Bab 18
"Hari ini kita terlambat," keluh wanita berpotongan rambut pendek sebahu yang sekarang sudah berdiri di depan pintu rumah Marsa. Di samping kanannya ada seorang lelaki berpenampilan casual dengan celana hitam dan kaos biru dongker, topi di atas kepalanya tidak membuat wajah brondongnya tertutupi.
"Sudahlah Naya, tenangkan sedikit dirimu. Toh Bu Marsa juga sedang di Surabaya, tidak apalah sesekali terlambat toh hanya tiga puluh menit gini," jawab lelaki itu santai.
"Denger ya Alex yang namanya terlambat itu mau atasan ada ataupu tidak, mau ada sangsi maupu tidak tetap aja rasanya itu mengganjal di hati. Ini semua gara-gara kamu bangunnya kesiangan," oceh gadis muda berusia sekitar 25 tahun itu sambil mengerutkan kening
"Apaan, kenapa jadi aku yang salah. Kamu juga kesiangan kan. Dasar suka bener sih nyalah-nyalahin orang."
"Hei aku bicara kenyataan ya," balas gadis manis itu tidak terima.
"Kenyataan apanya?" Alex tetap aja menanggapi dengan santainya. Meski suara perdebatan mereka sekarang sudah terdengar seantero gang. Beberapa ibu yang keluar untuk berbelanja atau sekedar menhobrol sekarang mata mereka tertuju pada dua orang di epan rumah Marsa.
"Eghmm..." suara berat mengalihkan perdebatan konyol dua orang itu. "Naya, Alex, kalau kalian datang kesini hanya mau membuat keributan di rumah orang mending kalian segera pergi."
"Hehe, selamat siang pak Theo jangan begitu dong pak. Maafkan kami. Kami ada urusan penting nih pak, jadi jangan usir kami ya. Bu Marsa yang meminta kami datang," jawab Naya dengan senyum andalannya itu, berharap suami atasannya itu mau mengerti dan membiarkan mereka melakukan tugasnya sebelum kena omel Bu Marsa.
"Dasaf kenakak-kanakan," ledek Alex.
"Apa katamu?"
"Hah,." Hela Theo tidak habis pikir. Lelaki itu memang udah terbiasa dengan sifat dua makhluk ini. Mereka ini orang-orang yang sangat menyenangkan dimata Theo dan istrinya. Selalu aja bisa membuat tawa pecah di rumah ini. Namun terkadang kedua orang ini juga terlalu mengganggu kondusifitas warga sekitar.
"kalian berdua ini mending berpacaran saja deh, sudah sangat cocok begitu. Tunggu apa lagi. Ayolah Alex, nanti keburu direbut orang baru menyesal kamu," goda Theo.
"Apa? pacaran? sama dia, idih ga mau," ucap Naya lalu membuang muka ke arah lain. Gadia itu sebenarnya tertarik dengan Alex namun Alex yang ga pekaan itu sering membuat kesal Naya. Hal itulah yang menjadikan mereka akhirnya sering berdebat.
"Lah kamu pikir aku mau?" jawab Alex.
"Ya, ya, ya, ayo kalian masuk dulu. Aku akan panggilkan Calista." Theo pun mempersilakan keduanya untuk masuk dan duduk di ruang tamu. "Hmm, sepertinya Calista masih mandi. Kalian mau minum apa? Teh? Kopi? Latte? air putih?" tanya Theo.
"Latte pak," jawab Alex cepat. Latte itu adalah minuman kesukaan Alex dan latte terenak yang pernah lelaki itu minum adalah buatan Theo. Makanya Alex sangat senang jika diminta memilih minuman.
"Dih ga tau malu. Naya apa aja mau pak." sambung Naya.
"Lah kan ditawarin, ga tah malu dari mana?"
"Sudah, sudah, Naya sama saja ya dengan Alex. Dua Latte akan segera siap. Kalian tunggu dulu saja." Theo yang masih mengenakan kaos oblong dengan celana pendeknya berjalan menuju dapur.
Alex dan Naya menunggu lumayan lama, mereka hanya melihat sekitar rumah yang sudah dua tahun ini rajin mereka kunjungi. Marsa memang sering mengundang teman dan bawahannya datang kerumah untuk sekedar makan merayakan keberhasilan persidangan yang mereka tangani. Atau hanya membahas kasus, Marsa sering meminta mereka berdua ke rumah.
"Kalau tidak ada Bu Marsa seperti ada yang kurang di rumah ini," gumam Naya.
Rumah yang minimalis namun kesan mewah tidak bisa dihilangkan darinya itu membuat Naya teringat akan kehangatan rumahnya di kampung. Bu marsa dan Pak Theo yang selalu harmonis sering menjadikan gadis itu iri akan indahnya pernikahan.
"Hei, jangan mulai deh. Lebai banget sih, bu Marsa kan cuma sehari ke Surabaya ga selamanya," jawab Alex sedikit ngegas. Dia terkadang tidak habis pikir. Diksi yang dimiliki rekannya ini kurang variatif atau apa, dia selalu aja salah memilih kata-kata dalam mengungkapkan maksud hati.
"Halo, selamat siang. Kalian Naya dan Alex?" sapa wanita berpenampilan sederhana dengan gaun panjang di bawah lutut berwarna biru langit dengn hiasan motif bunga deasi di sekitarnya membuat penampilan wanita itu begitu polos dan hangat.
"Oh, iya. Saya Naya dan ini Alex. Anda model terkenal itu ya, client sekaligus sahabat bu Marsa." Naya berdiri kemudian mengangkat tangannya ke arah Calista lagi-lagi dengan senyum kebanggaannya. Calistapun dengan senang hati menyambut uluran tangan naya.
Mereka bertiga mengobrol beberapa saat. Naya dan Alex sesekali berada dalam mode serius dan mencatat beberapa hal yang dirasa penting, sebelum akhirnya latte buatan pak Theo tersaji hangat di atas meja.
"Kalian lanjutkan saja. Saya harus keluar sebentar ada urusan pekerjaan," kata Theo. Kali ini dia sudah mengenakan stelas jas resmi menenteng tas ditangan kiri dan ponsel di tangan kanannya kemudian berlalu pergi.
"Sepertinya kita juga harus pergi. Ayo bu Calista. Jadwal janji dengan dokter sebentar lagi. Sebaiknya kita bergegas."
Ketiganya pergi menuju rumah sakit tak jauh dari lokasi mereka saat ini. Lalu lalang pasien juga para pekerja medis langsung menyambut kedatangan mereka bertiga sesaat setelah memarkirkan mobil. Naya dan Ales memang engaja di minta Marsa untuk mengumpulkan sebanyak apapun bukti yang bisa didapat untuk menguatkan tuntutan mereka di persidangan.
Hari ini rencananya mereka akan menemui tiga dokter sekaligus, dokter umum, dokter spesialis kulit kelamin serta psikiatri untuk memastikan bahwa client mereka ini memang benar-benar mendapat kekerasan baik fisik, sexual maupun psikologis. Mereka harus memastikan dan mengambil data dengan benar.
Bila mereka sukses dalam pengumpulan bukti maka kemenangan gemilang tidak akan diragukan lagi. Kasus itu pada dasarnya tergantung bukti dan saksi. Jika mereka memegang hal itu bisa dipastikan kasus apapun akan berhasil ditangani dengan baik.
"Halo," jawab Naya kepada seorang wanita diujung panggilan. "Ya bu Marsa, baik. Saya akan mencatatnya bu. Anda tidak perlu khawatir. Saya dan Alex akan mengurusnya. Ya benar, saya sedang di rumah sakit. Ya baik bu."
"Apa yang dikatakan bu Marsa?" tanya Alex. Lelaki itu duduk di samping Naya di ruang tunggu rumah sakit. Saat ini Calista sedang masuk di ruangan dokter untuk menjalani beberapa pemeriksaan
"Kita harus mencatat dengan baik dan bukti sekecil apapun tidak boleh terlewat," kata Naya sedikit lesu. Gadis itu menjatuhkan punggungnya di punggung kursi. Memejamkan matanya sambil merenung.
"Kenapa kamu Nay? Capek? lesu banget sih?" Alex yang menyadari perubahan sikap Naya menggeser posisi tubuhnya mendekat.
"Eh, Lex. Kamu merasa ga sih ada yang aneh tadi pagi?" kata Naya
"Aneh? Aneh apaan?" mata Alex sedikit berputar mengingat kembali kejadian tadi pagi. kira-kira kejadian apa yang membuat Naya sampai berpikir aneh-aneh. Tidak biasanya gadis ini sepeka itu.
"itu tuh rambut pak Theo dan rambut bu Calista kok basah dalam tempo bersamaan ya?" pertanyaan konyol keluar ari bibir mungil naya. Membuat Alex ingin tertaw terbahak-bahak mendengarnya.
"Ya basah lah Nay, orang mereka baru habis mandi. Apanya yang aneh. hmm, tapi kalau ipikir aneh juga sih kok bisa barengan gitu."
"Nah kan aneh kan?"
"Apa jangan-jangan."
"Ga usah berpikir macam-macam deh Nay, bukan urusan kita juga kan. Mending urusi urusan masing-masing saja." pinta Alex. Lelaki itu sebenarnya juga merasa ada yabg janggal semenjak tadi namun ia urungkan. Dia merasa tatapan mata pak Theo berbeda sekali saat menatap bu Calista. Ada sesuatu yang salah di antara keduanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top