Bab 17
Deren tertawa lebar sebelum akhirnya meminum minuman yang sudah dia pesan saat memasuki restoran yang ada di Grand Mercure Surabaya Hotel.
“Dan kamu percaya kalau aku yang melakukan itu? Marsa, mumpung kamu ada di Surabaya, mari ikut aku ke rumah dan kamu bisa tanya sepuasnya ke orang tuaku, kapan aku datang, dan kenapa aku pulang tanpa Calista,” ucap Deren seraya meletakkan gelas jus miliknya kembali ke meja.
Ya, setelah Marsa puas menyindir Deren karena kekesalannya yang memuncak, lelaki itu langsung menyeret Marsa ke restoran di hotel tersebut. Di sana Marsa menceritakan semua yang dia dengar dari mulut manis Calista kepada Deren dengan begitu menggebu-gebu. Tak segan, tangan wanita itu sampai menggebrak meja berbentuk bulat di depannya.
Harapan Marsa jika Deren akan mengakui semuanya setelah melihat kemarahannya, berakhir sia-sia karena tak sedikit pun Deren mengaminkan hal itu. Dia justru mengelak dan terus mengelak tuduhan demi tuduhan yang sahabatnya itu layangkan padanya.
“Logika aja, deh, hal apa yang bikin aku akan berani melakukannya? Aku ini seorang pengacara juga, sama seperti kamu. Aku sangat mengerti undang-undang dan hukum yang berlaku di negeri ini. Kalau aku bisa sejahat itu sama istriku sendiri, kenapa nggak dari dulu aja aku melakukannya? Kenapa baru sekarang istriku itu melayangkan gugatan ini padaku? Sudahkah kamu menelaah semuanya, Marsaulina Lubis?”
Perkataan Deren tersebut sukses membungkam Marsa yang masih berusaha mendebatnya. Bahkan, wanita yang saat itu duduk berhadapan dengannya itu, langsung termenung, matanya melihat ke satu sudut sebelah kanan, perlahan kening pun mulai mengerut seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Kamu pikir, aku akan berani melakukan itu di depan anak-anak? Apa aku se-nggak waras itu sampai tega melukai perasaan mereka dengan menyiksa ibu mereka di hadapan mereka sendiri? Kamu bisa ikut aku ke rumah dan cek psikologis mereka. Kalau aku benar melakukan itu di depan mereka, pastinya mereka akan takut saat melihatku. Bahkan mungkin mereka akan menganggapku seorang monster yang mengerikan.”
Lagi-lagi Deren membuat Marsa makin bimbang. Kalau memang benar begitu, lalu kenapa Calista tega membohongiku? Apa motifnya? Tanya Marsa pada dirinya sendiri dalam hati.
“Kamu sudah ditipu oleh Calista. Aku mendapat info kalau dia telah berselingkuh dengan laki-laki lain dan aku sedang menyelidikinya. Sebaiknya, kamu berhenti menjadi kuasa hukumnya, atau kalau tidak, kamu akan dipermalukan oleh wanita licik itu!” usul Deren sambil meraih lagi gelas di depannya dan meminum isinya sampai habis. Sedangkan Marsa, wanita itu masih terdiam.
“Kalau tidak ada lagi yang akan kita bicarakan dan kamu tidak ingin ikut aku menemui anak-anakku, baiklah. Aku tidak memaksa, tapi aku harus segera pergi. Aku sudah berjanji akan menemani anak-anak ke Time Zone,” lanjut Deren yang kemudian beranjak dan hendak pergi dari tempat itu.
“Deren, tunggu!” pinta Marsa menghentikan langkah Deren.
Wanita itu lantas berdiri dan menghampiri Deren yanh sudah berada tiga langkah di belakang tubuhnya menuju pintu keluar restoran tersebut.
Mendengar panggilan itu Deren pun langsung berbalik badan, hingga keduanya kini saling berhadapan dengan jarak sekitar tak lebih dari lima puluh sentimeter. Bibir lelaki itu tertarik ke atas dan menunjukkan senyum tipis kepada Marsa dengan kedua tangan dia masukkan ke dalam saku jas blazer ala Korea berwarna hitam yang dia kenakan.
“Aku mau ikut, kalau kamu tidak keberatan,” ucap Marsa dengan tegas.
Deren pun hanya mengangguk, lalu berbalik badan tanpa merespons wanita itu dengan perkataan. Walaupun begitu, Marsa pun sudah mengerti maksud anggukan dan gestur tubuh sahabat lamanya itu, kalau Deren memberinya izin untuk ikut bersamanya.
Kedua orang itu pun berjalan beriringan menuju parkir yang ada di halaman bagian samping hotel.
“Tunggu dulu, aku mau menemui sopir dan mengabari asistenku untuk me-reschedule jadwalku hari ini,” pinta Marsa yang langsung dipersilakan oleh Deren.
Dengan cepat Marsa mencari keberadaan Pak Edy yang dia yakini berada di dalam mobil. Matanya awas dan menoleh ke kanan dan kiri mencari mobil yang dia sewa. Langkahnya begitu cepat, hingga akhirnya, dia mendengar suara panggilan dari seorang laki-laki yang mirip dengan suara Pak Edy.
Marsa langsung menoleh ke belakang, dan benar saja, sang sopir berada di sana dan berdiri di depan pintu mobil.
Marsa langsung menghampiri Pak Edy dan mengatakan jika pertemuannya dengan klien hari itu, sudah dia jadwalkan ulang di sore hari. “Sekarang ada urusan yang lebih penting yang harus aku selesaikan dulu. Pak Edy boleh pulang dulu, nanti sore, sekitar jam tiga, tolong jemput ke sini, ya, Pak,” pinta Marsa.
Pak Edy tersenyum sambil mengangguk pelan. “Baik, Mbak. Kalau begitu saya izin mau pulang dulu, kebetulan mau mengantar pesanan istri.”
“Hati-hati, ya, Pak,” ucap Marsa saat Pak Edy sudah siap dengan kemudinya.
Marsa masih berdiri di tempat itu, memastikan sang sopir benar-benar pergi dari hotel itu. Setelah itu, Marsa pun bergegas ke mobil Deren.
Wanita menggelengkan kepala, karena baru kali ini setelah lebih dari sepuluh tahun, dirinya membuka pintu mobil sendiri, padahal ada orang yang menyopirinya.
“Ayo, buruan berangkat, karena sebelum jam tiga sore, aku sudah harus kembali ke sini,” ucap Marsa setelah menutup pintu mobil itu sedikit kasar, membuat Deren—si pemilik mobil—ingin mengumpat kasar, khawatir pintu mobil itu akan lecet.
Tak berapa lama mereka mengitari jalanan di Surabaya, sampailah mereka di perumahan Griya Galaxy, salah satu komplek perumahan elit di Surabaya yang tak jauh dari jalan MERR (Middle East Ring Road).
Dari luar pagar, terlihat dua bocah laki-laki sedang bermain bola ditemani seorang wanita paruh baya, yang diketahui adalah ibunda Deren, dan seorang wanita muda mengenakan pakaian khas pengasuh anak.
Deren sengaja menghentikan mobilnya di luar, agak jauh dari rumah itu. “Lihatlah. Mereka begitu senang bermain. Adakah kamu lihat wajah mereka tertekan dan ketakutan? Percayalah, aku tidak pernah melakukan KDRT terhadap klienmu itu.”
“Lalu, bagaimana bisa Calista berkata bohong? Orang-orang kepercayaanku juga mengatakan kalau kamu ....”
“Aku nggak tahu apa yang dia lakukan, atau perbuatanku yang mana yang membuat mata-matamu meragukanku. Tapi, kamu boleh tanya kepada orang yang bekerja di rumahku, bagaimana sikapku pada Calista.”
Marsa menatap Deren begitu lekat. Wanitanya menangkap tatapan penuh cinta di mata lelaki di sampingnya itu tatkala melihat kedua buah hatinya bermain dengan riang.
Ada yang aneh. Ada yang Calista sembunyikan dariku. Tapi apa? Kenapa dia tega memfitnah suaminya sendiri. Kalau alasan hanya ingin bercerai ... kenapa dia sampai harus menjatuhkan nama baik Deren? Apa untuk hak asuh anak? gumam Marsa dalam hatinya.
“Lusa aku akan kembali ke Jakarta karena polisi sudah mengirimkan surat panggilan pemeriksaan dugaan KDRT yang kaian laporkan. Aku tidak akan melawanmu, bukan karena takut, tapi aku tidak ingin membuatmu malu karena ulah istriku. Tapi, aku akan mengatakan yang sebenarnya kepada pihak kepolisian.” Deren mengucapkan hal itu dengan nada datar tanpa menoleh sedikit pun kepada Marsa.
Marsa hendak merespons hal itu, tetapi ponselnya yang berbunyi menandakan sebuah pesan masuk, menghalangi niatnya. Dengan cepat, wanita itu membuka isi pesan yang ternyata dikirim oleh Felix.
“Kalau kamu tidak keberatan, bisakah malam ini kita bertemu? Ada hal yang ingin aku bahas denganmu.” Begitulah pesan yang Felix kirimkan kepada Marsa.
“Baiklah. Jam 8 malam, di restoran hotel Grand Mercure.” Marsa membalas pesan tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top