Bab 19
“Deren, aku harus segera kembali ke hotel, karena jam tiga sore ini, ada janji dengan klien,” ucap Marsa setelah merasa cukup yakin jika Deren tidak benar-benar melakukan KDRT kepada Calista.
Wanita itu menoleh ke kanan, di mana ada area permainan Street Basketball dan kedua anak Deren dan Calista sedang asyik bermain. Marsa begitu lega, walaupun dia tidak tahu siapa yang berbohong, apakah Deren atau Calista, tetapi masalah mereka tidak sampai membuat Leon dan Zayn terkena dampak psikologisnya.
“Baiklah, aku akan mengantarmu,” ucap Deren yang kemudian memanggil Zayn dan Leon agar keduanya berhenti bermain. “Ayo, kita antar Tante Marsa dulu. Setelah itu, baru kita kembali ke sini,” lanjutnya.
“Tante sudah mau pulang? Main sama kita nggak seru, ya?” tanya Leon dengan lesu.
Marsa membungkukkan tubuh di hadapan bocah kecil berparas tampan itu. Tangannya terulur memegang pipi yang sedikit gembul. Wajahnya menunjukkan penyesalan.
“Bukan begitu, Sayang. Tapi Tante masih ada kerjaan. Kapan-kapan kita main lagi, ya. Tante janji. Atau gimana kalau kalian nanti ikut Tante ke rumah Tante? Kebetulan, Mama kalian ada di sana. Gimana? Mau, kan?” Ucapan Marsa sontak saja membuat kedua bocah itu merasa begitu girang.
Leon lantas menoleh kepada Deren dengan wajah penuh harap.
“Oh, tidak, jangan menatap seperti itu,” gumam Deren sambil membuang muka saat putra sulungnya itu menatapnya, karena takut hatinya akan iba.
Tidak, bukan Deren tidak ingin mereka ikut dengan Marsa, karena bagaimana pun dirinya sudah sangat mengenal wanita itu, jadi mustahil rasanya jika dia akan menyakiti kedua jagoannya. Hanya saja, Deren merasa tak enak hati, takut kalau-kalau Leon atau Zayn justru akan merepotkan sang sahabat. Mengingat kedua bocah itu sangatlah atraktif.
Marsa menegakkan tubuh, tangannya merapikan jas putih yang melingkar di lengan tangan yang lain. Setelah itu, menatap Deren dengan penuh kejengkelan.
“Apa kamu takut kalau anak-anakmu tidak bisa kuurus, Deren? Atau, kamu takut kalau aku akan menculik mereka?” tanya Marsa setengah menyindir Deren, karena merasa jika sahabatnya itu tak memercayainya.
“Bu-bukan begitu. Aku takut mereka merepotkanmu. Kamu tidak mengenal mereka ... mereka ini sungguh ....”
“Sudahlah, Deren. Aku tahu kamu ragu. Aku saja belum memiliki anak, bagaimana bisa aku mengurus kedua anakmu? Begitu, kan penjelasannya?” Suara Marsa mulai bergetar. Hatinya sangat merindukan buah hati yang lahir dari rahimnya sendiri. Akan tetapi, apadaya karena Tuhan belum juga memberinya kepercayaan.
“Sial!” umpat Deren. “Ayolah, Marsa. Dari dulu hingga sekarang, aku nggak pernah ingin melihatmu bersedih. Baiklah, aku mengalah. Lagi pula di sana ada Calista. Nanti, kalau kamu sudah akan kembali ke Jakarta lebih dulu, kabari aku. Aku akan mengantar anak-anak ke hotel dan mengantar kalian ke bandara. Kalau sekarang, tidak! Kamu masih harus menyelesaikan urusanmu dulu. Oke.”
Marsa sangat senang mendengar pernyataan Deren, hingga tanpa disengaja dan sadari, dia langsung memeluk Deren di tempat umum.
“Kok Ayah pelukan sama Tante Marsa? Kata Ayah, kan, kita nggak boleh pelukan sama orang lain selain keluarga kita. Memangnya Tante Marsa keluarga kita juga, ya, Yah?” Pertanyaan polos itu sontak saja membuat Marsa salah tingkah dan segera melepas pelukannya kepada Deren.
Sedangkan lelaki itu, masih mematung karena merasa syok. Jantungnya pun ikut berdebar lebih cepat. Rasa yang sama dia rasakan seperti belasan tahun silam saat mereka masih duduk di bangku kuliah.
Deren menatap Marsa dengan penuh arti, bahkan hingga tak berkedip. Bayangan masa-masa kuliah, di saat Theo dan Calista belum hadir di kehidupan keduanya, muncul begitu saja.
Marsa yang merasa Deren sedang melamun, langsung saja menepuk pundak sahabat lamanya itu dengan sangat keras. “Kalau kamu melamun seperti itu, bukan tidak mungkin kedua anakmu ini akan diculik orang di hadapanmu sendiri. Jangan berpikir macam-macam. Tadi itu aku hanya terlalu senang karena kamu mengizinkan mereka ikut denganku.”
Deren mendengkus setelah mendengar pernyataan itu, dalam hati dia begitu salah tingkah karena Marsa berhasil menebak apa yang muncul dalam benaknya. Tentang perasaannya yang dulu pernah dianggap Marsa hanya sebagai candaan. Akan tetapi, lain hati, lain sikap, Deren tidak ingin Marsa tahu yang sebenarnya karena jelas hal itu akan merusak semua hubungan yang ada.
“Kamu tuh, yang jangan berburuk sangka. Aku melamun karena sedang memikirkan pekerjaan. Sudahlah, ayo aku antar ke hotel. Empat puluh lima menit lagi kamu harus bertemu dengan klienmu, kan?” ucap Deren mengalihkan pembicaraan.
Mereka pun pergi ke hotel, tempat Marsa menginap. Sesampainya di sana, Zayn, anak bungsu Deren merengek, meminta ikut tinggal di sana. Sungguh lelaki itu sangat kewalahan menenangkan bocah berusia tiga tahun yang sedang tantrum itu. Marsa pun merasa bingung, karena tak memiliki pengalaman mengatasi anak yang sedang mengalami tantrum.
“Deren, sebaiknya biarkan dia ikut aku. Atau kamu juga bisa ikut untuk menemani mereka. Kasihan Zayn kalau seperti ini. Orang juga akan berpikir kalau kita sudah menculik dia dari ibunya kalau terus-terusan menangis begini,” pinta Marsa dengan wajah sedih seraya memegangi tangan mungil Zayn.
Tak ada pilihan, Deren pun mengikuti saran tersebut. Mereka semua akhirnya masuk ke kamar Marsa. Bahkan, Zayn dan Leon sampai tertidur di sana saat Marsa sedang melakukan pertemuan dengan kliennya.
Cukup lama Deren menunggu Marsa. Sampai akhirnya, dia yang merasa bosan karena tak bisa melakukan apa pun, mencoba menelepon Calista yang sedang berada di Jakarta. Sengaja selama ini dirinya tak pernah menegur Calista tentang hal yang sudah wanita itu rencanakan. Deren mulai menyadari betapa licik istrinya itu, hingga dia merasa melawan dengan kata kasar atau perbuatan yang menyinggung, hanya akan merugikan diri sendiri.
Deren yakin, apa pun yang akan dia lakukan, walaupun hanya teguran kecil akan menjadikan hal itu senjata untuk Calista. Oleh karena itulah dirinya hanya diam, mengikuti semua permainan wanita itu. Setidaknya sampai semua bukti perselingkuhan sang istri sudah berada di tangannya.
Beberapa kali Deren berusaha menelepon istrinya, tetapi tak juga diangkat. “Ini yang terakhir. Kalau sampai ini belum diangkat juga, aku nggak akan menelepon lagi,” gumam Deren seraya meletakkan ponsel di telinganya.
Beruntung, panggilan tersebut langsung diangkat oleh Calista.”Ada apalagi, sih? Belum puas kamu pergi membawa anak-anak dan meninggalkanku sendiri di apartemen ini? Apa kamu nggak sadar kalau aku sangat ingin berkumpul dengan anak-anak? Seenaknya membawa mereka, memisahkannya denganku!”
“Sampai kapan kamu akan berakting, Cal? Bagaimana bisa kamu kesepian, kalau kamu saja tinggal di rumah Marsa? Bukankah di sana ada Theo dan timnya yang bisa kamu ajak ngobrol?” sergah Deren membuat Calista yang mendengar itu di seberang telepon merasa sangat syok.
“Ka-kamu tahu ....”
“Ya, aku tahu. Aku bertemu dengan Marsa. Dia sedang ada tugas ke Surabaya. Dia bilang kalau aku sudah tega melukai tanganmu hingga berdarah. Apa-apaan ini, Cal? Apa yang membuatmu sampai tega memfitnahku?” tanya Deren dengan nada lembut.
Hatinya bergetar, karena baru pertama kali ini dia difitnah oleh orang yang paling dekat dengannya.
“A-a ....”
“Calista, Sayang, ayo makan dulu, makanannya sudah siap.” Terdengar suara laki-laki memanggil nama sang istri di seberang telepon sana. Suara tersebut sangat familier.
“Siapa itu, Cal? Kenapa suaranya aku sangat kenal? Berarti dugaanku selama ini benar, kan, kalau kamu memiliki pria lain di belakangku? Sekarang katakan, siapa dia?” tanya Deren dengan nada membentak dan tangan yang sudah mengepal erat.
Belum sempat mendapat respons, Calista justru memutus sambungan teleponnya. Hati Deren makin geram, tiba-tiba terlintas bayangan Theo saat mereka sedang berbicara.
“Suara itu ....” Mata Deren membulat sempurna, tubuhnya seketika lemas dan meluruh ke lantai hingga ponsel canggih yang semula dia genggam sangat erat, terlepas dan jatuh sampai layarnya retak.
Marsa yang juga kembali saat itu bersama dengan Felix, sangat terkejut melihat Deren terduduk di lantai dengan tatapan mata kosong, tetapi tak henti mengalirkan buliran bening dari kedua sudutnya.
“Deren .... Kamu kenapa?” tanya Marsa sambil berlari menghampiri lelaki itu.
Felix yang sedang bersama Marsa saat itu pun langsung membantu mengangkat tubuh kekar Deren.
“Hei, Bro, are you okay?What’s going on here?” tanya Felix setelah berhasil mendudukkan tubuh Deren di sofa yang ada di kamar itu.
Deren perlahan melirik ke arah Marsa yang sedang menyodorkan segelas air kepadanya. “Sa, sebaiknya kamu balik ke Jakarta sekarang juga.”
“Hah?” Marsa merasa keheranan. “Hei, kenapa kamu mengusirku?”
“Selamatkan rumah tanggamu atau kamu akan menyesal. Jangan piara ular di dalam rumah kalian,” ucap Deren dengan nada datar dan tentu saja itu membuat Marsa makin kebingungan.
“Wow, i can’t interfere apparently. Then, so i’ve to go. We can talk again in another day,” pamit Felix yang merasa memang ada sesuatu yang sebaiknya tidak dia ketahui.
“Oke, Felix. Thanks, ya. Nanti aku akan kabari kamu soal rencanamu untuk pindah ke Jakarta,” sahut Marsa.
“Oke. See you. Deren, Marsa, aku tinggal dulu.” Felix pun pergi dari sana, membiarkan Marsa dan Deren membicarakan hal yang tidak seharusnya dia dengar.
“Deren, apa maksudmu mengatakan hal itu? Siapa ular yang kamu maksud?” tanya Marsa setelah memastikan Felix benar-benar sudah keluar dari kamar itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top