Bab 21

“Tidak, tidak mungkin yang kamu maksud adalah Calista. Kenapa kamu begitu tega menuduh istrimu sendiri berselingkuh?” tanya Marsa yang dalam hati sebenarnya mulai merasa meragukan kepercayaannya sendiri terhadap kedua insan yang saat ini tengah dia tinggal berdua di rumahnya. “Terlebih itu dengan suamiku?”

Mata Marsa mulai berkaca-kaca sambil memalingkan tubuhnya dari hadapan Deren. Tangan wanita itu terangkat, menyeka rambut bagian depannya hingga ke belakang dengan sedikit pijatan kecil di puncak kepalanya. Logikanya ingin menolak untuk mencurigai Theo dan Calista, tetapi jauh di relung hati, ingin sekali memercayai hal itu.

Deren mengusap wajahnya kasar, setelah itu dia terbangun dari posisinya yang semula duduk. Lelaki itu lantas tersenyum sinis, sesekali mendengkus sambil melipat kedua lengan di pinggangnya.

“Marsa, Marsa, kamu pikir aku akan sembarangan menuduh? Lalu kamu kira aku sampai seperti ini, bahkan sampai lemas dan menangis karena apa? Kamu pikir laki-laki sepertiku bisa menangis hanya karena hal sepele?” tanya Deren yang justru ingin menyadarkan Marsa, kalau wanita itu memang lebih baik harus berhati-hati terhadap istrinya.

Kecurigaan Deren kalau istrinya memiliki pria lain bukan tanpa sebab. Pasalnya, beberapa tahun sebelumnya, pria itu pernah mendapati beberapa tanda merah di dada dan leher sang istri. Itu terjadi sekitar dua bulan setelah kelahiran putra kedua mereka, Zayn.

Deren pernah menegur secara baik-baik sang istri, tetapi Calista mengelak dan mengatakan jika itu terjadi karena alergi. Kamu pikir aku bodoh? Tidak bisa membedakan mana merah bekas cupang, mana merah karena alergi? batin Deren saat itu.

Akan tetapi lelaki itu tetap diam dan tak ingin berdebat. Terlebih, mereka yang tinggal di rumah yang tak begitu luas, akan membuat buah hati keduanya mendengar apa yang sedang mereka perdebatkan. Sejak saat itu, mulailah Deren menaruh rasa curiga terhadap Calista. Sayangnya, bertahun-tahun berlalu tetapi Deren belum juga berhasil mengetahui siapa lelaki lain yang telah meniduri istrinya.

Calista dan selingkuhannya terlalu licik dan licin, mereka pandai berkamuflase untuk mengelabui banyak orang. Namun, sekarang tidak lagi. Setidaknya sudah ada titik terang tentang perselingkuhan Calista dengan laki-laki itu, walaupun sebenarnya masih sangat diragukan.

Mengingat orang yang dia curigai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Marsa membalikkan badan. Tangan kanannya terangkat ke depan tubuhnya, membentuk sebuah garis lurus. “Stop! Aku tahu kamu ada masalah dengan Calista, tapi bukan berarti kamu harus menyeret suamiku ke pusaran masalah kalian, kan?” teriak Marsa hingga membuat kedua bocah yang sedang tertidur pulas, harus terbangun.

Ketika Leon menanyakan hal yang sedang terjadi, Zayn justru menangis karena rasa kantuknya yang masih belum reda.

Marsa yang merasa bersalah pun langsung meraih tubuh mungil bocah berusia tiga tahun tersebut dan mendekapnya erat. “Maafin Tante ya, Sayang. Maaf. Jangan nangis lagi. Sssttt .... sssttt ....” Marsa menepuk dan mengelus pelan punggung Zayn agar anak itu berhenti menangis.
Berhasil, beberapa perlakuan Marsa yang begitu lembut untuk menenangkan Zayn, berhasil. Bocah itu seketika berhenti menangis dan kembali tertidur setelah Deren memberikan sebotol kecil susu vanila berukuran 100 mililiter.

“Aku akan pulang malam ini juga. Aku akan buktikan kepadamu kalau apa yang kamu tuduhkan pada Theo itu salah besar,” tegas Marsa setelah meletakkan kembali tubuh Zayn ke atas kasur.

“Aku ikut. Kita buktikan sama-sama. Aku juga berharap kalau apa yang aku curigai itu adalah salah,” usul Deren yang kemudian langsung meraih benda pipih nan canggih miliknya guna memesan tiket pesawat untuk mereka berdua dan juga kedua buah hati Deren.

Marsa bangkit dan mendekati Deren. “Apa kamu akan membawa anak-anak?” tanya Marsa memastikan.

“Tentu saja. Aku akan meliburkan susternya. Setelah ini aku akan menghubungi dia,” ucap Deren yang tangannya masih sibuk memesan tiket untuk mereka. “Oh ya, Sa, pinjam kartu identitasmu dulu, ya.”

“Deren,” panggil Marsa sambil memegangi tangan lelaki itu. Deren pun menghentikan aktivitasnya dan menoleh kepada wanita yang memanggilnya itu. “Sebaiknya anak-anak jangan kamu bawa. Kasihan mereka. Melakukan perjalanan malam hari nggak akan baik untuk kesehatan mereka. Lagi pula, bukankah kita akan membuktikan sesuatu yang nggak seharusnya mereka lihat, dengar, dan ketahui?”

Deren sejenak tertegun sambil memikirkan apa yang Marsa katakan. Tangannya masih mematung memegang ponsel miliknya.
“Aku rasa kamu benar. Baiklah. Aku akan menitipkan mereka ke ibuku. Sebelum ke bandara, aku akan mengantar mereka terlebih dulu,” usul Deren yang diangguki setuju oleh Marsa.

Marsa langsung menjauh dari Deren untuk meraih tas jinjing miliknya dan mengambil sebuah dompet bermerek Louis Vuitton berukuran 20 x 10 sentimeter berwarna coklet. Setelah itu, dia memberikan kartu identitas miliknya setelah dia ambil dari dalam dompet tersebut kepada Deren.

“Sejujurnya aku tidak ingin mendengarkan omong kosongmu yang menuduh suamiku sebagai selingkuhan istrimu. Tapi, ini untuk membuktikan bahwa suamiku tidak ada kaitannya dengan pengkhianatan istrimu. Lagi pula, dengan semua bukti dan beberapa saksi yang sudah kami intrograsi, semuanya menyudutkanmu. Jadi aku yakin, kalau ini hanya akal-akalanmu saja agar bisa menunda proses hukum dan perceraian kalian,” ujar Marsa mencoba menguatkan hatinya sendiri.

“Terserah apa katamu. Tapi ingatlah, aku memang tidak akan melawanmu sebagai sesama pengacara, tetapi aku ingin mengingatkan bahwa apa yang kamu lakukan ini sangat berpotensi merusak karirmu sendiri jika sampai tuduhan istriku itu palsu,” ucap Deren dengan nada yang tak kalah tegas walaupun mata dan tangannya tetap fokus ke layar ponselnya.

“Ini kartu identitasmu. Kita dapat pesawat, tapi penerbangan terakhir. Jadi jangan sampai telat, karena kalau tidak, kita pasti akan ketinggalan pesawat. Sebaiknya kamu segera check out, sambil aku akan mengantar anak-anak pulang,” lanjut Deren sambil mengembalikan tanda pengenal milik Marsa, lalu perlahan menggendong perlahan kedua anaknya yang kembali tertidur pulas.

Kedua manusia itu langsung melaksanakan tugas masing-masing. Marsa yang bersiap untuk segera keluar dari hotel itu, dan Deren mengantar kedua putranya ke rumah orang tuanya.

Setengah jam berlalu, Marsa telah menunggu Deren di depan lobi hotel dengan koper berukuran 20 inci miliknya. Merasa pegal, wanita itu mulai melakukan spam panggilan kepada Deren, tetapi lelaki itu belum juga meresponsnya.

“Ini gimana, sih, si Deren, kenapa lama banget? Udah malam begini kan, udah nggak macet lagi. Ish, sialan emang si Deren. Dipikir kakiku nggak pegal apa?” keluh Marsa sambil bergantian mengangkat kakinya yang terasa pegal.

Tak berselang lama, Deren pun datang dengan membunyikan klakson mobilnya agar Marsa masuk ke mobil tersebut. Dengan langkah terpaksa, Marsa ke dalam kendaraan tersebut dan keduanya berangkat menuju bandara.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top