Bab 15

Di Surabaya, seorang laki-laki sedang sibuk dengan ponselnya. Tiba-tiba, dia teringat untuk menghubungi seseorang.

"Saya sampai lupa mau telpon Marsa. Mending saya tanyain kedia deh soal pengajuan saya pindah ke Jakarta," gumamnya.

Pria itu kemudian menarik ponselnya yang tergeletak di atas meja, mencari nama rekan pengacara yang ada di kantor pusat bernama Marsa, untuk selanjutnya melakukan panggilan.

Tut .... Tut ....

"Kok nggak diangkat, sih?" Lelaki uitu mendecak, lalu mematikan ponsel. "Nanti saya hubungi via email aja deh."

Tok... Tok.... Tok....

Seseorang di luar ruangan itu makin mengurungkan niatnya untuk kembali menghubungi Marsa.

***

“Uft ... Pelayanan pramugari tadi sungguh menyebalkan. Bisa-bisanya memasang wajah jutek kepada penumpang. Kalau saja klien rese ini tidak memaksaku ke Surabaya ....”

Marsa melangkah dengan cepat ke arah ruang tunggu bandara Juanda. Di sana sudah ada seorang sopir yang sedang menunggunya untuk mengantar Marsa ke mana pun yang wanita itu mau.

Tangan Marsa merogoh ke dalam tas selempang kecil berwarna hitam, senada dengan pakaian yang dia kenakan hari itu. Diambillah sebuah benda pipih dari sana.

Marsa membulatkan matanya dengan sempurna saat melihat belasan panggilan tak terjawab. “Astaga, rupanya Felix dari tadi meneleponku. Ada apa, ya?” gumamnya sambil tetap melangkah. “Nantilah setelah dimobil aku akan meneleponnya balik.”

Marsa mengedarkan pandangannya ke seluruh area ruang tunggu itu, mencari seseorang yang sudah dia bayar untuk menjadi sopir pribadinya selama di Surabaya.

“Mbak Marsa, maaf barusan saya masih ke toilet,” sapa seorang laki-laki dengan rambut yang sebagian sudah memutih sambil menepuk pelan pundak Marsa.

Marsa sedikit terkejut seraya menoleh pelan ke arah orang tersebut. “Ya ampun, Pak Edy, saya kaget. Iya, nggak pa-pa. Sekarang antar saya ke hotel dulu, setelah itu baru kita ke tempat klien saya.”

“Baik, Mbak,” ucap Pak Edy sambil mengangguk. “Mari, Mbak, saya bawakan kopernya.”

Marsa menyerahkan koper miliknya kepada sopir yang sudah biasa dia sewa saat dirinya sedang bertugas ke Surabaya. Sopir itu tak lain adalah kenalan salah seorang kerjanya yang kebetulan memang bertugas di HAD Law Firm kantor cabang Surabaya.

“Ke hotel biasanya, kan, Mbak?” tanya Pak Edy memastikan setelah mobil yang mereka tumpangi sudah keluar dari parkiran bandara Juanda.

“Iya, Pak. Grand Mercure, ya,” sahut Marsa yang sambil sibuk dengan ponsel kesayangannya.

Pak Edy pun mengangguk tanpa merespons lagi dan lebih memilih fokus mengemudikan mobil bermerek Wuling Almaz berwarna hitam. Sedangkan Marsa, wanita itu teringat jika harus menghubungi Felix setelah tadi dirinya mengabaikan panggilan rekan kerjanya itu, karena masih berada di pesawat.

Wanita dengan rambut panjang terurai itu pun langsung mencari kontak bernama Felix di ponselnya. Setelah itu, jempol Marsa dengan cepat menggeser nama itu ke sebelah kanan, untuk melakukan panggilan padanya.

Beberapa saat wanita itu menunggu teleponnya diangkat oleh Felix, tetapi lelaki itu tak juga melakukan hal itu. “Ish, menyebalkan. Tadi nelepon, sekarang ditelepon balik malah nggak diangkat.”

Marsa memutuskan untuk menyudahi panggilan tersebut dan kembali fokus untuk mempelajari beberapa kasus yang sedang dia tangani.

Di tengah kegiatannya, pikirannya terganggu dengan panggilan yang Felix lakukan. Pikirannya terus saja menerka-nerka tentang keperluan lelaki itu.

Mata gadis itu melihat ke arah luar, menikmati indahnya pemandangan yang masih lumayan banyak pepohonan hingga membuat kota tersebut lebih rindang dari Jakarta. Gedung-gedung pencakar langit juga turut mewarnai pemandangan di hadapan mata.

“Ah, iya, jangan-jangan dia mau bahas masalah keinginannya untuk pindah ke Jakarta. Atau ... ada hal lain yang ingin dia bahas, mengenai kasus yang dia tangani?” terka Marsa yang kemudian kembali menundukkan pandangan dan fokus ke berkas yang sebelumnya sedang dia baca di gawainya.

“Mbak, kita sudah sampai, saya turunkan kopernya dulu, ya,” ucap Pak Edy yang membuat Marsa sedikit terkejut, pasalnya wanita itu tak merasa jika perjalanan yang dia tempuh sudah sekitar lima belas menit.

Marsa pun bergegas memasukkan ponselnya ke dalam tas, setelah itu kaki kanannya perlahan keluar dari mobil, hingga menampakkan betis putih mulus nan jenjang berbalut sepatu heels setinggi sepuluh senti berwarna merah.

Tak lupa Marsa memasang kaca mata hitam sebelum memasuki lobi hotel dan menemui resepsionis untuk melakukan check in.

Siapa pun yang melihat Marsa berjalan, akan memperhatikan wanita itu, karena kecantikannya memang menyerupai seorang artis, kharismanya pun tak kalah dari seorang sultan.

Bahkan, ada seorang wanita berbadan agak melar dengan riasan sedikit menor karena warna lipstik dan eyeshadow dengan warna sangat cerah dan tebal, harus menjewer lelaki yang ada di sampingnya, karena menatap Marsa tanpa berkedip. Hal itu tentu saja membuat Marsa tersenyum sinis.

“Dasar lelaki, nggak pernah puas dengan satu pasangan. Bukannya bersyukur dengan apa yang dimiliki dan menjaga pandangannya, matanya malah jelalatan lihat yang bening dikit,” gumam Marsa mendengkus kesal melihat perilaku lelaki seperti itu.

Marsa pun akhirnya sampai di resepsionis guna mengurus keperluan untuknya menginap. Dan, setelah menunggu beberapa saat, barulah wanita itu bisa masuk ke kamar yang sudah dia pesan sebelumnya.

“Pak, tunggu di sini saja, ya, biar nggak capek. Saya bisa bawa kopernya sendiri,” ucap Marsa sambil meraih koper yang ada di samping Pak Edy.

“Baik, Mbak,” sahut Pak Edy.

Marsa pun berjalan menuju lift untuk ke lantai sebelas. Namun, tanpa sengaja seseorang menabrak dirinya tepat di depan lift hingga koper yang sedang dia pegang terlepas dan jatuh.

Sorry, sorry, Anda tidak apa-apa?” ucap seseorang bersuara bariton sambil meraih koper itu dan memberikannya kepada Marsa.

Suara itu tidak asing di telinga Marsa, dan saat keduanya beradu pandang, wanita itu langsung membulatkan matanya dengan sangat sempurna. Gemuruh kembali menderai di dada.

Ingin sekali rasanya Marsa meluapkan emosi dan mengatakan hal-hal yang tak pantas kepada orang di hadapannya itu. Beruntung akalnya masih sangat waras untuk tetap menjaga nama baik. Alhasil Marsa hanya bisa menggeram sambil menunjukkan kemarahan dari tatapan dan raut wajahnya.

“Kebetulan kita bertemu di sini. Aku hanya ingin mengatakan bahwa apa yang kamu lakukan kemarin kepada istrimu itu tidaklah baik. Jangan pikir, dengan kabur begini, kamu bisa lolos dari jeratan hukum!” ancam Marsa dengan senyum sinis yang dia tampakkan di bibirnya.

Deren—orang yang menabrak Marsa di depan lift—yang merasa heran dengan ucapan Marsa. Lelaki itu memicingkan mata dan memasukkan kedua tangan ke saku celananya.

“Apa maksud kamu, Sa? Kabur? Siapa yang kabur? Dan memangnya apa yang sudah aku lakukan sampai-sampai membuatmu marah seperti ini?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top