Bab 14

Malam penuh drama dan air mata berlalu dalam sekejab. Kantung mata hitam milik Marsa kembali terlihat di wajahnya. Dia dan Theo menemani Calista semalaman penuh. Mereka berdua mendengarkan seluruh kronologi kejadian yang di ceritakan Calista dengan seksama, sambil sesekali marsa membuat catatan di buku hitam miliknya, Buku yang selalu ada di tas kerjanya. Pukul dua dini hari akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk beristirahat, Theo dan Marsa di kamar mereka sendiri sementara Calista tidur di ruang tamu.

"Ya, Re. oke, aku akan segera ke bandara sekarang." Marsa masih dengan handuk menggantung di kepalanya menerima panggilan dari asistennya. Yah, pagi ini mereka memang memiliki rencana untuk meninjau kantor cabang di Surabaya sekaligus menemui clientnya yang menghilang.

"Mau kemana pagi-pagi begin, Sayang?" tanya Theo, sambil mengusap kedua matanya, berharap mendapatkan gambar yang jelas dari wanita dihadapannya itu. Maklum saja baru dua jam matanya terlelap. Akan sangat sulit membedakan mimpi dan kenyataan.

"Aku ada urusan di Surabaya sayang, hanya sebentar. Aku akan pulang di penerbangan terakhir hari ini. Oh, iya nanti ada Naya dan Andre yang datang. Aku sengaja memanggil mereka untuk mendampingi Calista ke rumah sakit hari ini. Jadi kau juga tidak perlu terlalu mengkhawatirkan masalah Deren-Calista. Mereka berdua sangat ahli di bidang jni, mereka juga sudah ku minta untuk segera mengurus bukti-bukti fisum untuk memperkuat tuntutan." Marsa duduk di ranjang sembari mengeringkan rambutnya yang basah, menggunakan baju yang telah dia siapkan tadi.

"Waa, istriku sangat berdedikasi sekali. Aku sangat bangga padamu. Semoga urusanmu di Surabaya lancar ya. Dan semoga semua persidangan yang kamu tangani selalu sukses. Apalagi kasus Deren dan Calista."

"Amin."

"Tapi Yang, apa ke Surabayanya ga bisa ditunda saja? hari ini kita belum melakukan hal itu," goda Theo. Lelaki itu sekarang memposisikan dirinya, duduk dengan selimut menutupi bagian bawah tubuhnya, penampilannya sekarang begitu menggoda dengan rambut acak-acakan, mata tajam dan tubuh coklat sixspack tanpa sehelai benangpun menutupinya. tubuh lelaki itu dia condongkan ke arah Marsa dan mengelus lembut kepalanya.Suami ideal yang sangat Marsa cintai, namun sayang sekali Marsa harus meninggalkan roti sobek yang menggairahkan itu demi pekerjaannya. Saat ini dalam hati marsa mengutuk dirinya sendiri karena begitu bodoh memilih pekerjaan. Tapi yah apa maudikata, hidup eorang budak corporat memang begini. Tidak bisa memilih mana yang diinginkan mana yang diharuskan.

"Nanti malam saja ya sayang. Janji! urusanku ini ga bisa di tunda apalagi dibatalkan. Bisa-bisa Bos besar marah." Marsa menaikkan rok pendek hitamnya menarik resletingnya dan mematut diri di depan cermin, lalu melumat bibir Theo.

"Hehe, iya iya, aku paham kok." Meski kecewa Theo masih bisa bersikap tenang dan sabar dihadapan istrinya itu meskipun adik dibawahnya sudah mulai merengek ingin meninggalkan tempatnya sekarang berada. Celana theo terlihat sesak karena benda di dalamnya membesar. Pagi-pagi memang jam yang susah untuk menahan hasrat seorang laki-laki.

"Oh iya Calista masih di kamar ya?" ingat Marsa. "Dia pasti lelah. Mungkin dia butuh waktu menenangkan diri."

"Hmm, entahlah sepertinya masih di kamarnya. Aku kurang peduli dengan wanita selain istriku ini sih." Theo menarik lengan marsa sehingga dia jatuh terduduk disampingnya. lalu mendekapnya erat seolah tidak mengizinkan wanita itu seprgi ari sisinya. Theo menarik jari-jari tanyan Marsa meletakkannya di tempat yang seharusnya.Marsa sadar pa yang Theo inginkan. Gundukan di celana laki-laki itu membuat Marsa memutar bola matanya.

"Tapi.."

"Sebentar saja, please," puppy eyes itu membuat Marsa tidak berkutik.

"Sekali aja oke?"

"Yes."

Akhirnya dia mau juga melayani sang suami meski hanya sebentar dan hanya memakai milut dan lidahnya. Hingga sesuatu yang panas meluber dari mulut marsa. Wanita itu segera membersihkan diri lalu kembali berias bersiap untuk keberangkatannya ke Surabaya.

"Ah, kalau begitu aku berangkat sekarang ya sayang, Rere sudah memgomel karena sebentar lagi Check-in dibuka. Lalu, Sarapan sudah siap di meja makan ya. Sampai jumpa lagi." Marsa mengecup pipi Theo yang masih bermalas-malasan di ranjang.

"Hati-hati. aku mau tidur lagi, balas Theo santai. ia lalu menarik kembali selimutnya hingga menutupi sebagian besar tubuh atletisnya. Mungkin karena kurang tidur sehingga Theo dengan midahnya terlelap kembali ke dunia mimpi. Hingga sesuatu yang ninkmat kembali dia rasakan. Theo sendiri bingung, sensasi apa ini, tidak biasanya dia bermimpi semenyenangkan ini. Rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Seperti kenikmatan itu hadir dari ujung rambut ke ujung kakinya.

Theo mulai mengerjab membuka mata, dia tidak tau bahwa sensasi kenikmatan itu bukan dari alam mimpinya. Dia masih merasakannya meski telah membuka mata. Kesadarannya perlahan pulih. Dia melihat sekitarnya sepi masih kamar yang sama yang selama ini dia tempati denga  Marsa. 'Tapi sensasi apa ini,' pikir Theo. Lalu pandangan matanya tertuju pada gundukan besar di dalam selimutnya.

"Hah, apa ini," Theo lalu membuka kasar selimut yang menutupi tubuhnya. Disana ada Calista yang sedang bermain dengan adik kecil Theo. Wanita itu sangat menggoda dengan setelan bra warna hitam yang sangat kontras dengan tubuh mulusnya.

"Calista? sajak kapan kau... ah.." sebelum Theo berhasil menyelesaikan kalimatnya, perempuan itu mempercepat permainannya, membuat kesadaran Theo kembali melayang.

"Berani-beraninya kau bercumbu dengan Marsa saat ku ada di kamar sebelah," ujar Calista marah. Wanita itu benar-benar tidak suka melihat kekasihnya bergelut dengan istrinya.

"Jadi kamu? Cemburu?" selidik lelaki tampan itu. Calista hanya menundukkan pandangannya terlihat pipinya mulai bersemu merah. Dia malu jika ketahuan cemburu dengan hal-hal kecil, dia tidak ingin jika Theo menganggap hanya dia sendiri yang berharap lebih dari hubungan samar ini.

"I Love You," ucap Calista seraya menetralkan nafasnya dan menatapbsayu lelaki di hadapannya. "I love you Theo. Aku sungguh tidak akan bisa hidup tanpamu. Kau adalah segalanya bagiku sekarang. Kau yang harus menjadi masa depanku nanti. Bukan dia."

"I Love You too," balas Theo mencium lembut bibir Calista sembari mengusap tetesan air mata di ujung pipi wanita itu. "Sudahlah kamu tidak perlu memikirkan lelaki brengsek itu lagi, cukup fokus ke aku saja oke."

Theo sekarang merubah posisinya. Calista dia tarik hingga terlentang di ranjang, Theo berada diatasnya, menatap lekat mata Calista. Gairah keduanya mulai meningkat kembali. Desiran kenikmatan mulai menyeruak di kamar itu.

"Eh, bagaimana jika Marsa tau?" Calista kembali teringat jika mereka tidak sedang berada di hotel namun di rumah theo.

"dia sudah pergi dari subuh tadi, buru-buru, katanya ada urusan penting di Surabaya." Theo kembali menciumi tengkuk dan anggota tubuh sensual wanita dihadapannya itu. Berusaha mencari kesenangannya sendiri.

"Apa? Surabaya?" Mata Calista membulat. ia mengingat bahwa suaminya deren dan kedua anaknya berada di Surabaya. Pikirannya kembali kacau, dia tidak bisa menikmati cumbuan yang diberikan Theo. Hatinya ketakutan jika kebohongannya terbongkar. Raut wajahnya sedikit menegang, untung saja theo tidak menyadarinya. cepat-cepat Calista mulai menata kembali ekspresinya.

"Ah," 'mana mungkin, Marsa ga akan ketemu Deren di sana. Surabaya itu luas. Perlu keberuntungan besar untuk mempertemukan dua orang itu. Sudahlah calista kau tidak perlu cemas,'gumam Calista dalam hati.

"Ya, Surabaya. kenapa kamu sepanik itu. Firma hukum tempat Marsa bekerja memiliki kantor cabang di sana, jadi ya tidak heran bila Marsa kadang harus menyempatkan diri ke sana. Biasa urusan kerjaan,"  jelas Theo panjang lebar. Sebenarnya Theo paling tidak suka kalau Marsa pergi dinas ke luar kota. Karena dia bakal tidak bisa memanfaatkan gadis itu untuk kesenangannya. Namun tidak kali ini, ada Calista yang siap menjadi partnernya seharian ini. Justru ekarang theo berharap Marsa bisa lebih lama lagi tinggal di Surabaya.

"Hei ayo lanjutkan yang tadi..."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top