Bab 10
Tiga hari kemudian, Rere nerjalan menuju ruangan Marsa, bersiap memberikan sebendel berkas yang sudah dia susun rapi sedari tadi rumah. Senyum penuh kebanggaan merekah di ajah ayu wanita berkemeja krem itu.
Seperti biasa Rere mengetuk pintu tiga kali, rutinitas nya untuk memenuhi opan santun dalam menghadap atasan. Dari jendela kaca nampak Bu Marsa sedang melamun sambil sesekali memegangi keningnya. Ketukan pertama tanpa jawaban, Rere terus mengulangnya namun tidak ada jawaban juga. Akhirnya dia memberanikan diri membuka sedikit pintu lalu menyapa atasannya itu.
"Selamat pagi bu marsa. Dokumen yang Anda minta sudah siap." Rere meletakkan dokumen itu tepat di hadapan Marsa namun tidak juga dia sentuh, bahkan dia juga tidak meliriknya sama sekali.
"Eghm, Maaf sebelumnya bu Marsa. Apa Anda sedang ada masalah Bu? Atau Anda membutuhkan sesuatu? Kopi? Teh?" tanya Rere khawatir, akhirnya perhatian Marsa tertuju pada Rere, wajah atasannya kini terlihat jelas di hadapannya, sama sekali bukan wajah yang nampak sehat. Kerut di dahinya menandakan bahwa beliau begitu penat, entah masalah pa yang menyebabkannya, Rere pun enggan untuk menerka-nerka.
"Ah, maafkan aku, Re. Hari ini aku tidak fokus. Banyak sekali client masalah perceraian akhir-akhir ini. Lalu kegagalan persidangan kemarin. Semua hal itu membuatku susah tidur. Tadi malam saja aku hanya tidur tiga jam." Marsa melihat penampilan dirinya melalui cermin kecil yang selalu dia bawa, kantung mata hitamnya terlihat samar meski sudah memakai banyak concealer.
"Gagal? bukankah persidangan kemarin berhasil gemilang bu? persidangan yang mana maksud ibu?" Wajah Rere nampak bingung dengan perkataan atasannya itu.
"Ah, bukan persidangan itu maksudku." Marsa langsung sadar bahwa kegagalan persidangan bukanlah kenyataaan. ya itu semua mimpi buruk yang elalu berulang setiap menjelang ulang tahun pernikahan kedua orang tuanya. Dibilang ulang tahun pun hari itu jugalah hari putusan perceraian keduanya dibacakan dan tuntutan ibunya tidak ada satupun yang dikabulkan majelis hakim. Tidak adil bagi Marsa dan ibunya namun apa mau dikata kecacatan hukum memang elalu bisa dia jumpai dimana saja.
"Tidak usah terlalu difikirkan bu Marsa. Terkadang tidak semua kasus bisa ibu menangkan paling tidak bu Marsa sudah berjuang sebisa Anda. Memperjuangkan hak itu susah-susah gampang bu. Sebaiknya bu Marsa tidur saja sebentar lagi, saya akan membelikan coffee Latte kesukaan Ibu." Rere langsung bergegas pergi meninggalkan ruangan.
Marsa berfikir sejenak, "mungkin apa yang dikatakan Rere ada benarnya, tidur sebentar akan membuatku fresh sebelum sidang nanti siang" wanita berpakaian formal itu lalu membaringkan tubuhnya di sofa besar di ruangannya. Memejamkan mata dan terlelap dengan sangat mudah.
"Jangan... Jangan... Jangan pergi... Theo," keringat dingin membanjiri keningnya, raut wajah ketakutan tergambar jelas di wajahnya. Jantungnya berdegup kencang seolah dia baru saja menghabiskan waktu untuk berlari. Minpi persidangan orang tuanya lalu mimpi persidangannya sendiri dengan theo membuat tingkat stress yang diderita Marsa meningkat pesat. Peluh keringat dan air mata membenjiri pipi cantiknya.
"Hei, hei, sayang tidak apa-apa? Hei, aku di sini. Kau hanya minpi buruk. Ingat aku tidak akan pergi meninggalkanmu. Bahkan untuk wanita lain. Aku sangat mencintaimu. Ingat itu." Seorang lelak yang ternyata sedari tadi duduk di samping Marsa menggoncang-goncangkan tubuh wanita itu, berharap tindakannya dapat menarik perhatiannya. Wanita itu masih mengerjab bingung menunggu kesadarannya pulih seluruhnya.
"Sa.. sayang." Begitu melihat wajah sang suami marsa langsung memeluknya erat tidak mau membiarkan lelaki itu pergi dari sisinya. Tangisnya semakin menjadi dipelukan sang suami.
"Tidak apa-apa." Theo memeluk istrinya dengan erat. Mengelus lembut punggung marsa membisikkan kata-kata manis yang biasa dia ucapkan untuk menenangkan sang istri.
"Kok kamu bisa di sini? Rere mana? Apa dia belum datang?"
"Ah, aku kesini sebenarnya karena aku khawatir dengan istriku ini, dari kemarin aku perhatikan sepertinya masalah yang kau pikirkan terlalu berat. Aku mampir sebentar untuk memberimu makan siang dan ini terimalah." Sebuket bunga mawar mendarat tepat di kedua tangan Marsa.
"Kok tumben?" Dalam hati Marsa sangat tersentuh dengan semua hal kecil ini. Sekotak makan siang, mungkin makanan buatan Theo sendiri. Lalu bunga-bunga ini sangat indah. Sudut bibir Marsa meninggi mengulaskan senyum yang menawan.
"Lho, bukan tumben dong. Ini namanya perhatian. P-E-R-H-A-T-I-A-N." Nada suara Theo meninggi, sengaja untuk mempertegas maksud pembicaraanhya tanpa menutupi bahwa dia sendiri tidak sedang marah dengan istrinya.
"Ah, maaf. Aku sangat senang sayang. Terimakasih banyak."
"Hanya itu, ga ada cupa cupa muach muach?" ledek lelaki berkemeja biru laut itu. Marsa yang mengetahui keinginan suaminya itu menoleh ke kiri dan ke kanan mengecek apakah suasana kantor sedang sepi atau banyak rekan-rekan kerjanya di sana. Mengamati beberapa detik akhirnya Marsa menundukkan badannya dan mencium Theo.
"Sudah kan?"
Tak berselang lama, dering ponsel Marsa berbunyi.
"Halo Sa. Apa-apaan semua ini?" Suara berat seorang lelaki menyeruak di telinga Marsa. Dia sadar siapa orang yang edang berbicara diujung telepon sana. Teman sekaligus sahabatnya dulu.
"Tenangkan dirimu Deren," jawab Marsa singkat. Theo mengangkat salah satu alisnya, seolah bertanya 'Deren? Menelpon? Untuk apa?'
Marsa meletakkan ponselnya diantara pipi dan bahu kirinya, kedua tangannya dia satukan, seolah memohon izin pada Theo untuk menyingkir sejenak. Suaminya itu mengangguk, kemudian Marsa berjalan ke arah ruangan lain di samping ruangannya. Ruangan itu hanya bersekat kaca bening, Theo masih bisa melihat jelas gerak gerik Marsa dari tempat dia duduk. Terlihat wanita itu edang berdebat hebat dengan Deren. Sesekali tangannya dia letakkan di kepala berpindah kedepan lalu berpindah kembali ke map dokumen yang ia bawa-bawa.
Ponsel Theo pun juga berbunyi, suara menggoda terdengar dari ponselnya, sesekali Theo melirik ke arah istrinya lalu kembali fokus pada panggilan telepon yang sedang dia terima. Senyum beberapa kali terlihat dari wajah serius seorang content creator itu.
"Haahh," helaan panjang mengagetkan Theo. Dia buru-buru mengakhiri pembicaraannya dan memasukkan kembali ponselnya ke saku celana.
"Kenapa Sayang? Itu tadi dari Deren? Apa ada masalah?" Langkah Theo mensejajari langkah sang istri. Gurat kekecewaan kembali menutupi wajah manis Marsa.
"Deren menyalahkanku atas gugatan Calista. Katanya aku sembarangan menerima client dan aku menusuknya dari belakang. Apa aku salah sayang?" tanya perempuan 33 tahun itu.
"Dengar, kau tidak salah apapun. Calista lah yang salah?"
"Apa? Calista? Kok bisa Calista yang salah, apa kau mengetahui sesuatu?" Mata Marsa menatap penuhselidik ke arah lelaki di hadapannya itu.
"Ah. Bukan apa-apa, maksudku itu Calista yang menggugat cerai Deren bukan. Jadi ya dia yang yang memiliki masalah dengan Deren, tidak sepantasnya laki-laki itu menyalahkanmu. Harusnya dia paham betul pekerjaanmu ini sebagai apa. Dia juga pengacara bukan," jelas Theo tergagap gagap. Tanpa Marsa sadari tangan kiri Theo bergetar karena kesalahan ucapannya barusan. Untung saja wanita yang selama ini menemaninya itu tidak ambil pusing perkataannya barusan.
Rere terlihat masuk membawa dua coffee Latte dengan nama brand kesukaan Marsa. Theo pun menyadari bahwa dia harus undur diri secepatnya sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi. Setelah berpamitan dia bergegas pergi.
"Kok pak Theo ke sini bu?"
"Dia mengantarkan makan siang, Rere mau? Kebetulan ada banyak." Marsa menyodorkan tumpukan kotak bekal yang dibawa Theo.
Rere mengangguk senang karena dia sendiri merupakan penggemar berat masakan Theo. Menurutnya, kenapa pak Theo ga buka reatoran saja pasti laris manis di pasaran. Melihat bawahannya itu makan dengan lahap perhatian Marsa sedikit teralihkan. Sebelum tiba-tiba Deren masuk dengan tidak sopan ke ruangannya. Lelaki itu langsung menggebrak meja kerja Marsa membuat perhatian para pengacara yang berada di kantor itu tertuju pada ruangan Marsa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top