DEVASENA | 40. Pandangan yang Bertaut
Sena memilih gaun midi brokat berwarna putih untuk pesta kantor Sakti kali ini. Gadis itu menghabiskan beberapa waktu di depan cermin. Menilai apakah gaun putih berlengan pendek yang hanya sebatas lutut itu masih patut untuk ia kenakan.
Beberapa menit kemudian, sebuah langkah kaki familier terdengar di telinganya. Sena yang sedang mengoleskan lipbalm tersenyum.
" Hm, kalau nggak salah, kemarin aku ngajak kamu ke pesta," celetuk laki-laki itu bersedekap dan bersandar di kusen pintu kamar Sena. Sena mengamatinya sejenak, merasa bahwa laki-laki yang kini sudah rapi dengan jas dan jam tangan itu memang sangat gagah.
" Iya, memang kenapa?" tanya Sena sebelum kembali menoleh ke cermin. Sakti tidak pernah melangkahi ambang pintu kamar Sena, kecuali satu kali waktu Sena tertidur di samping Sakti dan laki-laki itu tidak punya pilihan selain menggotongnya ke kamar.
" Lihat kamu pakai baju putih gini, aku kira kemarin aku salah ngomong ngajak kamu ke penghulu. Gimana kalau ke penghulu saja? Aku juga udah siap."
Sakti menatapnya dengan serius tanpa segurat candaan di wajahnya, membuat Sena tertawa pelan. Sekali lagi, gadis itu merapikan rambut panjang yang kini ia urai, menatanya agar terlihat rapi di salah satu pundaknya.
" Sudah, Ayo berangkat!" ucap Sena meraih clutch bag dan cardigan sebelum menyambangi Sakti di luar kamar. Tentu saja, Sakti tidak akan membiarkan Sena melenggang begitu saja. Laki-laki itu meraih Sena dan menciumnya lembut sebelum melepasnya lagi, membuat gadis itu menggerutu tentang lipbalm-nya meskipun kini pipinya merona merah.
Tertawa pelan, Sakti meraih jemari Sena. Gadis itu menyerah waktu Sakti tidak melepaskan pegangannya bahkan ketika Sena mengunci pintu. Mengundang siutan dan deheman dari Rafi dan yang lain ketika mereka melintasi halaman.
" Aku lebih suka yang ini," celetuk Ana serius dengan tubuh berbalut selimut. " Daripada sama bosmu."
" Tinggal tunggu undangan aja," sahut Yolla menyeruput kopi.
" Hm, jadi ceritanya adek gue udah berani ngelangkahin gue. Oke, ntar gue tulisin apa aja tebusan yang perlu buat dapet restu dari gue," tukas Rafi menyipit ketika Sena menunggu Sakti mengeluarkan mobil dari carport.
" Ngomongnya kejauhan," sela Arga dengan nada datarnya sambil mengunyah camilan. " Dilamar aja belum."
Sakti yang mendengarnya terkekeh, namun ia tidak menjawab.
" Ada titipan?" tanyanya sembari menunggu Sena masuk mobil.
" Balikin Sena dalam keadaan utuh-DUH!" Rafi melotot pada Yolla yang mencubit bahunya.
Sakti melirik sabuk pengaman Sena yang sudah terpasang dengan benar, kemudian tertawa pelan. " Pasti. Kita berangkat dulu, kalau begitu."
" Perempuan yang dulu ketemu sama kamu itu siapa?" tanya Sakti beberapa saat kemudian. " Nggak bermaksud menguping, tapi aku nggak sengaja dengar kata Dirga dari dia. Apa dia masih ganggu kamu lagi?"
Ada nada dingin dalam suara tenang Sakti yang membuat gadis itu menoleh. Sakti mengerlingnya sekilas sebelum kembali berkonsentrasi.
" Raras," jawab Sena pahit.
" Ada apa dia cari kamu?"
" Cuma ngasih tahu kalau Dirga kecelakaan dan aku disuruh jenguk dia."
" Kamu tolak?"
Sena menyipit ke arah Sakti. " Mas, jangan bilang kamu nyuruh aku jenguk dia! Nanti dia ngelakuin hal macam-macam dan kamu sendiri yang susah, kan!"
" Nggak, aku nggak akan maksa kamu. Aku cuma mau bilang kalau kamu mau jenguk Dirga, aku ikut," ucap Sakti santai. "Bisa-bisa aku jadi buronan polisi cyber crime kalau membiarkan kamu pergi sendiri."
Sena mendengus antara geli dan kesal, mengingat bahwa konfrontasi yang dipilih Sakti agak berbeda dengan kebanyakan orang.
Sena menghembuskan nafas panjang, mengerling pada Sakti yang masih santai di belakang kemudi. Dia masih tidak habis pikir bagaimana Sakti bisa terlepas dari kebencian sedemikian dalam, padahal Sena merasakan sendiri betapa menggodanya dendam itu untuk disimpan. Kalau tidak salah, baik Nathalie maupun Tirta juga masih bekerja di satu kantor yang sama.
Apa Sakti tidak menderita?
Apa laki-laki di sampingnya ini tidak frustasi?
Entahlah, Sakti memang kadang se-sakti itu.
" Devasena Gayatri?"
Sena mengerjap, mengerutkan kening kala mendengar Sakti memanggilnya dengan nama lengkap. Ia menoleh, hanya untuk mendapati laki-laki itu tersenyum samar dengan fokus masih ke jalan.
" Bagaimana tawaranku tadi?"
" Tawaran apa?"
Senyum itu semakin lebar.
" Komentarku waktu lihat kamu pakai gaun putih itu," celetuknya. " Apa kita bisa mulai memikirkan itu?"
Mendengarnya, Sena menelan ludah. Dia yakin jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat ketika dia memahami kata-kata Sakti. Sergapan rasa ketakutan yang familier itu datang lagi, tertemani momen ketika Sakti menyebut Nathalie dalam tidurnya.
Pada pemberhentian lampu merah, Sakti menoleh ke arah Sena yang masih menatapnya tanpa bisa bicara apapun. Laki-laki itu menghirup nafas dan tersenyum. Tangannya terbang membelai rambut Sena dengan lembut.
" Nggak perlu dijawab sekarang," ucap Sakti penuh pengertian. " Aku hanya ingin kamu tahu kalau kamu ada di rencana masa depanku, Na."
Benarkah? Dulu, Nathalie juga ada di rencana masa depannya, kan? Karena Sakti pernah mengambil keputusan untuk mengajak wanita itu menikah.
Setelah mencium lembut kening Sena, Sakti kembali mengemudi. Meninggalkan Sena dalam diam yang menyiksa.
Ada banyak hal di dalam pikirannya. Juga, asumsi-asumsi jahat yang meracuni pendiriannya seperti tinta yang terlarut dalam segelas penuh susu. Sakti adalah satu-satunya laki-laki yang mampu menjawab semua pertanyaan Sena dan karenanya, dia mengizinkan laki-laki itu melangkah lebih jauh di kehidupannya. Tapi kini, dia mulai kesulitan mengingat rasa yakin itu ketika ada kemungkinan masa lalu mungkin memang masih menahan Sakti.
Namun laki-laki di sampingnya berani melangkah dan mengatakan dengan lantang jika dia sudah menempatkan Sena dalam rencana masa depannya. Sesuatu yang tidak pernah Sena pikirkan karena saat ini saja, ia belum sepenuhnya yakin pada laki-laki ini.
Karena satu-satunya alasan yang membuat Sena tidak membahas tentang igauan itu, adalah rasa takut akan sebuah kemungkinan.
**
Sena bukan gadis yang akan canggung berada di tengah-tengah keramaian.
Tidak. Dia cukup luwes untuk berada di tengah-tengah pesta.
Tapi ini berbeda.
Tentu saja, apa yang bisa dia harapkan tentang pesta Aztec selain tamu-tamu eksklusif yang bahkan berdatangan dari luar negeri?
Tapi bukan itu yang membuatnya sangat tidak nyaman.
" Lo...selera lo berubah banyak. Gue nggak ngikutin gosip di sini lagi sewaktu gue dipindah ke pusat. Tapi really, anak SMA?"
Itu tadi adalah salah satu dari sekian puluh kalimat yang didengar Sena sejak mereka berdua memasuki hall tempat diadakannya pesta. Sebagian besar tamu menyapa mereka karena nama Sakti Samudra bukanlah nama asing di Aztec. Dan rata-rata, mereka tahu perjalanan kisah cinta Sakti karena hubungan Sakti dan Nathalie yang tidak mungkin disembunyikan. Sekarang Sakti menggandengnya, seorang perempuan yang berada jauh di bawah standar seorang Nathalie sampai-sampai mereka tidak bisa mengesampingkan fisiknya untuk mengenali aura kedewasaannya.
Hmph!
Sakti tersenyum samar. Laki-laki itu menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku sebelum menghadapi laki-laki itu.
" Enam bulan di Singapura dan tata krama lo masih serusak ini," kata Sakti tenang. " Dia Sena, dan umurnya dua lima tahun. Udah bisa jadi ibu dari anak-anak gue."
Wah, mengapa dorongan menjitak kepala Sakti mendadak terasa begitu kuat?
Laki-laki berjas hitam itu mendengus. Namun ia mengulurkan tangan ke arah Sena. " Jeremias, mantan asistennya Bapak Sakti Samudra." Kemudian ia mendekatkan diri ke arah Sena. " Kalau suatu saat dia tahu semuanya, lo harus curiga kalau ponsel lo disadap."
Sena mengerjap. Saat itu, Sakti menarik Jeremias menjauh sembari berdecak. Namun Jeremias tertawa.
" Mencoba suasana baru nggak salah, sih. Semoga langgeng, eh. To be honest, dia memang manis," kekehnya menjauh dari jangkauan Sakti.
" Jangan didengerin," celetuk Sakti kalem sambil memberikan segelas minuman pada Sena.
" Kenapa? Dia bilang aku manis." Sena menerimanya dan tertawa kala melihat ekspresi Sakti. " Aku kepingin tahu masa lalu kamu di mata teman-teman kantor. Biasanya itu lebih jujur."
" Silahkan, kalau begitu. Tapi kamu harus tahu kalau masa lalu ada untuk jadi pelajaran. Bukan jadi sandungan untuk masa depan."
" Sure." Sena mengangkat bahu. " Mas, kamu pernah nyadap telfon, ya? Kenapa tadi dia bilang tentang itu?"
Ujung bibir Sakti yang menyentuh tepi gelas terangkat. Sakti membiarkan dirinya menikmati minumannya sejenak sebelum menatap wajah manis yang ada di sampingnya.
" Pernah. Nyadap telfon Nath waktu aku curiga. Hanya untuk memastikan kecurigaanku." Ia membungkuk ke arah Sena. " Kenapa? Kamu menyembunyikan sesuatu sampai khawatir kalau aku sadap?"
Sena menyipit, " Kok gitu? Nggak adil! Aku nggak bisa lihat punya Mas Sakti!"
" Kalau kamu mau punya akses jarak jauh ke ponselku, aku bisa pasang aplikasinya," jawab Sakti santai.
" Ha?"
Sakti hanya tersenyum. Ia menyila anak rambut ke belakang telinga Sena.
" Untuk menjaga kepercayaan kamu sama aku, Na. Kalau memang itu perlu, kapan-kapan akan aku pasangkan," ucapnya lembut.
Tawaran yang sangat menggoda. Namun Sena menahannya. Dia ingin percaya pada laki-laki ini dengan cara wajar. Dan sadap-menyadap bukanlah hal wajar. Yang ada, itu akan melukai harga diri Sakti.
" Apa Nathalie marah?" tanya Sena lagi.
Sakti mengangguk. " Sangat marah."
" Kamu memang bisa semengerikan itu."
" I've heard that, Na," kekeh Sakti ringan membuat Sena mengerucutkan bibir.
" Halo, Sena. Kita ketemu lagi."
Sena menoleh, hanya untuk melihat seorang laki-laki berkacamata tebal kini duduk di kursi di hadapannya.
" Mas Bayu," balas Sena tersenyum.
" Wah, lo inget nama gue," ucapnya berbinar, kemudian ia menoleh ke arah Sakti. " Suketi, lo dicariin Mr. Shin. Mau ngebahas proyek lalu waktu lo masih di Jepang, katanya."
" Sekarang? Kita bukan sedang kerja."
Bayu memutar bola mata. " Suketi, dia jarang banget ke Indonesia. Lagipula cuma chit-chat ringan, masalah follow up mega-project yang berhasil lo tangani waktu di Jepang. Apa salahnya?"
Sakti menatap Sena, lalu ketika gadis itu melihat tatapan tidak rela dari Sakti, Sena tertawa pelan.
" Jagain Sena dulu," ucap Sakti akhirnya bangkit. " Na, aku tinggal sebentar, ya."
Sena mengangguk, mengawasi dengan senyum di bibir bagaimana tubuh jangkung itu menghilang di antara ribuan tamu.
" Cuma dia yang berani mikir dua kali kalau dipanggil atasan,"dengus Bayu meraih seiris cake dari atas meja sebelum mengamati Sena. " Jadi, gimana kesan pacaran sama Sakti?"
Sena mendengus geli. " Sejauh ini baik-baik saja."
" Techno-freak kan dia?" celetuk Bayu lagi, yang hanya dibalas senyum oleh Sena.
" Perhaps, somehow...you know about Nath and Sakti."
Itu pernyataan penuh selidik, bukan pertanyaan, dan fokus Sena menjadi lebih tajam kepada Bayu. Gadis itu mengangguk.
" Whoa..." Laki-laki itu manggut-manggut seraya mengelus bibir bawahnya seolah berpikir. Kemudian, matanya menyapu ruangan. " Itu, namanya Tirta."
Sena mengikuti petunjuk tangan Bayu yang mengarah pada seorang laki-laki yang memakai jas biru tua, tengah duduk berdua di meja pojok bersama Nathalie. Sepertinya, sedang dalam percakapan serius menilik ekspresi keduanya yang cukup tegang. Sena menatap tangan mereka yang bertaut, kemudian mendengus.
Tirta adalah simbol seorang eksekutif muda. Tubuh tegap, sikap berwibawa dipadu dengan bagaimana dia berpakaian, menunjukkan bahwa dia adalah pria berkelas. Rambutnya cepak, mirip seperti Rafi. Wajahnya bersih dan gerak-geriknya seolah sangat terukur. Bersanding dengan Nathalie seperti ini membuat Sena akhirnya paham mengapa Tirta menarik bagi Nathalie.
Tapi sungguh, Tirta bukan apa-apa dibanding Sakti.
Wajah Tirta bersih, tapi bukan menarik. Sena lebih suka wajah berkacamata Sakti. Juga, wajah serius Sakti kala laki-laki itu melepas kacamatanya. Dia lebih suka keabnormalan gigi Sakti yang membuat senyum laki-laki itu tidak mudah dilupakan. Dia juga suka rambut Sakti yang lebih panjang, apalagi jika rambut itu acak-acakan dan basah kena keringat setelah lomba lari dengan Sena di alun-alun kota. Dia suka sorot hangat Sakti ketika memandangnya. Dia suka intonasi tenang Sakti ketika berbicara. Sena juga yakin jika Sakti lebih tinggi daripada Tirta, meskipun itu artinya dia harus berjinjit untuk membalas ciuman Sakti. Sena suka. Dia suka semuanya tentang Sakti.
" Ganteng Sakti kemana-mana," tukas Bayu menyadarkan Sena. " Satu-satunya kelebihan Tirta dibanding Sakti adalah jabatan Tirta yang lebih tinggi. Coba saja kalau Sakti nggak nolak pelatihan selama setahun di Singapura, mungkin aja sekarang yang duduk di kursi kebesaran bukan Tirta tapi Sakti. Mungkin si Suketi itu nggak perlu kehilangan Nathalie."
Tentu saja, Sena langsung menoleh. " Kenapa Mas Sakti nolak?"
" Karena, dia belum menemukan pengganti yang sempurna di divisi game. Jujur saja, divisi game Aztec maju pesat setelah dipegang Sakti. Memang ya, kerja di passion kita hasilnya bisa maksimal banget. Banyak yang menyayangkan kalau dia ninggalin divisi kita, bahkan dari pihak klien. Lagipula, persetan dengan jabatan kalau nyatanya bonus dari project bisa semena-mena."
Bayu menoleh ke arah Sena.
" Gue nggak maksud apa-apa, Na. Gue dukung lo sama Sakti sepenuhnya," celetuk Bayu. " Apa yang gue bilang tadi adalah kalimat pengandaian. Kenyataannya, Nath nggak bisa sekuat itu untuk bertahan sama Sakti, yah, walaupun itu juga kurang pas mengingat kenakalan Nath yang udah dimulai jauh sebelum Sakti ditunjuk untuk ke Singapura. Padahal, kurang apa sih Sakti? Ya nggak? Memangnya kalau Sakti nggak naik jabatan, dia bakal mlarat? Oh God, jangan pernah merendahkan Suketi!"
Sena tertawa geli.
" Manusia nggak ada yang sempurna. Mungkin aja Mbak Nath memang merasa Mas Sakti punya banyak kekurangan. Tapi tetap, itu bukan alasan untuk selingkuh. Kalau misal udah nggak bisa lagi, kenapa nggak ngomong baik-baik aja daripada harus menyakiti? Kadang ya, kita memang rakus banget. Pingin yang baru sementara yang lama nggak mau dilepasin."
" Entahlah, Na. Mungkin takut menyakiti kalau bicara apa adanya," celetuk Bayu seadanya.
" Tentu saja akan menyakiti, Mas Bayu. Siapa orangnya yang nggak sakit ketika putus hubungan? Siapa orang yang nggak akan sakit ketika dibilang 'maaf, aku udah nggak bahagia lagi sama kamu.'? Tapi dikhianati akan jauh lebih sakit dan lebih merusak. Jadi, nggak. Selingkuh itu bukan jalan keluar untuk apapun. Lebih baik ngomong aja kalau udah nggak bisa. Itu lebih menghormati."
Bayu mengangkat alis.
" Errr...oke, sekarang gue jadi merinding," ucapnya menilai Sena dari atas sampai bawah. " Apa lo pakai perawatan Korea buat menyamarkan kerutan halus di wajah?"
Sena tertawa. " Udah percaya kalau aku bukan anak SMA?"
Bayu mengangguk singkat. " You're a healer, Na. His healer."
Kamu hanya tempat istirahat sejenak bagi Sakti, sedangkan tempat kembalinya adalah aku. Selalu aku.
Tawa Sena terhenti. Ia menatap Bayu beberapa saat, kemudian menggeleng.
" Penyembuh cuma dicari waktu luka saja. Jadi, nggak. Aku nggak mau jadi penyembuh."
Tentu saja, Bayu melongo. Namun Sena hanya memberinya tawa, yang membuat Bayu mendengus dan memakan hidangan lagi.
Ada satu yang tidak Bayu tahu, bahwa Nathalie terang-terangan berkata pada Sena bahwa dia masih menginginkan Sakti.
Sena mengerjap kala dirinya menangkap tiga sosok yang tengah berdiri di sisi lain ruangan.
Mereka adalah Nathalie, Sakti dan seorang lain yang kentara sekali berkebangsaan Jepang, saling berhadapan sembari bercakap entah apa hingga Nathalie tertawa dan Sakti mengulas senyum di bibirnya.
Sepertinya, mereka sedang membicarakan topik yang sama-sama mereka tahu, karena Nathalie terlihat begitu antusias bercerita. Kali ini dengan sedikit menggerakkan tangannya di udara, yang ditimpali Sakti dengan sama antusiasnya. Si pria Jepang itu menyodorkan sebuah tablet pada Sakti, yang diamati Sakti sebelum laki-laki itu mengucapkan sesuatu entah apa. Di sebelahnya, Nathalie melongok, kemudian jemarinya ikut menunjuk pada tablet yang dibawa Sakti dan dirinya mulai berbicara, seolah memberi penegasan akan apa yang tengah diutarakan Sakti.
Di matanya, mereka berdua bisa begitu bersinergi.
Sena jadi bertanya-tanya, apa dia bisa mengimbangi pemikiran Sakti seperti Nathalie?
" Wah, Tirta nggak ada, Nathalie jadi berbahaya." Bayu terkekeh, " Lo tau nggak kalau beberapa waktu lalu Aztec agak heboh gara-gara ada foto Nath di instagram Sakti?"
Tentu saja, Sena mengangguk. Bayu terkikik.
" Seluruh ATM dia diblokir Tirta. Semua emailnya dikunci Tirta sampai Nath nggak bisa ngapa-ngapain." Bayu terkekeh. " Kelihatannya begitu, tapi Tirta orangnya ambisius, berapi-api dan emosinya gampang kesulut. Padahal dia tahu kalau Nath butuh semua akses emailnya buat kerja ya tapi, cemburu membutakan semuanya. Nath minta tolong Sakti tapi jelas itu bakal menyulut perang dunia ketiga. Jadi akhirnya gue yang maju. Untung Sakti orangnya sabar, cuma langsung nemuin Nath buat ngomong apalah nggak ngerti. Coba kalau Sakti kayak Tirta. Nath bisa langsung kehilangan identitasnya di dunia cuma gara-gara kelancangannya dia."
Bayu terkekeh geli, tanpa menyadari jika Sena hanya terdiam di sampingnya dengan fokus masih kepada tiga orang di seberang sana.
" Dulu waktu mereka masih bersama, gue sampai yakin kalau Sakti rela mati buat Nath. Jujur, waktu Sakti bilang dia nglepasin Nath, gue kaget setengah mati. It's just like...apa iya seorang Sakti bisa hidup tanpa Nath? Bagi gue dan yang lain yang pernah lihat betapa serasinya mereka berdua, itu kayak ngelihat sebuah papan yang patah. Rusak, nggak lengkap. But then, Nathalie memilih bersama Tirta dan Sakti memilih merelakan. Keputusan yang bawa dia sama lo. Ck, masa depan memang misteri, ya. Gue jadi penasaran siapa jodoh gue," racau Bayu yang ternyata mengikuti arah pandang Sena.
Jadi, dulu jika Nath dan Sakti masih bersama, Sena tidak akan pernah jadi apa-apa di mata Sakti. Sena hanyalah orang asing bagi Sakti meskipun mereka berpapasan di jalan atau bahkan jadi tetangga di kontrakan. Begitu, kan?
Iya, mereka memang secocok itu.
Apa karena itu hingga Sakti lupa jika Sena ada di sini?
Sena mengusap pelipisnya. Dia itu kenapa, sih? Jelas-jelas mereka bekerja di kantor yang sama, pasti banyak hal yang perlu mereka bicarakan, kan?
Hei, sisi Sena yang pengecut, menyingkir saja sana!
Tapi sisi Sena yang pengecut itu justru mengambil alih kendali tubuh Sena ketika seseorang tanpa sengaja menyenggol punggung Nathalie, membuat keseimbangan pada ujung stiletto tingginya terganggu hingga gadis itu limbung ke depan. Di depan mata kepala Sena, dia melihat bagaimana Sakti dengan tangkas menangkap Nathalie yang terjatuh ke pelukannya, menahan berat gadis itu sementara Sakti sendiri limbung ke belakang.
Bukan, bukan tangan Sakti yang ada di pinggang Nath yang membuat denyut nyeri begitu terasa di dada Sena. Bukan kedua telapak tangan Nathalie yang menempel di dada Sakti. Bukan pula bisik-bisik membumbung dari orang-orang yang pernah meyayangkan perpisahan mereka.
Tapi Sakti yang terlihat begitu sigap untuk berjongkok dan melepaskan stilleto patah Nathalie yang menjapit telapak kakinya dengan posisi yang menyakitkan hingga wanita itu mengernyit kesakitan. Laki-laki itu mengamati tumit Nathalie beberapa saat sebelum mendongak ke arah perempuan itu, bertanya entah tentang apa.
Kamu hanya tempat istirahat sejenak bagi Sakti, sedangkan tempat kembalinya adalah aku. Selalu aku.
Detik itu pula, Sena memalingkan wajah.
*TBC*
Selamat sore semuanya, semoga berbahagia ❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top