Bab 12

Langkah Deren terhenti saat ia melihat ponselnya bergetar. Deren menghela nafas  lalu mengangkat teleponnya, "ya bu, aku tahu kau menelpon untuk membicarakan masalah..." Deren menghentikan kata-katanya  ketika ia mendengar  suara ibunya yang sedang terisak.

Ibunya sedang menangis dan Deren terdiam. Sungguh, ibunya tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ibunya selalu ceria ketika mencerritakan bahwa ia baru saja membeli perhiasan atau vas mahal, beberapa sepatu dan tas yang dibuat limited edition dan ibunya memiliki salah satunya.

"Ibu ingin kau datang ke rumah, ada beberapa hal yang perlu ibu bicarakan padamu. Ingat jangan bawa wanita itu. Cukup kau dan anak-anak saja, ibu tunggu sore ini!" ujar ibunya kemudian. Deren sadar hubungan ibunya dengan Calista istrinya tidaklah baik. Ibunya dari awal tidak suka pekerjaan calista sebagai model. Baginya itu pekerjaan yang tidak bagus, karena bersinggungan erat dengan masalah pornografi. Yah, memang tidak semua model akan menerima job yang ibunya maksud. Dulu Deren pastilah akan mengatakan hal itu dan membela Calista mati-matian, namun tidak dengan saat ini. Lelaki itu baru menyadarinya bahwa semua yang dikatakan ibunya memang untuk kebaikannya sendiri. Fakta bahwa Calista berselingkuh menjadi tamparan besar baginya saat ini.

Disamping itu Deren sungguh tidak mengerti hal apa yang membuat ibunya yang terkenal sebagai wanita tangguh yang juga memiliki perusahaan dimana-mana itu sekarang menjadi wanita yang bisa menangis, tidak mungkin jika ibunya tahu masalahnya dengan istrinya. Surat gugatannya saja baru beberapa hari dia terima.

"Ada apa, bu?" tanya Deren pelan. Ibunya kembali terisak, "ayahmu sakit." Deren tidak kaget. Ia sungguh tahu bahwa ayahnya memang sakit. Namun hal apa yang membuat ibunya sangat bersedih?  apakah penyakit ayahnya atau kondisinya sekarang, masalah perceraian itu harusnya belum ibunya ketahui, ataukah penyakit ayahnya bertambah parah? Deren tidak menanyakannya. "Baiklah, sore ini aku akan datang ke rumah ibu bersama anak-anak," ujar deren lalu memutus sambungan teleponnya. Mungkin keputusannya untuk pulang bisa membuat pikirannya tenang dan mengurangi edikit aja beban di hidupnya. Lagi pula dia sudah lama sekali tidak pulang ke rumah, meski dia tinggal di Surabaya namun dia tidak pernah pulang ke rumah, pasca masalah antara ayahnya dan dirinya beberapa tahun lalu.

Dengan cepat ia menekan beberapa nomor seseorang. Ya, ia memiliki Sifa sebagai sekertarisnya di kantor dan Sifa yang bisa mengurus semua pekerjaannya saat mendadak ia harus pulang kembali ke Surabaya seperti ini. Tak lama teleponya tersambung dan Sifa selalu cepat meresponnya.

"Sifa, tolong ubah semua jadwal konsultasi client dalam dua hari ini. Ya, semuanya. Ehm, aku ada urusan mendadak. Dalam dua hari ini aku tidak bisa diganggu. ya, aku akan mengabarkanmu jika aku sudah menyelesaikan urusanku," ujar Deren lalu memutuskan sambungan. Deren bergegas, ia akan pulang ke rumah orang tuanya dan sementara waktu meninggalkan suasana Jakarta. Tak lupa ia menjemput kedua buah hatinya dan meminta ijin kepada guru-guru sekolah serta pengasuhnya untuk tidak bersekolah sementara waktu.

Deren juga menelpon Calista. Beberapa kali panggilannya tidak diangkat oleh wanita yang telah mengisi hampir sepertiga masa hidupnya itu. Deren masih tetap berusaha menghubungi sang istri hingga percobaan kelimanya akhirnya berhasil.

"Ya, hallo, maaf tadi aku sedang pemotretan ada apa, Der?" kata Calista di sebrang panggilan. Meraka sudah tidak lagi memanggil dengan panggilan mesra kecuali didepan anak-anak. Mereka juga tidak lagi berkomusnikasi intens karena rasa canggung yang teramat besar diantara keduanya.

"Say... ah maksudku Calista, hari ini aku membawa Zayn dan Leon. Kami akan pergi ke Surabaya. Kamu tidak perlu khawatir aku akan mengurus mereka dengan baik. Aku tahu kamu sibuk, jadi kamu tidak perlu memaksakan diri untuk ikut. Itu saja yang mau aku katakan. Oh, iya, aku harap kamu tidak sembarangan menceritakan masalah kita pada orang tuaku. Kamu tahu kan kondisi ayahku bagaimana," jelas Deren panjang lebar. Ia percaya Calista adalah wanita yang pandai dia pasti bisa membawa diri dihadapan kedua orang tuanya meskipun dia bukanlah wanita yang bisa menjaga hati.

***

Kakinya melangkah memasuki bandara Sukarno hatta, pesawatnya akan segera berangkat saat Deren, Zayn dan Leon tiba. Syukurlah, itu berarti ia tidak perlu berlama-lama lagi dan akan segera sampai ke Surabaya. Ibunya sudah menunggu, entah untuk menyampaikan hal apa, pastinya sesuatu yang membuat Deren sangat penasaran.

Setelah melakukan check-in, ia menempati kursinya dan mulai memandangi jendela ke arah luar. Baru beberapa orang yang sudah berada di pesawat yang akan  membawanya menuju Surabaya. Mata deren tertuju pada Zayn, anak laki-laki kecil itu sangat senang bisa menaiki burung baja ini. Dia melihat riang ke arah luar jendela. Leon pun terlihat menikmati perjalanan mereka.

"Kok mama gak ikut?" tanya Leon.

"Mama sedang banyak pekerjaan sayang, setelah pekerjaan mama selesai mama pasti akan menyusul kita. Mama bisa menunggu kalau nenek... hmm, gimana ya nenek bisa menunggu atau tidak ya?" canda Deren pada malaikat kecilnya itu.

"Nenek pasti akan marah kalau kita tidak segera sampai," raut wajah Leon bergidik, mengingat neneknya pasti akan sangat kecewa jika mereka tidak segera datang. Ia tau bahwa neneknya marah itu juga karena beliau angat berharap kedatangan mereka, beliau pastilah sangat rindu dengan cucu-cucu kesayangannya itu.

"Nah kan, maka dari itu kita bertiga bergegas ke Surabaya. Lalu kata nenek, kondisi kakek juga sedikit memburuk. Semoga saja dengan kedatangan kalian kalek akan sehat kembali."

Anggukan Leon membuat hati Deren sesak. Ia tahu benar bahwa kondisinya sekarang tidak baik-baik saja, istrinya yang main gila bersama suami sahabatnya, lalu sahabatnya sendiri menuntutnya atas kasus yang tidak pernah dia lakukan, lalu kondisi kesehatan ayahnya yang memburuk. Sungguh Deren bingung apa yang harus dia katakan pada ibu dan ayahnya untuk masalah yang sedang dia hadapi.

Beberpa jam berlalu akhirnya mereka tiba di Surabaya, di sana sudah da Pak Jono yang menjemput. Pak Jono adalah supir pribadi orang tuanya, beliau sudah bekerja sangat lama mungkin sudah setua usianya sekarang. Lelaki dangan perawakan tegap meski sudah banyak uban di rambutnya itu bergegas memasukkan koper ketiga majikannya itu, lalu mempersilakan mereka masuk. Perjalanan menuju kediaman keluarga Deren tidak memakan waktu lama, melewati jalan lurus dan beberapa kali berbelok, mereka sudah tiba di rumah yang luas dengan design yang mewah dengan taman mengelilingi rumah utama.

"Kadang aku lupa kalau aku ini sangat kaya," canda Deren pada dirinya sendiri.

"Nenek," ujar Leonard ceria, anak itu langsung berlari memeluk sang nenek. Disusul adik kecilnya yang berlari pelan-pelan menyamakan langkah dengan sang kakak. "Enyek,"

"Cucu, cucuku, nenek kangen sekali." ibunda deren tidak lupa menghujani kedua cucunya itu dengan ciuman bertubi-tubi. Sesekali melirik ke arah deren dan tersenyum lebar. "Selamat datang anakku."

"Ibu, maaf." air mata Deren tidak kuasa dia bendung lagi. Dia sudah belajar menjadi suami yang tegar, serta ayah yang kuat namun tidak bisa lagi di hadapan ibunya, ia begitu susah untuk menjadi anak yang tidak cengeng.

"Anak-anak, ayo kalian ke kamar dulu. Nenek ada hadiah untuk kalian di kamar. Cepatlah lihat dan buka. Bi Heni akan mengantar kalian." Seorang asisten rumah tangga mulai menggandeng Leon dan Zayn, mengarahkan mereka menuju kamar yang sengaja nenek persiapkan untuk kedatangan mereka.

Di tempat lain ibunya Deren juga mengeluarkan air mata. Dia paham pasti anaknya sedih dengan kondisi ayahnya sekarang. Sang ibu memeluk erat Deren. "Tidak apa-apa nak, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki semuanya. Ayo temui ayahmu dulu." Mereka berjalan beriringan menuju kamar tak jauh dari tempat merwka berdiri sekarang. Kamar yang luas namun kesan sepi langsung menyeruak saat Deren memasukinya. Bau obat mulai memasuki indra penciumannya. Di tengah ranjang berbaring lelaki tua, badannya cukup kurua untuk orang seusianyam Keriput di wajahnya menandakan usianya tidak lagi muda. Lelaki tua itu tertidur dengan infus di lengannya.

"Bagaimana kondisi ayah?"

"Tidak baik, Nak."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top