urusannya, padahal Calista baru akan mencapai puncaknya. Hal inilah yang kemudian membuat wanita itu berani untuk memulai hubungan dengan pria lain, yang tak lain adalah Theo.
“Makasih ya, Sayang,” ungkap Deren dengan penuh cinta yang kemudian langsung mengecup kening wanita berambut panjang separuh badan itu.
Calista hanya berdeham sebagai respons kepada sang suami. Hatinya masih dongkol, karena Deren tak pernah bisa memuaskan hasratnya.
“Oh, ya, Sayang besok rencananya aku mau ajak kamu dan anak-anak ketemu sama Marsa dan Theo. Mumpung kita di Jakarta. Kamu setuju nggak?” tanya Deren yang membuat Calista merasa syok.
Seketika jantung Calista berdegup begitu kencang. Antara senang dan khawatir yang wanita itu rasakan.
Kenapa Deren tiba-tiba mengajakku menemui Marsa dan Theo? Apa jangan-jangan sebenarnya dia mengetahui sesuatu tentang kami, lalu ingin membongkarnya di depan Marsa? gumam Calista dalam hatinya.
Wanita itu masih terus terdiam seraya sibuk dengan pemikirannya sendiri. Bahkan, hal itu juga membuat tatapan mata Calista terlihat kosong.
Deren lantas menepuk pundak sang istri untuk menyadarkan wanita berdagu lancip itu dari lamunannya.
“Kenapa bengong? Apa kamu tidak setuju dengan rencanaku?” tanya Deren penasaran.
“Ah, nggak, bukan ... bukan begitu ....” Calista menggaruk keningnya seraya sedikit menundukkan kepalanya untuk menutupi wajahnya yang terasa menegang. “Iya, iya, boleh. Besok kita ke sana. Lagi pula, nggak enak juga kalau kita ada di sini tapi nggak mampir ke rumah mereka.”
“Ya udah, besok pagi aku akan mengabari Marsa. Kalau sekarang sudah dini hari juga, mereka pasti sedang istirahat. Dan sebaiknya, kita juga istirahat,” ajak Deren yang langsung diiakan oleh Calista.
Keduanya pun langsung merebahkan diri. Namun, berbeda dengan sang suami yang langsung tertidur lelap, Calista justru masih harus berusaha menenangkan hati dan pikirannya. Ketakutan akan terbongkarnya hubungan gelap itu terus saja mengganggu benak Calista sepanjang sisa malam itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top