Bab 11
“Sayang, sebaiknya kamu segera pulang, karena setelah ini aku harus bertemu dengan Deren untuk membahas masalah ini lebih lanjut,” pinta Marsa setelah semua makanan yang Theo bawakan, habis tak bersisa.
Theo melirik ke arah Rere yang berada di meja di samping sang istri. Kebetulan atau tidak, asisten Marsa itu juga tengah melihat ke arahnya. Kemudian lelaki itu menggerakkan kepalanya ke arah pintu seraya tetap melirik kepada Rere, seolah memberikan kode agar dia keluar dari ruangan itu.
Rere pun mengangguk, setelah itu menutup map kuning yang sedang dia baca dan meletakkannya lagi ke tumpukan map yang ada di meja kerja berwarna hitam itu. Tak lama, dia pun pergi membiarkan suami-istri itu di dalam sana.
Theo pun beranjak dari kursinya dan mendekati sang istri. Dia berdiri tepat di belakang Marsa, lalu membungkukkan sedikit tubuhnya dan merentangkan kedua tangannya ke depan kepala wanita itu. Sedetik kemudian, kedua tangan itu terlipat, dan mengapit kepala Marsa di tengah-tengahnya.
“I want you,” bisik Theo di telinga sang istri, kemudian meniup pelan tengkuk wanita berparas cantik dengan kulit putih tersebut.
Marsa langsung melepaskan kungkungan tangan sang suami dan berdiri menghadap Theo. “Sayang, please, tahu sikon, dong. Ini di kantor,” tolak Marsa dengan nada tegas dan raut wajah yang tegang menunjukkan keseriusan.
“Aku hanya bercanda, Sa,” sanggah lelaki itu dengan nada menyesal.
Theo menarik salah satu ujung bibirnya ke dalam mulut, dan tangan yang awalnya bergelayut, langsung dia masukkan ke dalam saku celananya. Kepalanya dimiringkan ke sebelah kanan seraya menatap lekat wajah wanita di hadapannya itu.
“Apa sekarang sahabatmu itu lebih penting dari suamimu sendiri?” tanya Theo setengah menyindir dan menunjukkan kecemburuannya terhadap Deren.
“Oh ayolah, Theo. Cemburumu tidak tepat waktu. Kamu tahu kalau aku diminta Calista mengurusi kasus ini. Jelas saja hal ini tidak bisa aku dengarkan dari salah satu pihak saja, bukan?”
“Aku hanya ingin memberimu semangat. Tapi, baiklah. Mungkin hari ini tidak tepat. Aku akan pulang. Semoga kasus ini segera selesai,” ucap Theo yang kemudian pergi dari ruangan itu.
Tak lama setelah kepergian Theo, Marsa pun bergegas pergi ke sebuah kafe yang sudah dia dan Deren sepakati dengan mengendarai mobil Honda Civic berwarna merah miliknya. Kemacetan Jakarta yang sedikit mereda setelah makan siang membuat perjalanan wanita itu menuju Swiss-Cafe yang tak jauh dari Epicentrum Walk, menjadi lebih cepat dari yang dia perkirakan.
Sesampainya di sana, Marsa menolehkan kepala ke kiri dan kanan, mencari keberadaan Deren yang katanya memang sedang berada di tempat itu. Netra cokelat itu akhirnya menangkap sosok yang sedang dia cari.
Dengan cepat Marsa melangkah ke arah lelaki itu, lalu meletakkan tas jinjingnya dengan kasar. Deren yang awalnya menatap ke arah luar, tiba-tiba terkejut mendengar gebrakan meja yang sedang dia tempati.
Perlahan laki-laki berpostur tegap itu menatap Marsa dengan sinis. “Duduklah!” pinta Deren dengan nada ketus, yang kemudian kembali menatap ke arah luar.
Marsa menuruti apa yang lelaki itu minta.
“Mau minum apa?” tanya Deren tanpa menoleh sedikit pun kepada Marsa.
“Nggak usah,” sahut Marsa yang tak kalah ketus.
Deren kembali menatap Marsa dengan tangan menyilang di depan dada dan tubuh yang dia sandarkan ke kursi.
“Apa kamu sudah gila ingin menuntutku atas hal yang nggak pernah aku lakukan sama sekali?” tanya Deren langsung pada intinya.
Marsa mendengkus sambil membuang muka seraya ikut menyilangkan tangan di depan dada. “Buktinya sudah ada, Deren. Bahkan sekarang istrimu sudah divisum. Kalau bukan kamu yang melakukan, lalu siapa?”
Deren memicingkan mata, dadanya bergemuruh dengan hebat mendengar hal itu. “Sekali lagi aku tekankan sama kamu, jangan asal menuduhku! Apa kamu pikir, aku sanggup melakukan hal itu? Kamu sudah mengenalku cukup lama, Sa. Tidakkah kamu berpikir rasional dulu sebelum mengambil tindakan?”
“Semua orang bisa berubah seiring berjalannya waktu, Deren. Nggak menutup kemungkinan kamu juga seperti itu,” sergah Marsa.
“Oke, kamu benar. Tapi, sungguh aku tidak memiliki alasan apa pun hingga sanggup melakukan hal itu kepada istriku sendiri.” Deren terus membela diri karena memang lelaki itu merasa tidak bersalah.
“Cemburu.” Satu kata itu langsung meluncur mulus dari mulut manis Marsa tepat sepersekian detik setelah Deren selesai dengan perkataannya.
Lelaki yang sedang mendapat tuduhan itu pun langsung mengerutkan dahi hingga kedua matanya ikut menyipit.
“Calista sudah menceritakan semuanya kepadaku. Beberapa tahun ini kalian sering bertengkar hebat hanya karena kecemburuan dan kecurigaanmu yang nggak masuk akal. Bukan begitu?” tuduh Marsa yang sayangnya kali ini memang benar adanya.
“Ya, kami memang sering bertengkar karena aku mencurigainya memiliki hubungan dengan pria lain. Tapi, aku masih cukup waras untuk tidak melakukan KDRT itu, Sa!”
“Aku memang sahabatmu, tapi jangan lupa, kalau aku sangat membenci pria yang kasar, apalagi kepada pasangannya sendiri!” pungkas Marsa dengan nada tegas.
Merasa pembicaraan itu tidak membuahkan hasil, karena Deren yang masih bersikeras menolak mengakui perbuatannya, Marsa pun memutuskan untuk pergi dari tempat itu sebelum emosinya memuncak.
“Tunggu, Sa!” cegah Deren yang sukses membuat langkah Marsa terhenti.
Wanita itu kini berdiri tepat di samping Deren. Dia menolehkan kepalanya dan melirik ke arah calon lawannya itu.
“Ada apa lagi? Aku menemuimu untuk menengahi antara kamu dan istrimu. Agar kasus ini tidak perlu ke ranah hukum dan menjadi konsumsi publik. Sayangnya kamu terus mengelak,” tutur Marsa yang sedikit kecewa kepada sang sahabat.
Deren akhirnya berdiri hingga keduanya berada di satu garis sejajar walau tak saling berhadapan.
“Sekarang semuanya makin jelas. Aku tahu apa yang diinginkan oleh istriku. Dia ingin berpisah dariku karena orang lain, tapi tidak ingin citranya menjadi buruk. Oleh karena itulah, dia ingin menjatuhkanku. Aku tahu kamu tidak mungkin memercayai hal ini. Tapi, sebagai pengacaranya, tolong kamu nasihati dia bahwa cara yang dia lakukan ini salah. Bangkai yang terkubur, lama kelamaan baunya akan tercium juga,” ucap Deren.
Deren kemudian pergi dari tempat itu, mendahului Marsa yang awalnya sudah lebih dulu ingin pergi dari sana. Akan tetapi, perkataan Deren itu rupanya membuat dirinya sangat terganggu. Hatinya mulai ragu tentang kasus ini dan fakta-fakta yang sudah dia dapatkan dari orang kepercayaannya sendiri.
“Apakah kali ini aku salah? Oh Tuhan, sungguh aku sangat bingung. Siapa yang benar dan salah kali ini?” gumamnya seraya memejamkan mata.
Marsa menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan dengan tangan memegang dadanya. Setelah merasa sedikit lebih tenang, dia pun pergi ke tempat kliennya yang lain yang terlibat kasus skandal dengan salah satu pejabat.
Saat wanita itu hendak masuk ke mobil kesayangannya, tiba-tiba ponsel dengan logo Apel miliknya, terdengar berbunyi yang menandakan pesan masuk.
“Kebenaran munculnya dari hati, bukan mata. Terkadang apa yang kita anggap benar, tidaklah selalu benar. Aku tahu kamu selalu membela kebenaran, dan aku harap kamu tidak salah langkah.” Pesan itu rupanya dikirim oleh Deren dan membuat Marsa kembali berpikir tentang kasus Calista.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top