Bab 13


Di Jakarta, Calista merasa kesal karena Deren membawa kedua buah hatinya, padahal hanya kedua bocah itu yang bisa dijadikan alasan, ketika dirinya ingin pergi menemui Theo di rumahnya.

Wanita itu sedang berdiri bersandar di bingkai jendela kamar apartemen yang Deren sewa.

Mata indah yang berbentuk seperti almond itu tak hentinya menatap keluar yang menunjukkan pemandangan lalu-lalang kendaraan.

Tangan kanan yang sedang memegang segelas red wine itu seketika mengepal begitu erat, dan makin erat hingga tanpa sadar, Calista menggunakan kekuatan yang begitu besar dan memecahkan gelas tersebut.

Hal itu tentu melukai telapak tangannya.

Beberapa serpihan kaca juga masih tampak menancap di sana.

“Aaaaa ....”

Suara teriakan menggema ke seluruh penjuru ruang apartemen tersebut. Beruntung, unit itu kedap suara, jadi tak ada seorang pun yang ada di luar akan mendengar teriakan tersebut.

“Kenapa gue nggak bisa bahagia kaya Marsa? Wanita itu sungguh beruntung menjadi istri Theo, laki-laki yang sangat sempurna dari segi fisik dan finansial. Ini nggak adil. Harusnya gue yang jadi istrinya Theo, bukan dia!” teriak Calista lagi.

Calista begitu histeris meratapi nasib yang seolah tak pernah berpihak padanya. Dulu, wanita itu berpikir akan hidup nyaman dengan fasilitas mewah, mengingat orang tua Deren yang merupakan salah satu pengusaha sukses di Surabaya.

Akan tetapi, restu yang bahkan tak dia dapat hingga kini, membuat dirinya sulit untuk bisa menikmati kekayaan itu. Apalagi, Deren yang memilih karir advokat dan tidak bersedia menerima sedikit pun bantuan materiil dari kedua orang tuanya, mengharuskan Deren dan Calista menata finansial keluarga kecil mereka dari nol.

Air mata mulai menderai, wanita itu menangis tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Hanya kemarahan dan dendam yang makin dia pupuk dalam hatinya.

Calista kemudian terduduk, dan pelan-pelan mencabut serpihan kaca dari tangannya. Perih, tetapi tidak seperih hatinya yang kecewa terhadap kehidupan yang dia jalani.

Darah segar pun mengalir dari luka yang ternyata sangat dalam itu.
Tak berapa lama, terbesit sebuah ide dalam pikirannya. Dia lantas kembali berdiri untuk segera menutup luka itu dengan perban tanpa memberinya obat sedikit pun. Setelah itu, dia bergegas ke kamarnya untuk mengenakan pakaian rumahan dan meraih tas selempang kecil yang hanya cukup berisi ponsel dan uang.

Dengan langkah yang begitu cepat, wanita yang saat itu tengah mengenakan masker, langsung menelepon seseorang saat berada di lobi apartemennya.

“Please, tolongin aku,” ucapnya sambil menangis kepada seseorang yang ada di seberang telepon.

“Aku sekarang lagi di depan Apartemen Setiabudi,” lanjutnya sambil terbata karena isakannya itu.

“Oke, makasih, ya.”

Setelah menutup teleponnya, Calista langsung menghapus air mata dan membuka maskernya. Tampak sebuah senyum licik di bibirnya yang mungil.

“Gampang banget, sih, Sa, bohongin lo?” Calista berdecak kagum kepada dirinya sendiri karena merasa berhasil mengelabui Marsa dengan tangisannya.

Setengah jam berselang, sebuah mobil sedan berwarna merah berhenti tepat di depan Calista yang sejak tadi berdiri sambil memainkan ponselnya. Kaca mobil perlahan terbuka, menampakkan seorang wanita di dalam sana, dan seorang laki-laki di bangku kemudi. Mereka tak lain adalah Marsa dan Theo.

“Calista,” panggil Marsa yang kemudian keluar mobil dan diikuti oleh sang suami.

Wanita yanh memang sangat lihai berlakon itu langsung kembali berpura-pura menumpahkan air matanya dan memeluk Marsa begitu erat.

“Aku takut, Sa. Tolong aku,” ucap Calista sambil tersedu-sedu.
Marsa melepas pelukan mereka kemudian menangkup wajah istri sahabatnya itu. Kedua jempolnya langsung menghapus air mata yang membasahi pipi Calista.

“Ya sudah, ayo kita masuk untuk nemuin Deren. Kali ini dia nggak akan bisa ngelak lagi,” ucap Marsa penuh emosi. Dia pun menarik telapak tangan Calista yang belum dia sadari sedang terbalut perban.

“Au ...,” pekik Calista sambil menghempaskan tangan Marsa dengan begitu kasar. Wanita itu langsung mengusap telapak tangannya sambil meniup pelan, agar rasa sakit akibat tarikan Marsa tadi sedikit mereda.

“Ka-kamu kenapa, Cal?” Theo langsung menghampiri Calista dengan wajah khawatirnya.

Tanpa sadar, Theo pun meraih tangan yang terbalut perban dengan rembesan darah berwarna merah segar itu dan memperhatikannya dengan saksama.

“Tangan ini kenapa?” tanya Theo lagi.
Marsa lantas menarik pelan tubuh Calista sehingga keduanya kini saling berhadapan. “Sekarang katakan padaku, apa yang Deren lakukan hingga tanganmu terluka seperti ini?” tanya Marsa yang makin emosi.

“Di-dia marah padaku hingga melemparkan gelas berisi red wine ke arahku. Setelah itu, dia memaksaku menggenggam erat pecahan gelas itu sampai tangan ini terluka,” ungkap Calista sambil menunduk.

Tak ada keberanian pada hati wanita itu untuk menatap lawan bicaranya. Dia tahu betul, jika matanya tidak bisa berbohong di hadapan Marsa. Oleh karena itulah Calista hanya menunduk dan berpura-pura terus menangis.

“Deren benar-benar keterlaluan. Aku tidak menyangka kalau dia sekejam ini. Aku harus menemuinya sekarang juga dan menyeretnya ke kantor polisi!” geram Marsa sambil mengepalkan tangan dengan sangat erat.

“Percuma, Sa. Dia nggak ada di sini,” cegah Calista seraya menahan lengan Marsa.

Marsa pun mengerutkan muka, merasa bingung dengan pernyataan Calista, jika Deren sedang tidak berada di apartemen mereka.

“Setelah dia melukaiku, aku tidak sadarkan diri. Dan saat aku terbangun, dia sudah pergi bersama anak-anak. Aku nggak tahu dia ada di mana sekarang,” ungkap Calista sambil menghela napas.

“Sayang, sebaiknya kita bawa saja Calista ke rumah. Kasihan kalau dia di sini sendiri. Takutnya, Deren tiba-tiba datang terus melakukan kekerasan lagi, kan?” usul Theo yang membuat hati Calista bersorak kegirangan, merasa rencananya akan berjalan lancar.

“Ah, ya, kamu benar. Kita harus menyelamatkan Calista dulu dari monster itu,” ucap Marsa seraya merangkul hangat pundak Calista sambil mengelusnya pelan, berharap hal itu bisa menguatkan Calista.

“Tapi, anak-anakku bagaimana?” tanya Calista yang membuat satu sama lain saling menatap.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top